Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 21
Sebelumnya.
“Ayo!” Thariq menggandeng mesra tangan istrinya, berjalan didepan sambil sebelah tangannya lagi menenteng paper bag besar berisi kue bika ambon.
Rambut pria berkaos hitam dan celana abu-abu selutut itu masih terlihat lembab, begitu juga dengan Sahira.
Setelah melewati percintaan panas satu ronde, mereka berdua mandi bersama, lalu bergantian mengeringkan rambut menggunakan hair dryer.
“Aku yang menyetir ya?” pintanya manja saat sudah sampai di basement dimana mobil barunya terparkir.
Thariq mengangguk, membuka pintu penumpang lalu duduk, mengizinkan Sahira yang mengemudi.
Sahira terlihat mahir menjalankan mobil kado pernikahan dari ibu panti. Tanpa gugup, tak pula ragu-ragu menyalip kendaraan lainnya. Hal tersebut membuat batin Thariq bertanya-tanya, tapi dia enggan mengungkapkan. Hanya diam-diam memperhatikan.
Semburat jingga memudar di cakrawala, sang malam mulai menyapa. Jutaan lampu gedung tinggi dan jalanan terlihat cantik kala memberikan penerangan.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, mobil mini Cooper berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang kokoh. Sahira menekan klakson, sangat ramah dirinya mengucapkan terima kasih sembari sedikit menunduk tanda menghormati seorang security.
Lagi dan lagi, hal-hal kecil itu tak terlewati oleh pengamatan mata tajam beriris coklat tua.
“Benar-benar sudah yakin ingin turun? Kalau kau merasa belum siap dan tak nyaman, kita pulang saja lagi ke apartemen, atau pergi ke suatu tempat yang kau sukai?” Ia tatap hangat mata mempesona Sahira.
“Jangan menunda-nunda hal yang memang seharusnya segera diungkapkan. Bila kita berani mengambil jalan itu, maka harus bernyali juga menanggung konsekuensinya.” Sahira tersenyum meyakinkan, mematikan mesin mobil.
Bersamaan mereka keluar, lalu Thariq mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Sahira.
Seorang asisten rumah tangga datang menghampiri, mengambil alih paper bag yang disodorkan oleh tuan rumah.
“Terima kasih ya, Bi.” Netra indah layaknya anak Rusa itu menyipit seperti bulan sabit, senyum tipisnya sangatlah manis.
Sang bibi tak sadar membuka sedikit mulutnya, ia terlihat terpesona oleh kecantikan paras serta keramahan terlihat begitu tulus.
Thariq terkekeh, lalu merangkul pundak Sahira. Mengecup lembut pelipisnya seraya berbisik. “Kau seperti penyihir cantik, siapapun yang berada di dekatmu, dapat dipastikan mereka terhipnotis.”
Tawa lirih, bernada merdu terdengar bagaikan melodi. Dua insan itu terlihat saling memandang dengan ekspresi berbeda, antara memuja dan yang satu menggoda.
Saat mulai memasuki hunian dua lantai, Thariq mengeratkan genggamannya. Baru saja Sahira menyapa ibu dan adiknya, aura istri pertamanya sudah siap mengeksekusi.
Terlebih mengetahui kenyataan mengejutkan sekaligus menyakitkan, Arimbi meradang menatap nyalang.
"APA-APAAN INI?!" Jerit Arimbi. Hatinya seperti ditikam ribuan duri, suara ritme jantungnya layaknya seorang pelari .
Arimbi yang memang terkenal mudah tersulut emosi, langsung kehilangan kendali. “Dasar sampah kau!”
Langkahnya tergesa, amarahnya menggelegak, Arimbi melesak maju hendak memberikan pelajaran.
Thariq bergerak gesit, menyembunyikan istri mudanya di belakang tubuh, menghalangi Arimbi. “Cukup Arimbi, kita bicarakan baik-baik!”
“Bagian mana yang baik itu, hah?! Jangan halangi aku, Thariq!” Dia tidak mau mengalah mencoba mencari celah saat pinggangnya dipeluk erat dari arah belakang.
“Sini kau, Sialan!” Jeritnya seraya memberontak mencoba melepaskan diri.
"Maaf, Kak. Sesungguhnya aku pun tak ingin berada di antara kalian. Terlebih menyakitimu, tapi apalah daya, semua diluar kendali ku.” Sahira maju, tatapannya terlihat sendu.
“Tetap di posisi mu, Sahira!” Thariq menggelengkan kepala, melarang wanitanya mendekat.
Saat tak ada lagi jarak yang terbentang, dan Sahira berhadapan dengan Arimbi yang masih dipeluk oleh Thariq dari belakang. “Kak, bukankah kita terbiasa berbagi? Semua yang kumiliki selalu kau rebut, apa kali ini tak bisa seperti itu juga? Aku janji, takkan mendominasi Thariq. Dia Pun selalu ku wanti-wanti supaya berlaku adil.”
Perkataan Sahira, menambah kadar emosi Arimbi. Sekuat tenaga dia membebaskan diri, setelah berhasil langsung menyerang Sahira.
“Brengsek! Mati kau di tanganku!” Ia cekik leher adik angkatnya.
“Sahira!”
“Kak Sahira!”
“Hira!”
Hati Arimbi bertambah memanas saat semua orang lebih membela adik angkat laknat. Dia menambah kekuatan tangannya. “Seharusnya sedari awal kau dipungut oleh orang tua ku, hal inilah yang pantas kulakukan kepadamu!”
“Dasar tak tahu diuntung! Di kasih makan, dibiayai pendidikan sampai sarjana, difasilitasi hingga layak disebut manusia, bukannya gembel, tapi ini balasanmu! Mampus kau. Mampus!” Tak cukup mencekik, Arimbi melepaskan satu tangannya untuk menjambak rambut Sahira.
Sahira hanya diam, netranya tetap menatap tenang, sedikitpun dia tidak membalas, hanya mengepalkan tangan di sisi tubuh sebagai pertahanan rasa sakit, sama seperti dulu saat dirinya diperlakukan layaknya binatang oleh Arimbi dan Jenny.
Thariq Alamsyah terlihat murka, terlebih melihat wajah Sahira yang mulai memerah, sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia menarik kuat lengan atas istri pertama, hingga badan Arimbi kehilangan keseimbangan berakhir menabrak vas bunga, ia terjerembab di atas kerasnya lantai marmer.
Pyaar!
Uhuk!
Uhuk!
Sahira terbatuk-batuk, ia menghirup oksigen dengan rakus.
“Sahira, maafkan saya.” Sangat lembut ia bingkai wajah wanita yang masih mencoba bernapas dengan benar, membenahi rambut kusutnya.
“Kak Arimbi!” Sahira mendorong badan Thariq, dia mendekati Arimbi berniat menolong.
Arimbi menatap nyalang, kembali hatinya merasakan patah, kali ini berkali-kali lipat sakitnya. Thariq memang jarang berlaku manis kepadanya, tapi tak pernah meninggikan intonasi apalagi menyakiti fisik, lalu sekarang apa?
“Kau harus mati!” Ia ambil pecahan kaca, berniat menusuk Sahira. Bibirnya menyeringai melihat saingannya mendekat. Mengesampingkan rasa sakit pada pinggang terbentur sisi meja, Arimbi berdiri.
Mustika yang melihat itu tidak tinggal diam, dia maju dan menarik lengan Sahira. “Polos boleh, tapi jangan tolol! Kau lihat dia?! Tanpa ragu mengacungkan benda tajam, tapi dirimu tetap mau menolongnya. Sementara keadaanmu lebih memprihatinkan!”
“Arimbi, masuk ke dalam mobil!” suara bass Thariq menghantarkan rasa takut di hati Arimbi dan lainnya. Ekspresinya datar dan keinginannya tak dapat ditawar.
“Bukan aku yang harus pergi, tapi dia!” Jari telunjuknya menuding wajah Sahira.
“Kau memang pantas dibuang, ditelantarkan. Sebab bisa jadi keturunan pelacur! Sehingga sifatmu pun sama seperti ibumu yang murahan. Suka menjajakan diri memberikan kenikmatan gratisan!”
Plak!
“Saya mengerti bila kau sakit hati, tapi tak bisa mentoleransi kata-kata kasar mu! Menghina seorang ibu yang kau sendiri tak mengenal apalagi bertemu dengannya!” Thariq menatap tajam pada Arimbi yang terkejut.
“Demi wanita tak jelas asal-usulnya itu, kau tega menamparku, Thariq?!” rasa sakit di pipi sebelah kiri, bukanlah apa-apa bila dibandingkan nyeri pada ulu hati. Netranya langsung berembun, menatap tak percaya pada pria yang selama ini dia cintai sedemikian gilanya.
“Lebih dari itu pun saya sanggup, bila kau tak bisa menjaga sikap, Arimbi!” Ia tarik tangan wanita yang sedari masa remaja selalu mengekor, mencoba menarik perhatiannya dengan melakukan hal-hal melewati batas moral.
“Tolong jaga Sahira!” Thariq masih sempat berucap lirih kepada sang adik.
Hening, senyap, Ayda, Mustika dan juga Sahira saling diam, tak menatap satu sama lain.
"Nak, maafkan Mama. Ini salah Mama yang memaksamu agar segera bertemu dengan Arimbi. "Ayda maju, tapi terdiam dengan tubuh kaku saat sang menantu memilih mundur menghindarinya.
"Saya ingin pulang." Sahira enggan menatap, kedua tangannya sibuk mengelap air mata. Ia berbalik, berlari kecil menuju mobilnya di parkir kan, membuka kasar daun pintu lalu membanting nya.
Begitu duduk nyaman, segera dia menyalakan mesin, lalu mulai melajukan.
Seorang security bergerak gesit membuka pagar yang baru saja ditutup.
***
Saat merasa sudah aman, jauh dari hunian Alamsyah, Sahira menepikan mobil, menghidupkan lampu hazard.
"Ha ha ha ... Akhirnya, kau merasakan apa itu namanya sakit hati, tak berdaya, frustasi, hancur. Ini belum seberapa bila dibandingkan dulu saat aku nyaris dilecehkan oleh ...."
Flashback.
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔