seorang kakek yang awalnya di hina, namun mendapat kesaktian
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri muda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Dengan langkah tuanya, kakek Surya melangkah ke dalam kamar kosnya. Begitu pintu terbuka, dia langsung masuk. Kegugupannya membuncah seketika, mengingat ini masih siang dan akan sangat riskan jika ada yang melihatnya, jika Ratna masuk ke kamar kosnya. Namun, sebelum sempat menjelajahi lebih jauh, Ratna dengan cepat mendorong pintu hingga kembali tertutup.
"Mengapa kamu masuk ke sini? Mengapa ke kamarku saat seperti ini?" tanya kakek Surya, suaranya gemetar, matanya menatap tajam ke arah Ratna, mencoba menyelami niat sebenarnya.
Ratna hanya mengangkat bahu, sikapnya acuh tak acuh. "Biarkan saja, biar ada yang melihat. Emangnya mas tak mau, kalau aku berkunjung ke sini." kata Ratna, suaranya dingin, lalu dia membuang muka, lalu berbalik. Membelakangi kakek Surya, menampilkan raut wajah yang kesal seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Dan Ratna sedang ngambek.
"Kamu kenapa ngambek begini?" desak kakek Surya, sambil pelan menyentuh pundak Ratna yang dingin dari belakang.
"Tidak apa-apa, emang penting ya." balas Ratna, suaranya mendatar namun terdengar ada yang tersembunyi.
"Lalu mengapa sikapmu seperti ini?" Tanya kakek Surya semakin bingung.
"Kenapa mas tadi bicara begitu, bukannya senang aku datang ke sini, apa sebenarnya mas tak ingin aku datang ke sini?, apa aku salah?" ucap Ratna menghela napas panjang.
"Bukan itu, aku hanya… Bapak hanya… hanya takut. Takut jika ada yang melihat dan melaporkan hal ini kepada Joko." ucap kakek Surya dengan tegas.
Ratna lalu berbalik, dan langsung menatap tajam mata kakek Surya,
"Jangan sebut-sebut nama Joko. Saya datang kemari ingin berbicara empat mata saja, agar tak ada yang mendengar. Apa enggak boleh?" ucap Ratna sedikit menunjukkan raut wajah kesal.
“Iya, ada apa, aku akan jawab, apa pun pertanyaan darimu, tapi setelah aku jawab, kamu harus mau… Karena sudah masuk kamar kos aku.” jawab kakek Surya, sambil menyeringai.
"Ini tentang Hera? Kenapa tak dijawab saat tadi, apakah dia cantik?" Mata Ratna menatap tajam, mencari kebenaran. Tanpa ragu.
Kakek Surya pun menjawab dengan jujur, karena tak mengerti arah pembicaraan Ratna.
"Hera memang cantik dan masih muda, kenapa kau tanya itu?" ucap kakek Surya sambil tersenyum.
Tiba-tiba, Ratna mendadak langsung mendorong kakek Surya tanpa ekspresi.
"Cantik ya? Muda ya? Mas suka?" kata Ratna dengan nada sinis, lalu mendorong kakek Surya, hingga lelaki tua itu terjatuh, namun untung jatuhnya ke atas kasur lantai.
Ratna yang menyaksikan adegan itu segera berkacak pinggang dan menunduk mendekati kakek Surya.
"Masih berani juga kau menyebut wanita lain cantik di hadapanku?" ucap ketus Ratna, emosinya meledak-ledak.
Kakek Surya langsung terkekeh ringan, meski terlihat senyum tipis terukir di wajahnya yang keriput.
"Oh… aku ngerti. Aku ngerti. Ternyata kamu cemburu, ya?" ucap kakek Surya sambil senyum menyeringai, mencoba meredakan situasi.
Namun, Ratna sudah terbakar amarah.
"Cemburu? Kamu bilang aku cemburu, apa aku tak salah dengar. Baik, kamu berani menuduhku, kamu harus tanggung akibatnya, Aku akan balas semua ini, Mas!, sekarang!" seru Ratna dengan nada tinggi.
Dan sebelum kakek Surya menyadari, tangan Ratna seolah tanpa sadar—atau mungkin sengaja—menggenggam pistol milik sang kakek yang tergeletak di dekatnya.
Dengan langkah ganas, Ratna mengeluarkan pistol itu, mata berkilat penuh amarah. Tanpa belas kasihan, ia melahapnya sepenuhnya, mengundang kekacauan yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Kakek Surya, si pendekar tua, terkejut dan terperangkap dalam hantaman emosi yang dihadirkannya, tak sanggup menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Serangan Ratna begitu dahsyat, dengan kecepatan dan kelihaian luar biasa, seolah-olah dirinya adalah badai yang tidak bisa dihentikan. Darah berwarna pucat mengalir dari tubuh kakek Surya, namun itu tidak membuat Ratna menghentikan aksinya.
Setiap darah yang mengucur, dia menelan dengan liarnya, tidak meninggalkan tetes pun, hingga tenaga sang kakek luluh lantak.
Ketika kakek Surya, dengan sisa kekuatannya, mencoba bangkit dan mendapatkan kembali kehormatannya, Ratna tidak memberinya kesempatan. Dengan tegas dan cepat, dia menindihnya, menghilangkan segala peluang bagi kakek Surya untuk bergerak lagi.
Di bawah berat badan dan kekuatan Ratna, kakek Surya hanya bisa pasrah, merasakan beratnya kekalahan yang mencekik napas dan harapannya.
Di tengah hening yang mencengkeram, gemuruh pertarungan terjadi antara Ratna dan kakek Surya di ruang yang sumpek dan terbatas itu. Mereka terus saling sikut dan sabet dalam jepitan nafas yang berat.
Setiap tusukan kakek Surya yang tajam seolah membuka narasi pertempuran yang tak ada habisnya, hingga kelelahan melumpuhkan kedua pahlawan tersebut.
Ratna, dengan gerak cepat namun penuh perhitungan, terus mengalahkan dan menumbangkan kakek Surya, yang dengan gigih mempertahankan diri.
Sebuah senyum simpul menghiasi wajah Ratna seiring dengan jatuhnya dirinya ke lantai, terkapar oleh kehabisan stamina.
Sementara itu, kakek Surya, meski lanjut usia dan hanya diperkuat oleh ajaran lama dari Mbah Udin, benda itu mampu bertahan dari serbuan-serbuan ganas Ratna.
Pertarungan dua pendekar dari generasi yang berbeda ini berlangsung menggemparkan hingga beberapa puluh menit lamanya.
Pada akhirnya, keduanya terbaring lemas di lantai, napas memburu dan keringat membasahi setiap sudut pakaian mereka.
Dalam penat dan helaan napas yang memecah kebisuan, kedua pendekar tersebut menyadari bahwa pertempuran mereka tidak hanya tentang kekuatan fisik semata, namun juga tentang semangat yang tak pernah padam di hati masing-masing.
Dengan hati yang dipenuhi rasa penasaran yang menggebu, Hera memandang tajam dari balik pintu rumahnya yang terbuka lebar. Dia memilih untuk tidak menutup pintu, membiarkannya terbuka, sementara dia duduk tidak jauh dari pintu itu, mengintip ke arah kos kakek Surya, matanya terus mengarah ke pintu kamar kos yang baru hari ini dihuni oleh kakek Surya.
"Kenapa mbak Ratna tidak keluar-keluar?" Hera berbisik dengan rasa iri yang menggelegak dalam dada, rasa marah dan keheranan bercampur menjadi satu.
Menit demi menit berlalu, dan tumpukan debu pada lantai yang seharusnya disapunya dari pagi masih bertahan, menggambarkan betapa kegiatan menyapu telah terlupakan.
Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti selamanya, pintu kamar kos kakek Surya akhirnya terbuka.
Terlihat kakek Surya melangkah keluar dengan penampilan yang kusut dan rambut yang acak-acakan, seolah baru saja mengalami perang batin yang hebat.
Hera masih mengintai dari kejauhan, menyaksikan dengan mata yang melebar. Kakek Surya tampak gelisah, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang mencari sesuatu atau seseorang, karena dia sedang mengawasi keadaan, apakah ada orang atau tidak.
Tiba-tiba, dengan suara yang membahana di kesunyian, kakek Surya berteriak, "Boleh keluar, aman!"
Hati Hera berdegup kencang, misteri tentang apa yang terjadi di dalam kamar itu masih membayang dalam pikirannya, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Mendengar suara itu, Hera langsung terkejut dan bangkit berdiri dari tempat duduknya, berlari mendekat, untuk mengintip Ratna dan kakek Surya untuk menghilangkan perasaan penasarannya.
Apa mereka telah berbuat yang tidak senonoh.
Meski belum sepenuhnya yakin, Hera menganggap ini sebagai kesempatan untuk mengintai dan mengawasi Ratna serta kakek Surya.
Ketidakpastian memenuhi pikiran Hera. Bagaimana mungkin Ratna, yang lebih muda, bersedia dengan kakek Surya? Rasa penasaran itu tumbuh semakin kuat setiap detik, mendorongnya untuk mengetahui lebih banyak tentang hubungan misterius antar dua orang dari generasi yang berbeda ini.
Tak lama kemudian, Ratna terlihat keluar dari kamar kakek Surya. Wajahnya terlihat pucat.
Hera dengan senyum sinis di sudut bibirnya, memperhatikan penampilan Ratna yang kusut. Rambutnya berantakan, tampak seperti orang yang baru saja lelah bertarung, dan aura kelelahan yang tampak jelas mengelilingi diri Ratna.
Bahkan Hera dapat melihat, kalau kancing baju Ratna tak terpasang dengan sempurna. Lalu Ratna terlihat dengan sedikit sembunyi-sembunyi, dia cepat-cepat pergi ke arah kamar kosnya sendiri.
Hera yang masih mengintip, makin tersenyum sinis, lalu mengangguk, seperti mempunyai ide licik dalam benaknya.
“Kalian…!!!!” ocehnya.
Bersambung…