Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji sebelum Akhir
Keheningan yang tersisa adalah keheningan reruntuhan, pekat oleh debu-debu pengakuan yang baru saja berhamburan. Lila tidak lagi menangis. Air matanya telah kering, meninggalkan jejak asin di pipinya yang pucat dan rasa perih di mata. Ia hanya menatap kosong ke lantai linoleum yang dingin, sementara tangan Angkasa yang menyentuh punggungnya terasa seperti jangkar sekaligus beban.
“Aku benci kamu,” bisik Lila, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Kata-kata itu meluncur tanpa amarah, hanya kehampaan yang mencekam.
“Aku benci kamu karena membuatku harus mengerti.”
Angkasa tidak menarik tangannya.
“Aku tahu,” jawabnya sama pelannya.
“Aku juga benci diriku sendiri karena memintamu melakukan ini.”
Lama mereka terdiam dalam posisi itu, Lila yang meringkuk di lantai dan Angkasa yang berjongkok di hadapannya, dua jiwa yang terperangkap dalam takdir yang sama kejamnya. Suara monitor EKG Gilang dari balik tirai menjadi metronom bagi sisa waktu mereka.
Akhirnya, Lila bergerak. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Angkasa dengan mata yang menyimpan luka ribuan tahun.
“Kalau ini memang maumu… kalau ini memang satu-satunya jalan…” Ia menarik napas dalam-dalam, sebuah napas yang terasa seperti menelan serpihan kaca.
“Aku punya satu syarat.”
Angkasa menunggu, tatapannya tak berkedip.
“Gilang… dia tidak boleh tahu,” lanjut Lila, suaranya sedikit lebih kuat, dipenuhi tekad seorang kakak.
“Tidak sepatah kata pun. Sampai semuanya selesai. Aku tidak mau dia hidup dengan rasa bersalah. Aku tidak mau dia melihatmu sebagai pengorbanan. Dia harus melihatmu sebagai kakak yang berjuang sampai akhir. Sama sepertinya.”
Hati Angkasa terasa diremas. Syarat itu jauh lebih berat dari yang ia duga, karena itu berarti mereka harus memainkan sebuah sandiwara yang menyakitkan.
“La…”
“Itu satu-satunya syaratku,” potong Lila tegas.
“Kita jalani sisa waktu yang kamu punya seolah-olah semuanya normal. Seolah-olah kita masih punya harapan. Kita akan tertawa di depannya, kita akan mengomelinya kalau dia malas makan, kita akan menjadi keluarga kecil kita yang aneh ini. Kamu berjuang untuk transplantasi sumsummu, dan dia berjuang untuk jantungnya. Itu cerita yang akan kita mainkan. Bisa, Mas?”
Permintaan itu adalah siksaan termanis. Angkasa menatap wanita di hadapannya, wanita yang baru saja hatinya ia hancurkan, kini malah membangun sebuah benteng untuk melindungi adiknya. Ia mengangguk pelan.
“Bisa. Aku janji.”
“Bagus,” kata Lila sambil bangkit berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Sekarang bantu aku berdiri. Punggungku pegal menangis di lantai,” rengeknya manja.
.
.
.
.
.
Dan sandiwara itu pun dimulai. Seminggu berikutnya, kamar 702 berubah menjadi panggung teater kecil dengan tiga aktor utama. Pagi hari dimulai dengan Angkasa yang sengaja mengeluh soal makanan rumah sakit, dan Gilang akan menimpali dengan sinisme khasnya, sementara Lila akan melerai mereka seperti seorang ibu yang lelah.
“Serius, Lang, bubur ini rasanya kayak adukan semen yang lupa dikasih gula,” kata Angkasa suatu pagi, mengaduk-aduk mangkuknya dengan ekspresi jijik yang dibuat-buat.
“Halah, ngeluh aja lo, Kak,” sahut Gilang dari ranjangnya, sibuk dengan konsol gim portabelnya.
“Seenggaknya lo masih bisa nelen. Gue kemarin hampir keselek pil segede gaban.”
“Kalian berdua ini, ya,” ujar Lila sambil meletakkan nampan obat di meja.
“Kalau tenaganya dipakai buat ngeluh terus, kapan sembuhnya? Makan. Dua-duanya.”
Di tengah pertengkaran-pertengkaran kecil itu, Angkasa dan Lila saling mencuri pandang. Sebuah tatapan yang berlangsung sepersekian detik, namun memuat seluruh volume kesedihan yang tak terucap. Di dalam tatapan itu ada perjanjian mereka, ada rahasia mereka, ada cinta mereka yang tragis.
Siang hari mereka habiskan dengan menonton film-film komedi murahan dari laptop Lila. Mereka akan tertawa bersama, tawa Gilang yang lepas, tawa Lila yang terkadang dipaksakan, dan tawa Angkasa yang terdengar sedikit hampa di telinganya sendiri. Saat Gilang fokus pada layar, tangan Angkasa akan mencari tangan Lila di bawah selimut. Genggaman mereka erat, sebuah komunikasi tanpa kata yang mengatakan, ‘Aku di sini. Aku masih di sini.’
Malam adalah bagian yang terberat. Setelah Gilang tertidur, ditemani dengkur halusnya, dunia kecil anti peluru mereka mulai retak. Keheningan malam membawa serta kenyataan yang mereka coba sembunyikan di siang hari.
“Kamu yakin nggak apa-apa?” bisik Lila pada suatu malam, saat melihat Angkasa meringis pelan sambil memegangi perutnya.
“Cuma kram biasa,” jawab Angkasa, berbohong.
“Efek obat, mungkin.”
“Bohong,” desis Lila.
Wanita cantik itu mengambil balsem hangat dari lacinya dan tanpa bertanya lagi, ia mengangkat kaus Angkasa, mengoleskannya dengan lembut di kulit perutnya yang dingin. Tangannya bergerak melingkar, mencoba menghalau nyeri yang ia tahu bukan sekadar kram biasa.
“Kadang aku merasa kita ini jahat banget, La,” gumam Angkasa, matanya terpejam merasakan sentuhan hangat itu.
“Kenapa?”
“Karena kita membiarkan Gilang berharap. Kita memberinya ilusi kalau semuanya akan baik-baik saja.”
Lila menghentikan gerakannya sejenak. Ia menatap wajah Angkasa yang diterangi cahaya remang dari koridor. Wajah yang semakin tirus, namun entah kenapa terlihat semakin damai.
“Harapan itu yang bikin dia bertahan, Mas,” jawab Lila.
“Dan sandiwara ini… bukan cuma buat dia. Ini juga buat aku. Ini caraku mencuri waktu lebih banyak sama kamu.”
Angkasa membuka matanya. Ia melihat kejujuran yang menyakitkan di mata Lila. Ia menarik Lila mendekat, membiarkan kepala wanita itu bersandar di dadanya. Lila bisa mendengar detak jantung itu. Dug. Dug. Dug. Kuat, teratur, penuh kehidupan. Jantung yang sama yang akan terus berdetak saat pemiliknya sudah lama pergi. Air mata menggenang lagi di pelupuknya, tetapi ia menahannya. Tidak malam ini.
“Aku cinta kamu, La,” bisik Angkasa ke puncak kepala Lila.
“Jangan bilang gitu sekarang,” isak Lila tertahan.
“Nanti aku nggak bisa berhenti nangis.”
“Justru aku harus bilang sekarang. Selagi aku masih bisa.”
Mereka terdiam, hanya berbagi detak jantung dan napas. Di ranjang seberang, Gilang menggumam dalam tidurnya, membalikkan badan. Untuk sesaat, ilusi itu terasa begitu nyata. Mereka benar-benar sebuah keluarga.
Malam itu, Angkasa tidak bisa tidur. Ada perasaan aneh yang menjalari tubuhnya, firasat dingin yang membuatnya gelisah. Ia menatap langit-langit kamar, menghitung setiap detik yang berlalu. Ia memikirkan semua yang telah terjadi, panti asuhan, ayahnya, Laras, Mia, dan akhirnya, Lila. Semesta telah memberinya perjalanan yang begitu berliku hanya untuk membawanya pada akhir yang seperti ini. Ia tidak marah. Hanya lelah.
Menjelang dini hari, saat ia merasa sedikit mengantuk, sebuah batuk kecil lolos dari bibirnya. Lalu satu lagi, lebih kuat. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang hangat dan terasa seperti logam memenuhi mulutnya. Darah.
Ia mencoba bangkit tanpa suara agar tidak membangunkan Lila yang tertidur di kursi samping ranjangnya, tetapi sebuah gelombang pusing yang hebat menghantamnya. Batuknya menjadi lebih keras, tak terkendali.
“Mas?” Suara serak Lila terdengar di sampingnya, penuh kantuk.
“Kamu kenapa?”
Angkasa tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menunjuk ke mulutnya, matanya terbelalak panik. Lila yang masih setengah sadar, langsung terjaga sepenuhnya saat melihat noda merah gelap mulai merembes dari sudut bibir Angkasa dan menetes ke bantal putih.
“Ya Tuhan! Angkasa!” jeritnya tertahan. Kepanikan seorang kekasih bercampur dengan refleks seorang perawat. Tangannya dengan cepat menekan tombol darurat di atas kepala ranjang.
“Lang! Gilang, bangun!” seru Lila, mengguncang bahu adiknya.
Gilang terlonjak kaget.
“Apaan sih, Kak? Berisik…” Kalimatnya terputus saat melihat pemandangan di depannya. Kakak Angkasa, panutannya, kini terbatuk hebat, menyemburkan darah segar ke selimutnya.
“Kak Angkasa!”
Alarm darurat meraung memecah keheningan malam. Dalam hitungan detik, pintu kamar terbuka dan beberapa perawat serta seorang dokter jaga berhamburan masuk. Ruangan itu seketika menjadi lautan kepanikan yang teratur.
“Pendarahan masif di saluran cerna atas! Siapkan suction!”
“Tekanan darahnya drop, 80 per 50!”
“Pasang jalur infus satu lagi, cepat!”
Lila dan Gilang terdorong ke sudut ruangan, hanya bisa menonton dengan ngeri. Lila mencengkeram lengan adiknya begitu erat, kukunya menancap ke kulit. Di tengah kekacauan itu, mata Angkasa yang mulai sayu mencari-cari mata Lila. Ia menemukannya. Di antara seragam putih dan peralatan medis, ia menatap lurus pada Lila, mulutnya bergerak tanpa suara, membentuk satu kata: ‘Janji.’
Dokter jaga menoleh ke arah Lila, wajahnya tegang dan serius.
“Kondisinya kritis. Pendarahannya tidak mau berhenti. Kita harus membawanya ke ruang operasi sekarang juga. Kemungkinan selamatnya…”