Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian Galuh salah membaca mantra kepada Bagja. Waktu berjalan cepat, namun perubahan hubungan mereka terasa jelas. Meski statusnya sudah ditentukan, keduanya tetap seperti Tom and Jerry. Saling sindir, saling kejar, saling membuat jengkel, tetapi diam-diam ada getaran kecil yang tidak bisa mereka tolak.
Galuh masih sering cemberut ketika Bagja muncul tiba-tiba dengan senyum nakal khasnya. Entah sejak kapan Bagja tidak segan-segan melemparkan godaan. Kadang dengan kalimat menggoda, kadang dengan tatapan yang sengaja diperpanjang. Ujung-ujungnya Galuh salah tingkah sendiri. Pipi merona, hati berdegup, tetapi mulutnya tetap saja pedas.
“Dasar Bagja, otakmu penuh kotoran!”
Sementara itu, kehidupan kawan-kawan mereka juga penuh warna. Ryan masih setia dengan misi cintanya. Belasan kali ia mencoba membaca mantra kepada Koh Ahong, pria paruh baya pemilik toko kelontong paling lengkap di kampung. Akan tetapi takdir seolah tidak berpihak.
Baru mau baca mantra, ada pembeli datang. Baru mau konsentrasi, mobil pengiriman barang datang. Kalau tidak begitu, mood Koh Ahong sedang jelek dan Ryan malah diusir dengan nada ketus.
“Kalau sudah selesai beli, jangan nongkrong di sini, bikin toko penuh!”
Dewa lain lagi nasibnya. Dia masih kesulitan bertemu dengan Denok. Wanita yang mencuri hatinya itu sibuk bekerja di supermarket kota. Setiap kali Dewa mampir, Denok selalu sedang sibuk di kasir, dikerubungi antrean panjang. Atau sedang mengatur stok barang di gudang. Alhasil, belum sekali pun Dewa berhasil mempraktekkan mantra yang sudah dia hafalkan mati-matian.
“Sepertinya hidupku ini kayak sinetron stripping, penuh episode penghalang,” keluh Dewa suatu sore sambil melamun di gardu.
Sepertinya hanya Galuh yang hanya sekali baca mantra. Walau begitu, dia tidak merasa bangga.
“Jejen, sini!” panggil Galuh sambil melambaikan tangan dari teras kelas.
Jejen, murid kesayangannya, yang sedang menyapu halaman sekolah, langsung berlari dengan sapu lidi masih di tangan. Wajahnya ceria, matanya berbinar, karena biasanya kalau dipanggil begitu, Bu Galuh akan memberi uang jajan. Dan benar saja.
“Ini buat meli makanan. Awas kalau dibelikan rokok!” ancam Galuh dengan tatapan ala guru killer. Hari dia gajian dan suka menyedekahkan ke beberapa murid tak mampu.
“Nuhun, Bu Galuh!” sahut Jejen, wajahnya bersinar seperti lampu petromaks. Dia berlari kecil, hampir tersandung sapu yang masih dia seret.
Galuh tersenyum tipis. Murid itu memang spesial. Meski Jejen tidak sama seperti anak-anak lainnya, semangat dan kerja kerasnya selalu mengingatkan Galuh bahwa tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga menjaga hati murid-muridnya.
Ryan dan Dewa baru saja keluar dari kelas masing-masing. Suasana sekolah masih ramai oleh suara anak-anak bermain di lapangan. Debu kapur tulis masih menempel di tangan mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat langkah keduanya ringan, yaitu hari gajian.
Wajah Ryan sumringah, senyumnya sampai ke telinga. “Bisa belikan emak dan bapak bakso Mas Wiji. Wah, kebayang pulang rumah nanti, makan bareng, panas-panas, kuah pedes, aduh nikmat!” katanya sambil mengusap perut.
Dewa tertawa kecil, tetapi nadanya lebih tenang. “Seperti biasa, begitu pulang ke rumah, uangku langsung dibagi-bagi. Buat bayar sekolah adik-adikku, sama bayar listrik. Sisanya, ya … entah masih ada apa enggak.”
Hidup Ryan walau pas-pasan, setidaknya mereka masih bisa makan enak dan menabung. Karena Ryan adalah anak tunggal, jadi uangnya tidak dibagi-bagi ke saudara yang lain.
Dewa menunduk sebentar, lalu menepuk pundak Ryan. “Tapi seneng, paling nggak emakku nggak perlu ngutang ke sana kemari. Kalau buat makan, ya, aku ngojek lagi.”
Ryan menatap sahabatnya dengan kagum. “Kamu tuh, ya, kalau ada penghargaan anak berbakti, pasti kamu juaranya.”
Dewa hanya tersenyum, menahan haru. Hidup memang keras, tapi bisa melihat adik-adiknya tetap sekolah sudah jadi kebahagiaan tersendiri. Apalagi ayahnya sudah lama meninggal, sehingga dia menjadi tulang punggung keluarga.
Galuh pun punya cara sendiri memaknai gajinya. Begitu uang itu sampai di tangannya, sebagian langsung ia sisihkan. Bukan untuk membeli baju baru, bukan untuk jalan-jalan, tetapi untuk datang ke rumah Bu Julaeha. Wanita paruh baya itu dipercaya mengurus administrasi sekolah, termasuk SPP murid-murid yang sering menunggak.
“Bu, ini untuk bayar SPP anak-anak yang belum bisa bayar. Jangan sampai mereka dikeluarin sekolah, ya,” kata Galuh sambil menyerahkan beberapa lembar uang.
Mata Bu Julaeha berkaca-kaca. “Astaghfirullah, Galuh, kamu ini … kamu juga kan perlu untuk dirimu sendiri.”
Galuh tersenyum tulus. “Buat saya, Bu, anak-anak itu sudah mau datang ke sekolah aja saya sudah senang. Mereka semangat belajar, padahal banyak yang jalannya jauh, perut kosong, baju seragam lusuh. Kalau sampai berhenti sekolah gara-gara uang, hati saya nggak tega.”
Di luar kantor, beberapa anak sedang berlarian. Baju mereka memang tidak serapi anak-anak kota, ada yang sobek di bagian lutut, ada yang kancingnya hilang. Namun, tawa mereka riuh, polos, seakan dunia ini penuh warna. Galuh menatap mereka dengan mata berbinar, merasa semua lelah mengajar terbayar lunas.
Sementara itu, Bagja di puskemas sibuk dengan pekerjaannya. Namun, di sela-sela kesibukan, pikirannya sering melayang ke Galuh. Dia tahu, meski gadis itu sering marah-marah, hatinya lembut dan penuh kasih.
“Kenapa sih aku malah makin suka sama dia?” gumam Bagja sambil mengacak-acak rambutnya.
Namun, begitu dia mencoba mengajak Galuh bicara, gadis itu selalu menjawab dengan nada ketus. Kadang hanya balasan singkat “Oke.” atau “Ya udah.”
Hubungan mereka masih seperti kucing dan tikus. Namun entah kenapa, keduanya selalu mencari alasan untuk tetap berada di lingkar yang sama.
***
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....