Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih-benih Cinta
Salah satu pria di sisi kanan, yang sejak tadi hanya mengawasi, kini menarik busur kecil rakitan kasar. Ujung anak panahnya runcing seperti paku besar.
Busur itu diarahkan tepat ke dada Zahra.
“Zahra!” Althaf berteriak dan tanpa berpikir ia langsung bergerak.
Ia meraih Zahra, menariknya, dan memeluknya rapat melindunginya dengan tubuhnya sendiri.
Jleb!
Suara itu terdengar menyayat. Anak panah itu menancap dalam di lengan Althaf, hanya beberapa sentimeter dari dadanya.
Zahra membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.
“Al … Althaf! Kamu ... kamu terkena!” serunya penuh panik.
Althaf menggertakkan gigi menahan rasa sakit, namun ia tetap menatap Zahra terlebih dulu. “Kamu gak apa-apa?”
Zahra menggeleng cepat, masih syok. “Al, kamu terkena.”
“Tidak apa-apa.” Althaf berusaha tersenyum meski wajahnya kelelahan.
“Tidak apa-apa gimana!” Zahra membentak, suaranya pecah karena campuran takut dan marah.
Kemudian matanya beralih pada lima begal yang kini mencoba kabur dan sesuatu berubah di wajahnya.
Dari ketakutan menjadi murka. Mereka membangun singa betina yang tertidur itu.
Sorot matanya mengeras seperti baja. Nafasnya berat, rahangnya menegang.
“Kalian!” gumamnya pelan. Lalu berteriak. “Kalian berani menyakiti suamiku?!”
Tanpa memberi waktu pada Althaf untuk menahan, Zahra melesat maju seperti anak panah.
“Zahra, jangan—” Althaf mencoba menahan, tapi terlambat, Zahra bagaikan angin.
Dua begal di motor mencoba kabur, mesin meraung.
Zahra melompat, dua kakinya menghantam dada mereka sekaligus.
Duaaghh!
Motor mereka terguling dan kedua pria itu terpental ke tanah.
Begal yang memegang busur melarikan diri menuju mobil pete-pete kuning. Ia membuka pintu dan hendak kabur.
Zahra berlari.
Dalam satu gerakan cepat, ia meraih pintu mobil itu, membukanya paksa lalu menendang pria itu keluar hingga tersungkur ke aspal.
Bugh!
Sisa begal mencoba membantu, tapi mereka sudah ketakutan. Zahra tidak peduli. Ia mendaratkan pukulan pertama. Lalu tendangan. Pukulan bertubi-tubi. Dan tidak berhenti.
“Dasar sampah masyarakat!!” Zahra membentak laksana petir. “Harusnya kalian punah saja dari muka bumi ini!”
Kelima begal itu meraung, meminta ampun, mengangkat tangan, merangkak mundur. Namun Zahra yang wajahnya memerah karena emosi tidak menunjukkan sedikit belas kasihan pun.
“Ampun kak! Tolong maafkan kami! Aarrgghh!” jerit begal itu.
“Apa kau bilang? Kakak? Siapa kakakmu, Hah?! Heh sejak kapan bapakku dan mamakmu bersaudara,” ucap Zahra sambil terus memukuli para begal itu.
Zahra kembali berkata, “Beraninya kalian menyakiti suamiku, hah?! Kalian benar-benar cari mati sama aku ya!”
Kata “suamiku” itu memantul jelas di udara.
Althaf yang masih memegangi lengannya tertegun. Kata itu seperti memukul dadanya lebih keras daripada luka di lengannya. Untuk sesaat, rasa sakit di tangannya hilang digantikan rasa hangat yang tidak ia mengerti.
Sosok Zahra di hadapannya terlihat berbeda, marah, ganas, berani, dan melindunginya dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Althaf akhirnya tersadar ketika melihat Zahra akan memukul seseorang yang sudah hampir pingsan.
Ia buru-buru berlari, menahan lengannya sendiri yang sakit. Dengan cepat ia menarik tubuh Zahra dari belakang.
“Zahra! Sudah.” Suaranya tegas meski napasnya terengah. “Ayo kita pergi.”
Zahra meronta kecil. “Belum selesai! Para pulu-pulu ini harus bertanggung jawab!”
Tanpa menunggu jawaban, Zahra berjalan ke mobil pete-pete. Matanya liar mencari sesuatu, lalu ia melihat gulungan tali tebal di jok belakang.
“Ini dia,” gumamnya.
Dalam beberapa detik saja ia menarik para begal, memaksa mereka duduk bersandar, dan mulai mengikat mereka satu per satu. Tali itu dililitkan dengan keras, bahkan beberapa dari mereka meringis kesakitan.
Setelah semua terikat rapat, Zahra berdiri dan mengibaskan rambutnya.
“Ayo kita bawa mereka ke kantor polisi.”
Althaf menatap wajah istrinya lama. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baik, ayo.”
*
Mobil pete-pete berwarna kuning itu melaju dengan suara mesin tuanya, dikemudikan Zahra yang wajahnya masih memerah oleh adrenalin.
Di belakang, lima begal terikat rapat, menggerutu kecil namun tak berani banyak bergerak.
Sementara di belakang mobil, Althaf mengikuti dengan motor Karel, menahan sakit tiap kali angin malam menyentuh lukanya.
Sesampainya di kantor polisi kecil yang lampunya temaram, Zahra langsung menghentikan mobil itu dengan rem mendadak. Ia turun, membanting pintu, dan menuju bak belakang.
“Cepat keluar kalian!” bentaknya sembari menarik salah satu begal yang terikat.
Dua polisi yang berjaga di depan pos langsung terkejut. Mereka saling pandang, tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.
Seorang wanita muda menyeret begal seperti menyeret karung.
Zahra menyeret satu, lalu yang lain menyusul karena tali yang mengikat mereka tersambung satu sama lain. Mereka terseret seperti sekumpulan kambing.
“Pak. Tangkap mereka, mereka ini begal yang sudah meresahkan banyak masyarakat.” Zahra menatap para polisi itu tajam.
Kedua polisi itu tidak bergerak. Tatapan mereka kosong, bingung, seolah tidak percaya bahwa lima begal muncul tiba-tiba dalam keadaan babak belur dan diikat rapat oleh seorang perempuan mungil.
Zahra mengangkat alis, kesal. “Kalian dengar tidak? Tangkap mereka! Mereka itu begal!”
Barulah salah satu polisi tersadar. “I … iya, iya, Dek!” katanya cepat-cepat.
Mereka berdua segera menggiring kelima pria itu masuk ke dalam kantor polisi.
Zahra terengah karena emosi, tapi begitu menoleh, ia melihat Althaf turun dari motor sambil menahan lengan kirinya yang terluka.
Lelaki itu tersenyum kecil entah bangga, entah terharu, entah bingung menghadapi istrinya yang penuh kejutan.
Melihat itu, Zahra langsung menepuk dahinya. “Maaf … aku lupa lukamu,” katanya dengan suara pelan, penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa,” jawab Althaf pelan, masih tersenyum.
“Ayo kita ke rumah sakit,” lanjut Zahra, suaranya berubah cemas.
Althaf mengangguk. Beruntung rumah sakit berada tak jauh dari kantor polisi. Zahra menuntun Althaf menuju motor, tapi karena Althaf tidak sanggup mengendarai motor dengan satu tangan, Zahra akhirnya membawa motor itu pelan-pelan, dan mereka menuju rumah sakit yang berjarak hanya 300 meter.
Di rumah sakit, setelah melalui pemeriksaan, dokter menjahit luka Althaf. Zahra berdiri di sampingnya sepanjang proses, kedua tangannya mengepal menahan rasa ingin memukul lagi para begal tadi.
“Masih sakit?” tanya Zahra dengan suara lebih lembut dari biasanya.
“Sedikit,” jawab Althaf, meski wajahnya memucat.
Dokter akhirnya menyarankan mereka menginap karena waktu sudah dini hari. Zahra begitu lelah setelah adrenalin turun, akhirnya ia tertidur pulas di lantai yang hanya ada karpet tipis, Althaf dengan cepat mengangkat gadis itu ke ranjangnya.
Rambut coklatnya tergerai, wajahnya damai, seolah bukan orang yang hampir membunuh lima pria beberapa jam lalu.
Althaf duduk di tepi ranjangnya sendiri, meski jelas ia seharusnya berbaring. Tatapannya tak bisa lepas dari Zahra.
Ia memperhatikan bulu mata Zahra yang panjang, pipinya yang lembut, dan bibirnya merah alami yang tertutup rapat saat tidur.
Semua luka, lelah, dan rasa sakitnya seperti memudar ketika melihat sosok perempuan yang tadi begitu mati-matian melindunginya.
Perlahan, hampir tanpa sadar, tangan kanan Althaf terulur dan menyentuh rambut Zahra. Ia mengusapnya perlaha.
“Terima kasih,” bisiknya.
Namun begitu sadar apa yang ia lakukan, Althaf langsung terlonjak kecil. “Ya Allah,” gumamnya.
Pipinya memanas. “Astaghfirullah.”
Ia mengusap wajahnya sendiri, lalu berdiri sambil memegangi lengan yang diperban.
Lebih baik ia menjauh sebelum pikirannya melantur lebih jauh.
Setelah mengecek jam dinding dan melihat waktu Subuh hampir masuk, Althaf menarik napas panjang.
“Lebih baik aku berwudhu saja,” katanya pelan, menenangkan diri.
kalau mama rani tau kelakuan anaknya dah pasti geleng-geleng 🤭
tapi sekarang udah langka🤭🤭
emang enak klu dmakan dkasih gula putih dcampur gitu rasanya ada manis n asamnya, 😃
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk