Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35. Tantangan Calon Mertua
35
Malam turun perlahan di Jogja, menyelimuti pendopo keluarga besar itu dengan aroma kayu jati dan bunga melati dari taman belakang. Angin lembut berhembus, membawa suara jangkrik dan desir daun yang bergesekan di bawah rembulan.
Aldrich duduk di bangku panjang kayu jati di teras, mengenakan pakaian santai. Di hadapannya, secangkir teh panas mengepul pelan.
Pikirannya masih berputar pada kejadian saat makan malam tadi.
Ia jarang melihat ibunya tersenyum selembut itu, terutama kepada orang baru. Dan yang lebih aneh lagi, hatinya ikut tenang hanya dengan melihat Allea berbicara dengan lembut dan menunduk sopan di depan Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu.
Langkah kaki halus terdengar dari arah dalam.
“Maaf kalo ganggu, Mas ...” suara lembut itu menyapa.
Aldrich menoleh, dan di bawah cahaya lampu gantung, tampak Allea dengan baju tidur cantik berwarna pastel, rambutnya masih tergerai rapi. Wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya, entah karena riasan yang belum ia hapus, atau karena pancaran dari dirinya sendiri.
“Belum tidur?” tanya Aldrich datar, mencoba terdengar biasa.
Allea duduk di kursi seberang. “Aku nggak bisa tidur.
Suasananya... terlalu tenang.”
Aldrich menatapnya sekilas. “Biasanya orang susah tidur karena bising, bukan karena tenang.”
“Justru itu, Mas.” Allea tersenyum samar. “Terlalu tenang bikin aku kebanyakan mikir.”
Hening sejenak.
Dari kejauhan terdengar suara air kolam kecil.
Aldrich memutar cangkir teh di tangannya. “Tadi kamu bagus banget ngomong sama Romo dan Ibu.”
“Bagus karena berhasil berbohong dengan lancar?” Allea menunduk, suaranya serak.
Aldrich tidak menjawab segera. Ia menatap Allea lama, seperti mencoba menembus lapisan yang selama ini disembunyikan gadis itu.
“Kamu nggak perlu merasa bersalah,” katanya akhirnya. “Aku yang memintamu berpura-pura. Semua ini salahku.”
Allea menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Justru aku yang... seharusnya minta maaf. Aku udah menipu kalian sejak awal. Menyamar jadi orang lain. Kerja di dekat Mas dengan nama palsu, identitas palsu. Ku pikir itu cara terbaik untuk selamat, tapi ternyata... semakin lama aku hidup dalam kebohongan ini, semakin takut kehilangan diri sendiri.”
Aldrich menatapnya, mata teduhnya bergetar samar.
“Selamat dari siapa?”
“Dari masa lalu,” jawab Allea lirih. “Dari seseorang yang dulu saya kira rumah, tapi ternyata penjara.”
Hening kembali menyelimuti.
Aldrich tahu persis seperti apa rasanya. Ia pun hidup menutupi masa lalu yang tak ingin diingat.
“Aku juga bersembunyi,” ucap Aldrich pelan. “Bukan di balik nama, tapi di balik dingin dan acuhnya sikapku. Aku pikir kalo aku gak peduli, aku akan aman. Tapi ternyata... itu cuma bikin aku kehilangan rasa.”
Allea mendongak, menatap pria itu untuk pertama kalinya tanpa canggung.
“Lalu... sekarang?”
Aldrich menegakkan punggungnya, menatap jauh ke taman di depan. “Sekarang aku mulai merasa lagi. Dan aku nggak tahu harus senang atau takut.”
Hela napas Allea tertahan.
“Maksud Mas...?”
Aldrich berbalik, menatapnya lurus. “Kamu tahu persis apa maksudku.”
Tatapan mereka bertaut lama, lebih lama dari seharusnya. Dalam keheningan itu, seolah udara di antara mereka menjadi padat oleh sesuatu yang tak terucap, rasa yang dulu tidak diundang, kini tumbuh tanpa izin.
“Mas Aldrich...” Allea berusaha bicara, tapi suaranya nyaris tak terdengar.
Aldrich menarik napas panjang. “Aku tahu kamu nggak mau ini jadi rumit. Aku juga. Tapi entah kenapa, sejak hari itu... sejak kamu masuk ke hidupku dengan semua kepura-puraanmu... rasanya seperti aku akhirnya bisa bernapas lagi.”
Allea memejamkan mata. Ada sesuatu yang mengalir hangat di balik dadanya, antara takut, lega, dan bingung.
“Mas... kalau kita terus begini, nanti semuanya bisa kacau.”
Aldrich tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul.
“Mungkin memang sudah kacau sejak pertama kali kamu menatapku waktu itu.”
Mereka sama-sama diam. Hanya desiran angin yang berani lewat di antara mereka.
Tak lama kemudian, Kanjeng Ibu muncul di pintu pendopo, membawa selendang di tangan.
“Allea, nak, jangan duduk di luar terus. Udara malam Jogja dingin. Nanti masuk angin.”
Allea tersentak kecil. “Inggih, Kanjeng Ibu. Saya masuk sebentar lagi..”
Aldrich menunduk hormat, sementara Allea berjalan melewati sang aktor dengan langkah hati-hati. Namun saat lewat di hadapannya, Aldrich memanggil lirih.
“Allea.”
Ia berhenti, menoleh.
Aldrich menatapnya dalam-dalam. “Terima kasih... sudah mau berpura-pura bersamaku.” ucapnya pelan.
Allea menatap balik, mata mereka bertemu dalam diam yang lebih jujur dari kata-kata.
“Kadang... berpura-pura bisa terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri,” balasnya lirih.
Lalu ia berjalan masuk, meninggalkan Aldrich di bawah langit malam yang penuh bintang, seorang pria yang akhirnya sadar bahwa perasaan yang dulu ia bunuh, kini hidup kembali dalam sosok yang paling tidak terduga.
.
Suara gamelan halus dari pendopo mengiringi pagi yang lembap di rumah keluarga Bramantara. Embun masih menempel di dedaunan, sementara aroma nasi liwet dan sayur lodeh menguar dari dapur besar di belakang.
Allen atau kini, Allea_duduk bersimpuh di beranda, mengenakan kebaya modern berwarna krem dan kain batik parang. Wajahnya polos tanpa riasan berat, tapi justru itulah yang membuatnya tampak lembut di mata semua orang rumah.
Kanjeng Ibu menatapnya dari kursi kayu jati, dengan senyum penuh arti. Di sekeliling mereka, beberapa kerabat sudah datang, Bude Sri, Pakdhe Wiryo, Alyssa, dan Rio, adik dan sepupu Aldrich yang terkenal cerewet.
“Lha iki to, sing jenenge Allea?” tanya Bude Sri sambil tersenyum menggoda.
“Inggih, Bude,” jawab Allea dengan sopan.
“Wah, ayune adem. Ora nggumun Mas Aldrich dadi rada anteng saiki,” celetuk Alyssa yang membuat semua tertawa, ia adalah adik kandung Aldrich yang sudah menikah meski belum dikaruniai anak.
Aldrich yang duduk di samping Allea hanya bisa menarik napas panjang. Ia berusaha tampak tenang, tapi jemarinya mengepal di atas lutut.
Kanjeng Ibu lalu menatap keduanya bergantian.
“Sakjane, apa rencana kamu untuk masa depan, Cah Bagus?” tanyanya dengan nada lembut tapi menohok, nada khas seorang ibu Jawa yang seolah biasa saja, padahal sedang menyidik pelan-pelan.
Allen hampir tersedak teh yang baru ia teguk. Pandangannya spontan mengarah ke Aldrich, berharap pria itu segera bicara.
Aldrich berdeham pelan. “Kita… masih fokus kerja dulu, Bu. Syuting masih panjang.”
Kanjeng Ibu menatap tajam namun tetap tersenyum. “Kerja memang penting,, tapi yo ojo nganti lali urip pribadi. Wong saklawase yo ora ana sing ngerti kapan Gusti maringi wektu. Ibu pengin ndeleng kowe bahagia sakdurunge…” suaranya merendah, “…sakdurunge Ibu tenan-tenan sepuh.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Bahkan sendok dan piring berhenti berdenting.
Allen menunduk, hatinya terenyuh.
“Ibu, Mas Aldrich adalah orang yang baik, bertanggung jawab. Semoga Tuhan memberikan jalan yang baik bagi kami berdua,” katanya dengan suara lembut.
Semua mata terarah padanya.
Kanjeng Ibu mengangguk pelan, matanya berkilat bangga. “Ini adalah wanita yang tahu bagaimana harus bersikap. Sudah sepatutnya Aldrich menurut. Ini tidak seperti pacarnya yang dulu..."
Kalimat terakhir itu membuat Aldrich terdiam. Ada bayangan masa lalu yang tak ingin ia buka di depan siapa pun.
Rio yang duduk di ujung meja tiba-tiba ikut menimpali, menggoda, “Lha kapan undangané, Mas Aldrich? Aku siap nyumbang organ tunggal!”
Gelak tawa pun pecah, tapi bagi Aldrich dan Allen, jantung mereka berdetak makin cepat.
Kanjeng Ibu menatap keduanya lagi, kali ini dengan tatapan tajam tapi penuh kasih.
“Ibu hanya ingin memastikan. Kalau serius sama Allea, jangan asal jadi tameng. Orang yang begitu cantik, jika kamu kehilangannya, kamulah yang akan menyesalinya."
Aldrich terdiam lama.
Matanya menatap Allea, dan dalam pandangan itu, ada pergulatan hebat antara sandiwara dan sesuatu yang mulai tumbuh nyata.
“Aku… ora bakal nyia-nyiain dia, Bu,” jawab Aldrich akhirnya, suaranya tenang tapi dalam.
Kerabat yang mendengar hanya bisa tersenyum simpul, menganggapnya sebagai janji manis seorang pria pada kekasihnya. Tapi di dalam hati Allen, kalimat itu terasa terlalu nyata untuk sekadar peran.
Di saat semua sibuk bercanda, Kanjeng Ibu sempat berbisik lirih pada Allen sebelum meninggalkan meja,
“Ibu titip Aldrich yo Cah Ayu. Anakku kuwi kelihatane keras, tapi hatine sepi banget. Moga kaloan langgeng.”
Allen hanya mampu menunduk, matanya memanas.
Ia sadar, setiap kata yang keluar dari bibir Kanjeng Ibu justru membuat kebohongan kecil mereka terasa semakin berat untuk dijaga.
"Diajeng, apa ndak sebaiknya mereka bertunangan dulu. Biar kita tenang melepas mereka kembali ke Jakarta." Usul Kanjeng Romo.
"Apa? Tunangan?" Allea dan Aldrich terperanjat.
"Ide bagus, Kangmas." sahut Kanjeng Ibu penuh semangat.
.
YuKa/ 111125
Bodoh kenapa..? Karena dia hanya mendengarkan dari satu pihak saja, bahkan berita yang belum tentu kebenarannya justru di telan mentah² dengan mempercayainya..
Astaghfirullah..
Ayumi, Nauzubillah..🤦🏻♀️😏
05.55 Wib.. Hadir.. ❤
Gayamu Al modus, kepengen tidur ada yang nemenin kan🤭
Ayumi jahat bener sebarin gosip buruk ttg Aldrich. maksudnya apa coba🤔🤔🤔. awas aja klo sampe bikin popularitas Aldrich merosot. kubejek2 kau Ayumi😂😂😂
Jika Aldrich dekat dengan Allen, emang nya apa urusan mu..?
Meilin.. Urus aja kerjaan mu..
Aldrich bukan lah pacar mu..
Harusnya kau sadari itu..
Kehidupan Aldrich biar dia sendiri yg atur, dan itu bukan hak mu..
Absen dulu, bacanya ntar siang.. 😁