Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keping Kecewa
Suara gelas pecah menyentak perhatian seisi rumah. Termasuk Bram yang berdiri bengong dekat Mala yang hendak berangkat sekolah.
Maya menatapnya liar. Sebuah pandangan tak biasa penuh dendam dan rasa jijik.
Hati Mala berdesir. Segera menyuruh Moya membawa Mia dan mengunci diri di kamar.
Jantung Mala berdebar tak keruan, sementara itu Bram bersiap naik pitam dengan perbuatan Maya yang mengibaskan tangan saat Bram hendak memeluknya. Tak sengaja kibasan tangan itu mengenai gelas yang Bram pegang, rupanya Bram baru saja dari kulkas hendak minum air dingin.
Melihat Mala yang sudah siap dengan seragamnya, tanpa sedikitpun menoleh pada Bram. Bram terganggu dan bertanya, “Apa kamu nggak mau pamitan sama Papah?” gerakan selanjutnya Bram menarik lengan Maya untuk memeluknya. Pikir Bram seperti biasa, Bram masih bebas mengecup kening putri pertamanya itu ketika berangkat sekolah.
“Tidak, jangan sentuh aku!” pekik Maya keras.
Sekali lagi menghardik tangan sang Papah yang ingin menarik dirinya dari berserakannya pecahan gelas di lantai.
“Ada apa sih Maya?” sontak Bram tidak terima.
Intuisi Mala sudah tidak enak. Mulai menangkap tangisan Maya tadi malam ditujukan pada papahnya.
“Aku berangkat sendiri!” seru Maya mendorong badan Bram hingga terpojok di dinding.
“Maya!!!” Bram membentak Maya keras.
“Ada apa sih?” Mala menghampiri mereka. Tubuh Mala menunduk, tangannya terulur bermaksud membersihkan pecahan gelas yang berserakan.
“Stop!” tangan Maya menggenggam tangan Mala.
“Biar Maya saja, Mah!” tukasnya.
“Heh, ada apa ini? Kenapa sikap Maya kurang ajar sama Papah, heh? Oh, Papah nggak terima, nih … pagi-pagi udah diginiin!” cerocos Bram.
Maya memutar matanya ke atas tanda muak dengan kalimat yang meluncur dari bibir Bram. Semua gelagat aneh ini tak luput dari perhatian Mala.
“Udah Pah, kamu pergi keluar dulu, biar aku bicara dengan Maya!” cetus Mala.
“Oh, tidak bisa. Papah aja nggak ngapa-ngapain kok, Maya sampai menghardik begini, sakit hati Mah!” seru Bram merengek. Hidungnya kembang kempis dan mata yang dibuat sedrama mungkin untuk menghasilkan air mata.
“Cih!” Maya mendecih.
“Maya!” tegur Mala tegas. Bagaimanapun Maya tak pantas berdecih pada orang tua.
“Tuh kan! Kurang ajar Maya, nih!” seru Bram tak mau kalah.
Mala pening di antara bapak dan anak yang sama-sama tak mau mengalah.
Mala sangat paham, manusia narsistik seperti Bram tak mungkin menerima rasa tidak suka dari orang lain. Sebisa mungkin pasti Bram akan membuat dirinya dicintai dan bila ada yang membencinya maka pembenci itu harus merasakan kebencian dari orang lain juga.
Untuk itulah, ketika Mia dan Moya kembali muncul karena kepo dengan apa yang terjadi, Bram langsung mengadukan pada Mia tentang betapa kurang ajarnya sang kaka yang menghardik papahnya. Moya melotot pada Maya, sementara Mia menangis berteriak.
“Jangan sakiti Papahku!” teriaknya sambil menangis.
Sungguh suasana pagi ini begitu crowded, Mala berinisiatif memeluk Maya supaya putrinya itu tak merasakan gejolak emosi yang menggelegak.
Tak disangka, Maya kemudian menangis dalam pelukan Mala. Bram masih mengganggunya dengan mencolek-colek pinggang Maya. Sementara Moya dan si kecil Mia masih digunakan Bram untuk melindungi dirinya.
Maya tambah tersedu, di antara tangis dia meminta agar mamahnya menyuruh adik-adiknya itu kembali ke kamar.
Mala mematuhi, dengan tegas menyuruh mereka ke kamar dan tak masuk sekolah. Setelah pembicaraan ini, Mala sendiri yang akan meminta izin pada guru mereka. Begitu pun dengan Maya yang telah ditanya terlebih dulu, apakah Maya sudah selesai remedial, Maya bilang tak ada lagi yang penting untuk kelas dua belas … Maya lirih mengatakan di sekolah tinggal menunggu kelulusan.
Mendengar itu Bram tak mau kalah, meninggikan dirinya bahwa Maya masih membutuhkan dirinya untuk melanjutkan perguruan tinggi, sehingga tak pantas berbuat tidak hormat pada papahnya.
Maya mendengus kesal. Dan ….
Pukul tujuh lewat … mereka bertiga telah duduk melingkar di meja dapur. Pecahan gelas itu telah dibersihkan. Maya menutup matanya, tak mau memandang Bram di hadapannya.
“Kamu berani melawan ke Papah, diajarin siapa sih kamu, pasti kalau nggak Mamah, kakek , ya?” tuduh Bram asal.
“Sudahlah, Pah jangan kayak anak kecil!” sahut Mala.
“Hah, nggak salah? Aku ini nggak salah apa-apa, Mala!”
Melalui panggilan itu, Mala paham Bram amat tersinggung. Namun, Mala pun terlalu paham sifat Bram yang tak mau disalahkan.
“Stop membela diri, Pah. Papah salah, tauk?!” Mala tak tahan untuk bersuara.
“Hah?? Apa-apaan kamu Maya?” Bram tidak terima.
“Aku melihatmu dengan seseorang di mobil!” teriak Mala, mengeluarkan kalimat yang dari tadi berputar-putar di kepala. Tangisnya pecah, berhambur memeluk Mala.
Bram terkesiap, spontan menarik niatnya untuk membentak anaknya. Mala mulai mencerna apa yang terjadi, mulai berkelebatan kembali bayangan kursi mobil dengan posisi setengah tidur. Lantas karet yang tak sengaja terinjak di bawah kursi sebelah kiri.
Setelah menyadari kemungkinan yang terjadi, darah Mala kembali berdesir. Menatap putri sulungnya iba. Sungguh hal paling menyakitkan bagi Mala jika mengetahui putrinya itu menderita karena ulah perselingkuhan Bram.
“Sudah lama aku mengabaikan pertanda ganjil mengenai Papah, tapi aku abaikan. Aku tak mau Mamah tambah bersedih. Tapi, aku melihatnya sendiri dan … ternyata aku tahu … Mamah telah lama tahu dan memendamnya sendiri.”
“Dari mana kamu tahu, Maya… kalau Mamah sudah tahu?” tanya Mala heran. Selama ini tak pernah secara terang-terangan Mala membahas atau mengeluhkan permasalahannya dengan Bram.
“Aku membaca tulisan Mamah di memo ponsel, setiap kejadian dan malam-malam kesepian mamah. Apa yang Mamah rasakan, semua tercatat secara jelas.”
Mala lemas. Mengapa sebelumnya tak berpikir, tak aman menyimpan segala peristiwa yang menimpa di dalam memo ponsel. Anak-anak dengan bebas bisa mengakses isi di dalam ponsel Mala.
Bram tak bicara. Merenung dan mencoba mencari celah pembelaan diri. Sekonyong-konyong Bram berdiri, tak mau lebih disudutkan.
“Sudah 'kan? Interogasinya?” ucap Bram arogan.
“Kami saja belum menanyaimu apa pun, Pah?” Maya melotot. Heran sikap papahnya masih saja angkuh.
“Ya sudah, tanyakan, cepat!” perintah Bram tak mau kalah. Pokoknya tak boleh ada yang menyudutkan dirinya walaupun itu anaknya sendiri.
“Sudahlah, pergi saja kamu Pah!” Mala ikut kesal melihat tingkah Bram yang bukannya merasa menyesal menyakiti hati putrinya malah masih saja petantang-petenteng.
Bram berlalu pergi. Perasaan Maya campur aduk menahan jengkel.
"Mah!" Mala berhambur memeluk Mala, sebenarnya ingin menguatkan tapi dia sendiri pun butuh dikuatkan.
Maya tak menyangka mamahnya bisa setenang ini dalam menghadapi papahnya yang tak tahu diri.
"Maafkan Maya, Mah! Inilah alasan Maya ingin mengurungkan niat kuliah ... supaya tak ada hutang budi pada Papah."
"Hush! Apa-apaan sih Maya! Sudah sepantasnya papahmu bertanggung jawab menyekolahkan anak-anaknya."
"Tapi Maya sudah muak, Mah! Papah selalu menyombongkan diri dengan uangnya!" sungut Maya.
Mala menarik napas. Uang itu, uang yang diungkit-ungkit terus oleh Bram. Bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhan anak-anak mereka.