Bagi Dira pernikahan adalah sebuah mimpi indah. Dira tak menyangka pria yang tiba-tiba mau menikahinya di hari pernikahan, disaat calon suaminya menghilang tanpa jejak, ternyata menyimpan dendam masa lalu yang membara.
Denzo tak menikahinya karena cinta melainkan untuk balas dendam.
Namun, Dira tidak tahu apa dosanya hingga setiap hari yang ia lalui bersama suaminya hanya penuh luka, tanya dan rahasia yang perlahan terungkap.
Dan bagaimana jika dalam kebencian Denzo, perlahan tumbuh perasaan yang tidak ia duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ars Asta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Pagi ini cukup berbeda bagi Dira. Wanita itu tidak bangun cepat seperti biasanya. Pukul 8 pagi, wanita itu masih berada di atas kasurnya. Menggeliat pelan lalu perlahan membuka matanya.
Matanya tertuju pada jam dinding. Dira menghela napas karena bangun terlambat.
"Aku jadi ngga ke kantor," ucapnya dengan wajah cemberut.
Perlahan Dira beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia tidak mandi dulu karena merasa badannya masih sedikit panas.
Setelah mencuci muka dan mengganti baju, Dira keluar dari kamarnya. Berjalan turun ke lantai bawah.
"Nona, anda sudah baikan?" tanya salah satu pelayan saat Dira sampai di ruang tengah.
Para Pelayan sedang melakukan tugasnya.
Dira mengangguk pelan dengan senyum kecil. "Aku udah enakan mba."
Bi Nina datang menghampiri dari ruang makan. "Nona, bubur anda sudah siap, sebaiknya Nona sarapan dulu."
"Iya, Bi."
Dengan sigap, Bi Nina memegang lengan Dira, menuntunnya ke ruang makan.
Di meja makan sudah tersedia beberapa makanan yang pelayan masak. Dira menatap makanan diatas meja itu.
"Maaf, Bi. Aku jadi ngga masak juga buat Mas Denzo."
"Nona nggak usah bilang begitu, lagian Nona kan sedang sakit." Kepala pelayan itu mendudukkan Dira di kursi meja makan. "Untuk sekarang yang penting Nona sehat dulu," ucap Bi Nina sambil mendekatkan mangkuk berisi bubur yang masih hangat.
"Iya, Bi." Dengan pelan, Dira mengaduk bubur itu.
"Mau Bibi suapin?" tanya Bi Nina.
"Nggak usah, Bi. Aku bisa sendiri," jawab Dira menolak.
Wanita itu perlahan memakan buburnya, sedangkan Bi Nina ikut duduk di kursi samping menemani Nonanya sarapan.
"Oh iya, Mas Denzo udah ke kantor ya?" tanya Dira disela makannya.
"Iya, Non. Tuan sudah berangkat dari 1 jam yang lalu."
"Kalau Nasya kemana, Bi?" Dira kembali menyuap bubur ke mulutnya.
"Nona Nasya masih di kamarnya, Non," jawab Bi Nina.
Dira mengangguk. Setelah buburnya habis ia meneguk air minumnya.
"Nona minum obatnya lagi ya," pinta Bi Nina.
"Iya, Bi. Tapi obatnya ada di atas, di kamar." Dira berdiri sambil memegang sandaran kursi.
"Nona tunggu di ruang tengah saja, biar pelayan yang ambil obatnya," ujar kepala pelayan itu.
"Yaudah Bi, sekalian ya tolong ponsel saya juga dikamar," pinta Dira.
Bi Nina mengangguk. "Baik, Nona."
Bi Nina Kembali menuntun Dira ke ruang tengah baru setelahnya ia menyuruh pelayan mengambil obat juga ponsel di kamar Dira.
Dira duduk di sofa sambil memainkan kukunya. Wanita itu terlihat tersenyum kecil memikirkan sikap Denzo. Suaminya yang mengangkatnya ke kamar.
Seorang pelayan datang dengan nampan berisi air dan obat Dira.
Bi Nina mengambil nampan itu membawanya mendekat ke Dira. Kepala pelayan itu menyerahkan obat dan segelas air pada Dira.
"Ini obatnya, Nona."
Tangan Dira mengambil obat itu, dan langsung memasukkan semuanya ke dalam mulutnya. Dira meringis sedikit saat menelan obat itu, lalu tersenyum kecil pada Bi Nina.
"Saya bawa nampannya ke belakang dulu, Nona. Kalau Nona butuh sesuatu panggil saya saja atau tanya pelayan langsung," ucap Bi Nina dengan nampan di tangannya.
Dira hanya mengangguk sebagai balasan. Kepala pelayan itu meninggalkan Dira di ruang tengah.
Dira mengambil ponselnya yang dibawa pelayan itu juga. Wanita itu menghubungi ayahnya.
"Halo, Pa," ucap Dira saat telepon tersambung.
"Dira, nak kamu ngga ke kantor ya?" Suara ayahnya terdengar dari seberang telpon.
"Iya, Pa. Aku lagi nggak enak badan. Gapapa kan, Pa. Aku nggak ke kantor hari ini?" tanya Dira. Karena hari ini dia tidak datang bekerja di perusahaan Ayahnya.
"Gapapa, sayang. Tapi kamu gimana baik-baik aja kan?" Suara Lingga terdengar khawatir.
"Aku udah baik-baik aja, Pa. Cuma perlu istirahat sebentar," jawab Dira.
"Syukurlah kalau begitu, kamu jangan kecapean dan jaga kesehatan, nak." Lingga lega mendengarnya.
"Iya, Pa. Papa juga ya jaga kesehatan. Ya Udah aku tutup dulu telponnya ya."
"Iya nak, istirahat sana." Perintah Lingga pada putrinya.
"Iya, Pa."
Sambungan telepon itu pun terputus. Dira masih membuka ponselnya. Dia mengirim pesan pada Gina tentang ketidak hadirannya di kantor.
Langkah kaki terdengar mendekat. Nasya yang baru turun dari lantai atas berjalan mendekati Dira.
"Pagi, Dira," sapanya dengan senyum palsunya.
Dira langsung menoleh. "Pagi juga, Sya." balasnya.
"Katanya kamu kemarin pingsan, gimana udah enakan?" tanya Nasya seolah dia khawatir pada sahabatnya.
"Iya, Sya. Udah enakan kok," jawab Dira.
"Syukur deh. Aku ke ruang makan dulu ya." ucap Nasya. Ia menatap tajam saat Dira tak melihat ke arahnya.
"Iya, Sya."
Nasya melangkah masuk ke ruang makan. Tangannya terlipat dan juga tersenyum licik, ia sedang memikirkan cara memfitnah Dira.
Apa ya? Dira berada dirumah sekarang adalah hal yang bagus, tapi Kak Denzo sedang berada di kantor sekarang. Gimana ya?
Nasya memilih makan dulu sebelum memulai memikirkan cara menjebak Dira, dan memulai aksinya.
ok, sekarang qm menang tapi ingat tuhan itu tdk tidur, karma tdk pernah salah alamat, Thor... perlukah saya bantu Dira 🙏