Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 35
Naina melenggang santai setelah melepas unek-uneknya pada Stevi, sang sekretaris suami yang sudah kelewatan menurutnya. Selama ini dia masih bisa tenang, tetapi setelah mendengar cerita suaminya, ada rasa was-was di dalam hati. Kalau Stevi bisa sembarangan tidur dengan laki-laki, berarti pastilah bukan termasuk perempuan baik-baik seperti yang diduganya selama ini.
Bisa saja suatu saat, dia akan menjerat Wira. Meskipun Naina yakin, Wira sangat mencintainya. Pasti ada satu masa di mana Wira lengah dan jadi santapan juga.
“Sepertinya mulai sekarang, aku harus hati-hati dengan Stevi,” gumamnya, melangkah masuk ke dalam lift.
Kaki tersarung sepatu wedges tinggi lima sentimeter itu melangkah masuk ke kantin kantor. Dengan tangan kanan menempelkan gawai putih tulang, Naina menikmati nada sambung panggilannya pada Tria. Laki-laki yang membuat janji sebelum bertemu dengan sang suami.
Netra menyapu empat penjuru kantin, sepanjang mata memandang hanya deretan bangku kosong diisi beberapa pengunjung yang tak lain karyawan kantor. Sejak aplikasi gojek online merajai, kantin ini semakin sepi. Banyak karyawan memilih menyantap makan siang dari luar kantor.
Senyum merekah saat panggilan telepon itu tersambung. Terdengar suara khas Tria, jelas dari arah depan sambil melambai tangannya.
“Angie, aku di sini,” ucap Tria, masih melambaikan tangan.
“Ya, Kak Tria.”
Naina buru-buru memangkas jarak di antaranya dan Tria. “Ada apa, Kak Tria?” Menjatuhkan bokongnya di kursi kantin. Basa basi untuk membuka pembicaraan yang sudah bisa ditebak arahnya akan ke mana.
“Aku hanya ingin mengobrol,” ucap Tria, santai. Menarik kursi dan duduk di seberang Naina.
Obrolan ringan dan santai, diselingi canda tawa khas Tria. Bercerita masa lalu, membuat keduanya bernostalgia kembali. Laki-laki itu masih sama seperti dulu, tawa renyah dan baik hatinya tak berubah sedikit pun. Hampir setengah jam bercengkerama ditemani dua gelas jus jeruk dan cemilan kentang goreng, Tria memulai ke topik yang lebih berat.
“Angie, aku sekarang bertugas membersikah ruangan suamimu.” Awal mula pembicaraan itu dibuka Tria.
“Oh ya?” Naina berpura-pura tidak tahu.
“He ... em!” Mengangguk dan menyunggingkan senyum bersamaan. Terlalu berat untuk Tria membuka cerita yang baru saja diketahuinya, khawatir Naina mengira kalau dia terlalu mencampuri masalah rumah tangga sahabatnya itu. Apalagi fakta sebenarnya dia tidak tahu jelas. Hanya berdasarkan apa yang dilihat dan didengarnya.
“Aku masih baru di sini, belum terlalu banyak mengenal karyawan lain.” Tria melanjutkan. Ragu-ragu melanjutkan niatnya atau mengurungkannya. Laki-laki itu menatap lekat wajah ayu Naina. Gadis manis yang diam-diam disukainya, tetapi belum sempat menyampaikan perasaannya, Naina keburu dilamar Wira, yang sekarang masih menjadi suaminya.
“Oh ya. Suamiku bercerita kalau bertemu dengan Kak Tria tadi pagi,” ucap Naina, menyeruput jus jeruk yang masih tertinggal setengah gelas.
“Ya ....”
Hening menyelimuti, baik Tria dan Naina terdiam sesaat. Laki-laki muda itu tampak berpikir, apa harus menceritakan semua yang diketahuinya.
“Angie, aku ... aku melihat suamimu dan sekretarisnya ....” Tria tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Naina sudah memotongnya.
“Ya, Mas Wira sudah bercerita tadi. Stevi sudah lancang memeluknya.” Naina memberitahu.
Tria terbelalak, tidak menyangka kalau Naina sudah mengetahuinya. “Maksudmu, kamu tahu kalau suamimu memiliki hubungan ....”
“Ya ....” potong Naina.
“Angie ... bukankah kamu tidak mau dipo ....” Lidah Tria keluh, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Memandang netra Naina, mencari kejujuran di sana.
“Kamu banyak berubah, Angie ....” ucap Tria, tertunduk. Dia tahu jelas bagaimana kehidupan Naina sewaktu di Yogyakarta.
“Aku masih sama seperti dulu, Kak Tria. Stevi itu sahabat suamiku sejak SMA. Dia sudah menikah dan memiliki anak.” Naina menjelaskan. Tidak ingin nama baik suaminya hancur karena kesalahpahaman yang tercipta karena kelancangan Stevi.
Tria yang awalnya ingin menceritakan apa yang dilihat dan dirasakannya tidak wajar, jadi urung saat melihat bagaimana cinta dan kepercayaan yang diberikan Naina pada sang suami. Laki-laki itu memilih memendamnya sendiri untuk saat ini.
***
Setelah dari kantor, Naina memacu mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke rumah mertuanya. Di perjalanan, Naina menyempatkan mampir ke toko bakery untuk membeli buah tangan untuk sang mertua. Mertua laki-lakinya sangat menyukai roll cake, sedangkan mertua perempuan menyukai lapis legit.
Tersenyum menenteng bungkusan berisi kue pilihannya, Naina kembali melanjutkan perjalanan. Jalanan ibukota sore itu terbilang ramai lancar seperti biasanya. Sedikit tersendat di perempatan lampu merah, selebihnya Naina bisa melajukan mobil tanpa kendala. Setengah jam, mini coopernya sudah terlihat berhenti di halaman rumah dua lantai milik mertuanya.
Begitu mobil mungil miliknya terparkir sempurna, manik mata pekatnya tanpa sengaja menangkap pemandangan ganjil dan tidak biasa. Ada seorang pengasuh dengan seragam birunya sedang menemani anak perempuan bermain di teras depan, tidak jauh dari mobilnya berhenti. Dilihat dari jalannya yang masih belum kukuh, Naina yakin gadis kecil itu belum genap berusia dua tahun. Baru saja bisa berjalan.
Turun dari mobil perlahan, Naina terbelalak saat jarak semakin dekat. Gadis kecil yang dilihatnya dari kejauhan, tak lain dan tak bukan adalah Nola, putrinya Stevi. Tentu saja dia bisa mengenali dengan jelas, pengasuhnya sama.
“Mbak, bagaimana ada di sini?” tanya Naina mengerutkan dahi, menyapa untuk berbasa-basi.
“Oh, Nyonya. Saya menemani Nola.” Pengasuh tersenyum, menunjuk pada gadis kecil dengan rambut dikuncir dua. Nola sedang berjalan kesana kemari, tak tentu arah.
Belum sempat Naina melemparkan pertanyaan baru, dari dalam rumah muncul mertua laki-lakinya setengah berteriak sambil berlari saat melihat Nola terjatuh. Buru-buru digendongnya. “Aduh, cucu opa baik-baik saja, kan? Cucu opa pintar, tidak menangis,” ujarnya, sembari mengusap lutut kecil Nola yang memerah dan sedikit luka.
Laki-laki yang masih gagah di usia lima puluhannya itu, terkejut saat menyadari kehadiran Naina yang tiba-tiba sudah di depan mata.
“Ini mbak.” Segera menyerahkan Nola kepada pengasuhnya tanpa bicara lagi. Sikap canggung dan salah tingkah itu tertangkap Naina yang sejak tadi menyimpan tanya. Melihat interaksi keduanya, Naina yakin ini bukan kali pertama Nola berkunjung ke rumah mertuanya. Terlihat dari sikap papa Wira yang sudah luwes dan tampak dari sikap Nola yang tidak menolak. Karena Naina tahu jelas, gadis kecil putri sekretaris suaminya itu susah didekati. Beberapa kali sempat dibawa ke kantor, tetapi Nola selalu menolak saat Naina mendekat.
“Selamat sore, Pa.” Naina menyapa. Wanita itu buru-buru mencium tangan papa mertuanya. Meskipun tanya di benaknya begitu besar dan butuh jawaban, Naina berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa,
“Kamu datang, Nai. Sendirian?” tanya Papa Wira berusaha menetralkan suasana canggung yang tercipta.
“Ini putri Stevi, sekretarisnya Wira. Pengasuhnya sering mengajak Nola bermain ke sini. Rumahnya tidak terlalu jauh,” jelas laki-laki itu. Tanpa ditanya, Papa Wira berusaha meluruskan.
“Ya, Pa.”
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.