Fuan, seorang jenderal perempuan legendaris di dunia modern, tewas dalam ledakan yang dirancang oleh orang kepercayaannya. Bukannya masuk akhirat, jiwanya terlempar ke dunia lain—dunia para kultivator. Ia bangkit dalam tubuh Fa Niangli, permaisuri yang dibenci, dijauhi, dan dihina karena tubuhnya gemuk dan tak berguna. Setelah diracun dan dibuang ke danau, tubuh Fa Niangli mati... dan saat itulah Fuan mengambil alih. Tapi yang tak diketahui semua orang—tubuh itu menyimpan kekuatan langit dan darah klan kuno! Dan Fuan tidak pernah tahu caranya kalah...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 – Gadis Aneh dan Ayam Bicara
Mentari pagi menyapa Lembah Langit Tertinggi dengan hangatnya. Kabut tipis menggantung di atas danau kristal, sementara para pelayan sibuk membersihkan jalanan batu yang menuju aula utama sekte. Tong Lian, murid pertama sekaligus si bocah pemalas, tampak sedang tidur tengkurap di atas daun teratai raksasa.
“Tong Lian! Itu kolam latihan meditasi, bukan kasur musim panas!” bentak Fa Jinhai dari tepi danau.
Tong Lian membuka satu mata dan menguap panjang. “Tapi... energi spiritual di sini enak banget buat tidur, paman Jinhai…”
“Jangan panggil aku paman !” seru Fa Jinhai
“Bibi Jinhai?” tanya Tong Lian,
“KAU MAU Ku Tenggelamkan?!” kesal Fa Jinhai
Yuyu yang sedang menyiram tanaman spiritual hanya bisa terkikik pelan. Fa Niangli berdiri dari paviliun utama, mengamati interaksi mereka dengan senyum tipis. Lembah ini perlahan menjadi rumah, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi mereka yang datang dari berbagai latar belakang.
Hari ini, langit terasa lebih cerah dari biasanya dan itu biasanya menandakan satu hal:
Akan ada seseorang yang datang.
Sore harinya, seperti yang sudah diduga Fa Niangli, seekor ayam berlari masuk ke gerbang lembah.
Ya. Ayam.
Bukan ayam biasa. Ayam itu mengenakan syal merah dan membawa gulungan kecil di punggungnya. Di belakangnya, berlari seorang gadis berambut perak kusut, mengenakan jubah yang bolong di beberapa tempat.
“Xiao Kuai! Berhenti! Itu bukan tempatmu pipis!!” seru gadis itu sembari mengejar ayam Xiao Kuai
Para pelayan terpaku melihat adegan itu. Bahkan Tong Lian yang biasanya malas, membuka matanya lebar-lebar.
“Apakah itu... ayam utusan?” gumam Tong Lian,
Fa Niangli melangkah maju. “Tidak. Itu... murid kedua kita.”
Gadis itu akhirnya berhenti mengejar ayamnya dan menatap Fa Niangli.
Tatapannya tajam, meski wajahnya penuh debu. Tangannya memegang tas kain yang tampak berat. Di lehernya tergantung sebuah kalung dengan batu giok ungu tua.
“Namamu?” tanya Fa Niangli tenang.
“Aku Mo Qingluan. Tapi orang-orang memanggilku Awan Kesasar.”
“Kenapa begitu?” tanya Yuyu heran
“Karena aku sering nyasar.” jawab Mo Qingluan
Fa Niangli menahan tawa. “Dan... ayam itu?”
Mo Qingluan mengangkat ayamnya dengan bangga. “Namanya Xiao Kuai. Dia satu-satunya makhluk hidup yang pernah mau bicara padaku.”
“Bicara?” Yuyu mendekat. “Ayam ini bisa ngomong?”
“Bukan dengan mulut. Tapi aku bisa dengar pikirannya. Dia sering bilang, ‘Aku ingin makan ulat, jangan kasih nasi basi.’” jawab Mo Qingluan
Tong Lian menjatuhkan tubuh ke tanah dan tertawa. “PERMISI, AKU MENYERAH! ADA GADIS BICARA SAMA AYAM DI SINI!” tawa terbahak bahak
Fa Niangli tidak tertawa. Ia memandang Mo Qingluan dalam-dalam. Gadis itu tampak aneh di mata orang lain, tapi... aura di sekeliling tubuhnya unik. Ada ketenangan, keheningan dalam qi-nya. Dan di dalam dirinya, tersembunyi kekuatan roh tingkat tinggi.
“Mo Qingluan,” ucap Fa Niangli, “mulai hari ini, kau murid kedua Sekte Langit Tertinggi.”
Sedangkan Mo Qingluan hanya terpaku mendengar ucapan yang terasa tidak bisa terbantahkan
Hari-hari berikutnya dipenuhi kekacauan... yang menghibur.
Mo Qingluan ternyata seorang gadis yang pendiam pada manusia, tapi sangat cerewet saat berbicara dengan binatang.
Suatu pagi...
“Xiao Kuai bilang dia ingin jadi pelatih bela diri ayam.” ujar Mo Qingluan tiba tiba
“Xiao Kuai bilang Tong Lian bau.” ujar Mo Qingluan lagi
“Xiao Kuai bilang dia mimpi bertarung dengan naga dan menang.”
Tong Lian: “ITU AYAMMU KAYAKNYA HARUS DITANYA KEWARASANNYA!” ujarnya dengan kesal
Namun anehnya, kekuatan spiritual Mo Qingluan berkembang pesat. Ia bisa menyatu dengan alam dalam waktu singkat, memahami formasi tanah dan membaca perubahan cuaca. Ia bahkan bisa membuat tanaman spiritual tumbuh hanya dengan duduk di dekatnya.
Fa Niangli mengajarkan teknik meditasi dalam dan menyadari bahwa gadis ini memiliki afinitas terhadap roh-roh alami—suatu hal yang sangat langka.
“Jika kau terus melatihnya,” kata Fa Niangli suatu malam, “kau bisa berkomunikasi dengan binatang spiritual. Bahkan naga kecil atau rubah api pun akan mengikutimu.”
Mo Qingluan mengangguk pelan. “Asal mereka nggak makan ayamku, aku bersedia.”
Suatu sore, Fa Jinhai memanggil seluruh penghuni lembah untuk latihan fisik.
“Aku lelah lihat kalian bermalas-malasan! Sekte ini bukan panti pijat!” ujar Fa Jinhai kesal
“Kalau memang bukan panti pijat, kenapa ada batu pemanas di kolam?” tanya Tong Lian.
“ITU BATU LATIHAN, BODOH!” seru Fa Jinhai tambah kesal
“Aku pikir itu jacuzzi alam...” jawab Tong Lian, santai
Latihan pun dimulai: lompat tali di atas aliran qi, membawa air dengan pikiran, dan menahan formasi api ilusi.
Tong Lian tersengat api dan terjatuh, mengguling ke kolam.
Mo Qingluan dengan tenang memberi makan ayamnya di pinggir.
Fa Jinhai hampir mencabut rambutnya sendiri. “APA INI SEKTE ATAU TAMAN KANAK-KANAK?!”
Yuyu yang duduk di tepi aula hanya tertawa, “Menurutku… taman kanak-kanak dengan potensi jadi legenda.”
Sore itu, saat semua sudah lelah dan tertidur di atas rerumputan lembah, Fa Niangli berjalan sendirian ke tepi tebing.
Ia memandang ke langit yang mulai jingga, rambutnya tertiup angin lembut.
“Dua murid sudah datang,” gumamnya. “Dan mereka lebih ajaib dari yang bisa kubayangkan.”
Suara tua dari liontin berbisik, “Masih ada lebih banyak yang akan datang... masing-masing membawa potongan-potongan masa lalu sektemu. Pengikut sejati tidak mati... hanya tersesat.”
Fa Niangli menggenggam liontinnya. “Biar mereka datang. Aku akan menyambut semuanya… dan membentuk kembali keluarga besar ini.”
Lalu ia menoleh ke belakang, melihat dua murid absurdnya yang tidur melingkar di atas daun besar: satu sambil memeluk ayam, satu sambil mendengkur dan menggigiti batang rumput.
“Yah… keluarga besar yang sangat... unik.” lanjut Fa Niangli lagi
Bersambung
