Ayo Kita Cerai, Suamiku!

“Aku tidak terima, Mas! Aku tidak mau hidup seperti ini !” Tania membanting piring kosong ke meja kusam, suaranya bergema di ruangan kontrakan yang sempit itu. “Aku pikir, setelah Mas bercerai dari Bu Niken, Mas akan mendapatkan pembagian harta yang besar."

Damar memejamkan mata, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. “Tania, sudah aku jelasin berapa kali? Itu harta milik Niken. Aku tidak punya hak lebih. Selesai.”

“Alasan!” Tania menunjuk wajah Damar dengan mata melotot. “Dulu kau bilang hidupku akan enak jika mau menjadi simpananmu Mas. Aku percaya pada ucapanmu, aku kira kau pria kaya, tapi ternyata yang kaya itu mantan istrimu."

Damar membelalak, matanya merah karena marah. “Apa kau menyesal karena sudah menikah denganku?" tuduh Damar.

“YA!” Tania berteriak, air matanya mulai tumpah entah karena marah atau menyesal. “Aku menyesal Mas! Menyesal karena aku tidak selidiki tentang latar belakangmu lebih dulu!"

Damar mundur satu langkah, tangannya mengepal. “Tania, cukup. Aku sudah muak dengar semua hinaan kamu. Memang aku bukan siapa-siapa sekarang, tapi aku tidak selamanya jadi pecundang! Akan aku buktikan kalau aku juga bisa menjadi orang sukses tanpa bantuan Niken atau siapapun!”

"Baik. Silahkan buktikan, aku akan duduk manis sambil menunggu hasil dari perjuanganmu,"

Damar melangkah maju, nadanya dingin tapi bergetar. “Tania, bersabarlah sedikit. Aku akan berjuang lebih keras lagi agar bisa kembali seperti dulu. Agar aku bisa membahagiakan kamu dan calon anak kita,"

Tania menarik nafas panjang. Ingin rasanya dia kabur dan pergi meninggalkan Damar. Tapi mencari pria royal yang penurut dan mudah dibodohi seperti Damar sangat sulit. Mungkin Tania memang harus memberikan Damar kesempatan untuk berusaha.

Ting.... Tong....

Bel rumah berdentang. Damar dan Tania mengakhiri pertengkaran mereka dan keluar dari dalam ruang makan untuk mengecek tamu yang datang.

Pintu rumah terbuka, terlihat sesosok wanita tua dengan rambut pendek beruban. Dia adalah Mayang Ibu dari Damar.

"Bu," Damar terkejut.

"Dasar, anak bodoh tak tahu diuntung. Sudah enak punya istri cantik, kaya, bisa menumpang hidup. Malah selingkuh dengan cabe-cabean yang hanya bisa jadi benalu itu!" Mayang menunjuk ke arah Tania sambil menatap tajam.

Tania ketakutan, dia bersembunyi di balik tubuh besar suaminya. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Ibu Damar, bentuk dan pembawaannya sungguh mirip dengan nenek sihir di negri dongeng.

"Bu, tenang lah. Ayo masuk, kita bicara baik-baik di dalam." ajak Damar.

***

“Bu, aku mohon.... Jangan terlalu keras sama Tania,” ujar Damar hati-hati saat mereka duduk di teras rumah kontrakan yang sederhana itu. Sore itu angin berhembus pelan, membawa bau tanah basah setelah hujan.

"Bocah itu sudah menjadi pelakor, perusak rumah tanggamu dengan Niken. Bagaimana Ibu bisa bersikap baik dan lembut padanya?" protes Mayang.

“Ibu, dia sedang hamil muda,” desah Damar, menatap ibunya lelah. “Ibu sudah lama ingin punya cucu kan? Jadi, tolong perlakukan Tania dengan baik. Kendalikan kata-kata yang keluar dari mulut Ibu,"

Mayang memutar bola mata, lalu meletakkan gelasnya di meja. “Iya, iya, aku tahu. Aku senang akhirnya punya cucu. Tapi jujur saja, aku masih tidak habis pikir... Kenapa kau milih selingkuh? Padahal kehidupan rumah tanggamu dengan Niken terlihat adem ayem saja."

Damar menghela napas, menatap jalanan kecil di depan rumah. “Bu, aku tidak munafik. Waktu itu aku memang capek. Nikah bertahun-tahun, tidak kunjung punya anak. Aku frustrasi.”

Mayang mengangguk-angguk, memaklumi. “Ya wajar sih. Perempuan kalau tidak bisa memberi keturunan, pasti suaminya lari cari yang lain.”

Tapi Damar menoleh cepat, tatapannya tajam. “Tapi, Bu, itu bukan satu-satunya alasan. Terus terang aja... Niken itu terlalu dingin. Di ranjang, dia kaku. Aku tidak pernah merasa benar-benar puas.” Wajah Damar memerah, tapi dia tak menarik ucapannya. “Beda dengan Tania. Dia tahu bagaimana cara menyenangkan aku.”

Mayang melotot, dia melempar bantal sofa yang ada di sisinya ke arah Damar. "Jangan terlalu jujur membuka urusan ranjang pada Ibumu, tidak tahu malu!" omel Mayang. Dia sedikit geli mendengar kejujuran putra semata wayangnya.

“Kan tadi Ibu yang bertanya, apa alasan aku berselingkuh dari Niken,"

"Iya, iya. Apapun alasannya, terserah kau saja. Tapi Ibu punya satu permintaan," lanjut Mayang.

"Permintaan Apa, Bu?" Damar memasang wajah penasaran.

Mayang menatapnya serius, nadanya berubah tegas. “Kau harus bekerja lebih keras lagi. Aku tidak mau hidup susah dan kekurangan. Ibu tidak mau kembali ke masa lalu, makan serba kekurangan, hutang di mana-mana. Sekarang kamu punya tanggung jawab lebih besar, Mar. Anak, istri, dan Ibu. Jangan hanya memikirkan enaknya saja, pikirin masa depan!”

Damar mengepalkan tangannya, menunduk. “Aku tahu, Bu. Aku janji, aku akan berusaha sekuat tenaga. Aku tidak mau lihat Ibu hidup susah lagi.”

Mayang meraih tangan anaknya, menggenggam erat. “Ibu percaya padamu. Tapi jangan hanya janji di mulut. Buktikan. Biar Ibu bisa bangga lagi padamu.”

Damar menatap ibunya dalam-dalam, hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan tekad yang menguat. “Aku akan buktikan, Bu. Aku bakal sukses lagi. Demi semuanya.”

Mayang mengangguk pelan, kemudian melempar pandangan ke arah Tania. Tania hanya menunduk dan membisu karena tidak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal yang pasti, Damar sangat menurut pada omongan Ibunya. Tania harus berhati-hati pada wanita tua itu.

Bersambung....