Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5.
Hari itu, angin utara bertiup lebih kencang dari biasanya. Suaranya melolong seperti suara hantu yang tersesat. Para prajurit Silas bergegas di halaman, melatih sihir dan pedang. Salju tebal menuntun langkah-langkah mereka seakan tanah itu sendiri sedang menahan napas. Di tengah hiruk pikuk itu, Anastasia berjalan perlahan, langkahnya ringan, wajahnya tenang seakan ia tidak berada di wilayah yang selama ratusan tahun tidak pernah merasakan kedamaian. Kael berjalan di sampingnya, memegang gulungan laporan. “Ah… hari ini sedikit kacau,” gumam Kael, bibirnya mengerucut panik.
“Ada apa?” tanya Anastasia lembut sambil menatap prajurit yang berbaris rapi. Kael menggaruk kepalanya. “Kerajaan mengirimkan utusan. Mereka akan tiba dalam dua jam.” Anastasia mengangkat wajah. “Utusan dari istana?”
“Yaa. Mereka membawa pesan Kaisar… dan sesuatu yang jauh lebih buruk.”
“Apa itu?”
Kael menatap sekitar, lalu merendahkan suara. “Tunangan Duke.” Langkah Anastasia terhenti. Angin dingin menampar pipinya. Bukan dingin salju, tapi dingin informasi itu. “Putri Kaisar akan ke sini?” Kael mengangkat kedua tangan terburu-buru. “Bukan! Bukan sang Putri langsung. Tapi para utusan yang mewakili beliau. Dan mereka tidak pernah datang tanpa menuntut sesuatu.” Anastasia melanjutkan berjalan, wajahnya kembali polos. “Kupikir Duke sudah lama bertunangan.”
“Iya,” Kael mendengus. “Tunangan yang dia sendiri tidak pernah mau.” Anastasia tersenyum samar bahkan sangat samar cukup untuk menutupi pikiran yang mulai tersusun dalam kepalanya. “Tapi kenapa utusan itu datang sekarang?” ia bertanya. Kael membuka gulungan laporan. “Kabar bangkitnya Duke dari kematian telah sampai ke istana. Banyak yang bertanya… bagaimana dia hidup kembali.” Jantung Anastasia berdetak cepat. “…Dan?”
Kael menatapnya. “Dan rumor mengatakan itu karena sihir terlarang.” Anastasia menahan napas. Kael melanjutkan, suaranya berbisik seperti takut ada mata-mata. “Sihir yang paling dilarang di kerajaan adalah… membangkitkan orang mati.” Anastasia mengangguk pelan. “jadi orang-orang mengira Duke… menggunakan sihir terlarang?”
“Tidak.” Kael menatapnya lebih dalam. “Mereka malah mengira kau yang menggunakannya.” Anastasia terdiam. Salju jatuh lebih lebat, menutupi bulu mantel putihnya. Sihir kehidupan. Sihir terlarang. Sihir yang dia ulangi lagi setelah kematian dirinya sendiri. Ini pertama kalinya seseorang mencurigainya, meski belum secara langsung. Kael menggaruk tengkuk gugup. “Aku tidak percaya itu. Kau terlihat terlalu… lembut…”
Anastasia tersenyum halus. Senyum polos yang membuat orang ingin melindungi. “Sihir kehidupan aku tidak mungkin memilikinya. Aku hanya… menyentuhnya.” Kael menghela napas lega. “Benar! Aku juga yakin begitu.” Namun dalam hati, Anastasia bergumam ‘Jika mereka tahu aku memiliki kekuatan itu… aku tidak akan pernah dibiarkan hidup.’
Aula utama benteng Silas. Silas berdiri di depan jendela besar, memandang hamparan salju tanpa ekspresi. Mantel hitamnya menjuntai, rambut hitam panjangnya berkibar halus setiap kali angin masuk dari celah-celah dinding. Kael berlari masuk. “Duke! Mereka sudah di gerbang.” Silas tidak bergerak. “ck terlalu cepat.”
“Sepertinya mereka ingin memastikan rumor itu benar.” Silas memicingkan mata. “Rumor?” Kael menelan ludah. “Bahwa Anda… sudah mati.” Silas menatapnya tajam. “Dan mereka pikir siapa yang bisa membunuhku?”
“Tidak ada, tentu saja!” Kael tersenyum kaku. “Tapi rumor lain bilang… seseorang membangkitkan Anda.” Silas diam. Sangat diam. Angin di aula terasa membeku. “Aku tidak suka rumor,” katanya dengan wajah datar. “Bawa Anastasia kemari.”
Kael berkedip. “A-Anastasia? Kenapa?”
“Aku ingin melihat sesuatu.” Nada suaranya rumit seolah ada sesuatu yang ia ingin pastikan.bAnastasia memasuki aula. Seluruh ruangan terlihat sangat besar dinding batu hitam, tiang tinggi dengan ukiran serigala, perapian yang menyala dengan api biru dingin. Silas berdiri di tengah, sosok raksasa dengan aura yang mampu membuat tulang-tulang merapat ketakutan. Ketika Anastasia mendekat, Silas menatapnya tajam. “Kau tahu utusan kerajaan datang hari ini?”
“Ya, Duke.”
“Kau tahu apa yang mereka cari?”
“Aku bisa menebak.”
Silas melangkah mendekat. Setiap langkahnya bergema, seperti dentuman palu besar menghantam bumi. “Jawab aku,” katanya rendah. “Apa kau membangkitkanku dengan sihir terlarang?” Kael memandang Anastasia cemas. Anastasia menatap mata pria itu. Hitam, dalam, tajam, tidak berperasaan. Namun di balik semua itu, ia melihat sesuatu… Kebingungan? Anastasia menundukkan kepala pelan. “Aku… tidak tahu.”
Jawaban itu membuat Silas mengerutkan alis. “Tidak tahu?” ulangnya. “Aku tidak mengerti bagaimana kekuatanku bekerja.” Anastasia memegang kedua tangannya. “Aku hanya… menyentuh Anda. Dan cahaya muncul. Aku tidak memanggilnya tidak memerintahkannya dan tidak memintanya.”
Kael membentak pelan. “Jadi… itu terjadi begitu saja?” Anastasia mengangguk. “Aku juga takut, Duke Silas. Aku tahu sihir kehidupan dilarang. Aku tahu orang bisa dibakar hidup-hidup karena kemampuan seperti itu.” Kael menunduk dalam seakan menyadari betapa berbahayanya kenyataan ini. Silas menatap Anastasia tanpa berkedip.
Wajah gadis itu lembut. Suaranya gemetar. Matanya basah. Topeng sempurna untuk seorang wanita yang ingin memanipulasi dunia. Namun… anehnya… Silas mengira dirinya dapat membaca siapa pun. Tapi Anastasia… tidak. Ia tidak dapat melihat kebenaran dari gadis itu, tidak dapat merasakan tipu daya maupun ketulusan. Itu membuatnya terganggu. “Utusan akan tiba sebentar lagi,” katanya datar. “Jika mereka bertanya, biar aku yang menjawab.”
Anastasia menatapnya. “Apakah Anda… akan melindungiku?” Silas tidak menjawab. Hanya tatapan hitam yang tidak bisa ditebak. Namun itu cukup bagi Kael. Kael diam-diam bergumam, “Duke pasti melindunginya… tidak mungkin tidak…” Silas memalingkan wajah. “Ikuti aku. Kita akan menyambut mereka.”
Di pintu gerbang beteng utara Gerbang raksasa terbuka. Kereta emas dengan lambang kerajaan berhenti tepat di depan pintu. Enam ksatria kerajaan keluar terlebih dahulu, mengangkat pedang dekoratif untuk mengiringi seseorang yang lebih penting. Seorang pria muda turun dari kereta. Rambut kuning keemasan. Mata biru tajam. Mantel bulu putih. Senyum angkuh.
Pangeran Kedua Cassian Leor Luxien. Orang yang terkenal licik, mematikan, dan tidak pernah gagal membuat kekacauan di mana pun ia pergi. Ia melangkah maju, menatap Silas tanpa rasa takut. “Duke Silas,” katanya sambil tersenyum miring. “Senang sekali melihat Anda hidup.” Silas tidak berubah ekspresi. “Sayangnya, kabar matiku terlalu dibesar-besarkan.”
Cassian tertawa kecil. “Yah… ada banyak yang berharap Anda benar-benar mati.” Anastasia memandang pangeran itu sekilas, lalu menunduk. Ia tahu wajah bangsawan licik saat melihatnya. Cassian menggeser tatapannya ke Anastasia. Dan matanya langsung menyipit tajam seperti elang menemukan mangsa. “Siapa gadis ini?” Suasana tiba-tiba menegang. Kael menahan napas. Silas menatap Cassian dingin. “Bukan urusanmu.” Cassian tersenyum lebih lebar seperti senyum berbahaya.
“Ah… tapi bukankah rumor mengatakan gadis ini adalah orang yang membangkitkanmu?” Anastasia menegang. Silas mengangkat dagunya sedikit, tatapannya menjadi lebih gelap. “Rumor itu omong kosong.”
Cassian mendekati Anastasia. “Benarkah? Kalau begitu… izinkan aku bertanya langsung pada sumbernya.” Ia mengangkat dagu Anastasia dengan ujung sarung tangannya. “Manis sekali…” katanya pelan. “Untuk seseorang yang dituduh memegang sihir terlarang.” Kael hampir menyeret pangeran itu mundur.
Namun sebelum Anastasia bereaksi… Silas sudah bertindak. Tangannya bergerak cepat, mencengkram pergelangan Cassian, menghentikan gerakannya. Suara retakan kecil terdengar. “jika kau menyentuh nya lagi,” suara Silas dalam, pelan… namun setajam bilah es. “Maka kau akan kehilangan tanganmu.” Cassian tertawa… meski wajahnya menegang menahan rasa sakit. “Oh, Duke… jadi dia memang penting, ya?”
Silas melepaskan tangannya, mendorong Cassian mundur satu langkah. “Dia berada di bawah perlindunganku,” ucap Silas, dingin seperti kutukan. “Kalau kau mengusiknya… aku tidak akan memperingatkan dua kali.” Cassian memijat pergelangannya, tersenyum tipis.
“Menarik… sangat menarik.” Ia menatap Anastasia seolah menemukan permata langka. “Sepertinya perjalanan ini akan jauh lebih menyenangkan dari dugaan.” Dan di saat itu, salju kembali turun—menandakan kedatangan awal badai besar. Badai politik, Badai konflik, Badai yang mungkin akan menelan kerajaan, Dan Anastasia berdiri di pusatnya.