seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Langit akhirnya pecah.
Hujan turun dengan ganas, menyapu seluruh sudut Kota Yurein. Air mengalir deras di sepanjang parit batu, mengguyur pasar, menampar atap rumah, dan menggenangi lorong-lorong sempit. Petir menyambar di kejauhan, membuat tanah bergetar.
Di balik tumpukan peti tua di dekat gudang pasar, tubuh Rynz meringkuk, menggigil hebat. Bajunya yang sudah tipis tak mampu menahan dingin. Jubahnya basah kuyup, menempel ketat di kulit seperti belatung. Rambutnya lepek, pipinya pucat, dan bibirnya membiru.
Tak ada yang menghampirinya.
Tak ada yang peduli.
Pedagang sudah menutup lapak mereka sejak hujan mulai deras. Penjaga kota berlalu begitu saja ketika melihatnya. Bahkan sesama pengemis memilih berteduh di sisi lain, menjauhi dia yang tak punya apa-apa, bahkan tangan lengkap pun tidak.
Perutnya kosong.
Tubuhnya lemah.
Matanya mulai buram, terbakar oleh demam yang naik perlahan.
Angin menderu di telinga. Suara hujan terdengar seperti ejekan.
“Kau bukan siapa-siapa di sini…”
“Bahkan pengemis lain pun tak mau mendekatimu…”
Ia mencoba mengangkat kepala, tapi lehernya lemas. Matanya menatap langit mendung yang nyaris hitam. Petir menyambar di atas sana, membelah awan, menggetarkan jantung.
“Ini ya... titik terendahnya?” gumamnya.
Suara itu hampir tidak terdengar.
Seperti bisikan roh yang menolak mati.
“Bahkan mati pun tak datang cepat…”
Ia batuk. Darah sedikit mengalir dari sudut mulut. Tubuhnya kejang sesaat, lalu membeku kembali, menggigil hebat.
Hujan terus mengguyur.
Malam mulai turun.
Dan Kota Yurein… tetap sibuk, tetap hidup, tetap melupakan satu jiwa yang tergeletak sendirian di balik tumpukan sampah basah.
Tak ada cahaya.
Tak ada tangan yang terulur.
Tak ada suara yang memanggil namanya.
Hanya dirinya sendiri.
Dan langit yang tak menjawab.
Langit Yurein mendadak berubah menjadi medan pertempuran.
Awan hitam yang sebelumnya hanya membawa hujan kini terpecah oleh cahaya-cahaya energi, memecah gulita dan mengguncang udara dengan tekanan spiritual yang luar biasa. Di atas kota—tepat di pusat langit yang menganga—terbentuk celah spiral, seolah langit itu sendiri sedang dilubangi oleh kekuatan yang melampaui hukum dunia.
Dari celah itu, muncul sebuah benda mengambang:
sebuah kristal hitam pekat, berbentuk bulat lonjong, dikelilingi oleh cahaya ungu tua dan kilatan api biru yang berputar di sekelilingnya. Aura dari benda itu bukan hanya kuat… tapi menindas, seolah keberadaannya menolak dimengerti oleh logika makhluk fana.
Itulah Inti Void.
Sebuah kristal purba yang konon terbentuk dari kehampaan dunia lama—benda yang hanya muncul ketika ruang antara dimensi melemah. Dan malam ini… langit Aetherion terbuka.
"Itu... Inti Void! Berebut sekarang juga!"
Suara itu menggema dari udara. Lalu satu demi satu, bayangan melesat dari segala penjuru.
> Di sisi timur, sekelompok manusia berjubah putih, mengendarai pedang terbang, menerobos badai.
Dari barat, muncul tiga kultivator elf, tubuh mereka menyala dengan cahaya kehijauan, panah-panah sihir siap dilepaskan.
Dari utara, sekelompok beastfolk bertubuh besar dan bertanduk, melompat di udara dengan cakar emas dan sorot mata haus darah.
Dan dari selatan… siluet hitam meluncur tanpa suara—pembunuh dari ras iblis, mengendap di antara awan gelap seperti bayangan neraka.
Mereka semua memiliki satu tujuan:
Inti Void.
Sementara itu, di bawah mereka…
di balik gudang pasar yang becek dan kumuh…
Rynz menggigil sendirian, tubuhnya setengah tenggelam di air hujan, napasnya berat dan pendek, namun matanya terbuka sedikit.
Kilatan cahaya dari langit memantul di pupilnya. Suara ledakan dan benturan energi bergemuruh, membuat udara di sekitarnya bergetar. Tapi ia terlalu lemah untuk bereaksi.
Namun meski setengah mati, jiwanya menyerap semua itu.
Dalam heningnya penderitaan, ia bisa merasakan… tekanan para kultivator, kekuatan sejati dunia ini, dan celah antara yang lemah dan yang mutlak berkuasa.
“Ini... dunia yang sebenarnya…”
“Bukan sekte murahan. Bukan guru rohani. Tapi kekuatan… yang bisa menembus langit.”
Petir menyambar hanya beberapa meter di atas.
Rynz tetap diam. Tak ada yang menyadari keberadaannya. Bahkan Inti Void pun mungkin tidak peduli.
Namun malam itu, mata batin seseorang yang setengah mati terbuka pelan-pelan.
Dan untuk pertama kalinya…
Ia melihat apa itu kekuatan.
Dan bagaimana dunia ini bisa direbut… dengan paksa.
Langit bergemuruh hebat.
Benturan demi benturan kekuatan tingkat tinggi mengguncang udara di atas Kota Yurein. Suara ledakan spiritual meledak tanpa henti. Warna-warna energi saling bertabrakan, menciptakan pusaran badai yang menelan awan, dan menghancurkan formasi sihir pelindung langit satu demi satu.
Lalu—retakan itu terdengar.
Crakkk…!
Cahaya ungu kehitaman dari tengah pusaran tiba-tiba menyebar ke segala arah.
Inti Void—benda langka yang hanya muncul satu kali dalam seribu tahun—pecah.
Hancur jadi puluhan, mungkin ratusan pecahan kecil yang berpendar dalam warna gelap dan dingin.
Beberapa pecahannya meluncur ke arah utara, langsung diperebutkan oleh para kultivator beastfolk yang saling menerkam.
Sebagian jatuh ke arah barat, menyebabkan para elf memanggil formasi penyerapan.
Namun puluhan pecahan lainnya jatuh tidak terarah—terbawa angin, gravitasi, dan kekacauan sihir.
Dan salah satu dari pecahan itu…
jatuh lurus ke arah tanah…
ke arah pasar…
dan akhirnya…
mendarat di genangan air di depan wajah Rynz.
Pecahannya kecil—sekitar seujung ibu jari—memancarkan cahaya ungu kabur dan menimbulkan suara mendesis halus ketika bersentuhan dengan air. Bentuknya seperti kristal setengah leleh, dingin, dan… menarik.
Rynz membuka mata perlahan.
Matanya buram. Penglihatannya terganggu oleh air hujan dan demam tinggi.
Tapi ia melihat cahaya itu. Mendengar desisnya. Mencium aroma logam yang samar.
Perutnya bergemuruh.
Kepalanya kosong.
Dan di tengah kekacauan langit… ia berpikir satu hal:
"Makanan...?"
Tanpa berpikir panjang, dengan sisa tenaga dari tubuh yang nyaris membeku, Rynz mengangkat tangannya dan meraih kristal itu.
Ia mendekatkannya ke mulut…
lalu…
“Krek.”
Pecahan Inti Void masuk ke dalam mulutnya.
Kristal itu tidak keras.
Begitu menyentuh lidahnya, ia meleleh seketika, berubah menjadi cairan dingin seperti es dan logam, lalu mengalir masuk ke tenggorokan dan menembus ke dalam tubuh.
Dan saat itu juga—
tubuh Rynz kejang.
Matanya membelalak.
Darahnya mendidih.
Ototnya menegang hingga bergetar, lalu melunak, lalu menegang kembali.
"Ugh... gghhh..."
Tubuhnya terlempar ke belakang, menghantam peti kayu dan membuat air menyembur dari genangan. Namun rasa sakitnya tidak seperti cedera biasa. Ini seperti ada api dan es yang bertarung di dalam tubuhnya—mengiris, membakar, merobek, lalu menjahit ulang.
Dan di dalam jiwanya…
sesuatu mulai bangun.
Tubuh Rynz terus kejang di tengah genangan air yang dingin, hujan masih mengguyur tanpa ampun, namun ia sudah tak lagi merasa dingin. Justru sebaliknya—dari dalam tubuhnya, muncul sensasi panas membakar seperti api neraka yang menyebar liar.
Dan tiba-tiba, dari bahu kirinya yang buntung, muncul getaran aneh.
Mulanya hanya denyut ringan. Lalu pelan-pelan…
urat-urat nadi terbentuk, berwarna merah gelap, menjalar turun seperti akar yang merambat.
Tulang mulai tumbuh.
Terdengar suara retakan yang menusuk—seolah tubuhnya sedang menempa dirinya sendiri.
Potongan demi potongan membentuk struktur lengan: tulang lengan atas, lengan bawah, lalu jari-jari yang utuh dan lentur.
Di atasnya, urat darah dan otot menutupi kerangka dengan gerakan lambat namun pasti—seperti binatang yang tumbuh dari dalam.
Terakhir, kulit menyelimuti semuanya, rapat dan kuat, namun tidak persis seperti tangan sebelumnya. Warnanya sedikit lebih pucat, lebih tegas, dan terasa bertenaga meski belum digerakkan.
Namun yang paling mengejutkan bukan itu.
Di punggung tangan kirinya, tepat di bawah jari tengah hingga ke pergelangan, muncul pola seperti api berputar, tapi bukan api biasa.
Api itu berwarna hitam pekat—begitu pekat hingga nyaris menyerap cahaya di sekitarnya.
Ujung-ujungnya meruncing, seperti cakar atau bara yang membara dalam bentuk simbol.
Tattoo itu tidak statis… ia berdenyut perlahan, mengikuti detak jantung Rynz.
Dan ketika Rynz perlahan membuka matanya—pandangan matanya berbeda.
Pupilnya membesar.
Kesadarannya mulai pulih.
Tapi sesuatu dalam dirinya… telah berubah.
Ia menatap tangan kirinya dengan napas memburu, tubuhnya masih setengah gemetar.
“Apa ini...?”
Tatapan matanya tidak lagi kosong. Tidak lagi lemah.
“Tanganku kembali…
Tapi… ini bukan tangan biasa.”
Tattoo itu berkedip sekali, pelan…
seolah menjawab.