Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
"Kau terlalu lemah akhir-akhir ini, Viola. Apakah kita perlu ke rumah sakit sekarang?" suara Rafa terdengar cemas namun tegas.
Dua bulan sudah ia tinggal bersama Viola, dan selama itu pula ia memperhatikan betapa tubuh wanita itu semakin rapuh. Wajahnya pucat, matanya sayu, berat badannya menurun drastis karena kehilangan nafsu makan. Viola sering muntah, namun anehnya, ia tak pernah sekalipun meminta diantar ke rumah sakit.
Namun, yang sebenarnya ia sembunyikan jauh lebih besar dari sekadar penyakit biasa. Viola tidak ingin memberitahu bahwa dirinya sedang mengandung. Karena kenyataannya janin itu bukanlah milik Rafa. Tapi sampai kapan ia bisa menutupinya? Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. Rafa berhak tahu, berhak melindunginya, meski pada akhirnya… setelah bayi itu lahir, Viola sudah memutuskan akan pergi jauh, bersama anaknya.
Dengan suara tercekat, Viola akhirnya membuka mulut, "Aku… aku… aku hamil," katanya terburu-buru. Ragu di awal, namun kebenaran akhirnya terucap juga.
Rafa terdiam beberapa detik, sebelum senyum lebar menyapu wajahnya. Mata yang biasanya dingin kini berbinar penuh harap. Ia bahkan memeluk Viola dengan erat, tubuhnya bergetar karena luapan bahagia. "Kapan kau cek kehamilan? Sungguh, ini benar? Aku… aku akan jadi ayah?" suaranya bergetar, nyaris tak percaya. Air mata jatuh dari pelupuk matanya, senyumnya bercahaya seterang mentari pagi.
Namun kebahagiaan itu runtuh dalam sekejap ketika Viola menatap matanya dengan tekad yang getir.
"Bukan ayah… tapi paman."
Kata-kata itu menghantam dada Rafa seperti ribuan belati yang ditikamkan bersamaan. Senyumnya memudar, tangannya yang memeluk Viola perlahan melemah. "A… apa yang kau katakan? Paman? Aku?" wajahnya memucat, kaget hingga sulit berkedip.
Dengan tangan gemetar, Viola menyerahkan hasil USG. Air matanya jatuh satu per satu. "Kehamilan ini sudah masuk bulan ketiga… sementara kita baru bersama sebulan ini. Janin ini… bukan milikmu, Rafa."
Rafa memandang kertas itu, tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya menoleh cepat, matanya membelalak menahan amarah.
"Kau tidur dengan siapa, Viola!?" suaranya meninggi, untuk pertama kalinya ia membentak. "Selama ini kau bersamaku! Aku yang selalu menjagamu di rumah! Siapa!? Siapa pria kotor yang berani menyentuhmu!?"
Viola terisak, dadanya sesak, namun ia tahu ia tak bisa lagi berbohong. Ia menarik napas panjang, sebelum mengucapkan nama yang seharusnya tidak pernah keluar dari bibirnya.
"Laki-laki itu adalah… adikmu, Rafael."
Wajah Rafa membeku. Suaranya tercekat, nyaris tak keluar, "Jangan bercanda denganku…."
"Aku tidak bercanda, Rafa," jawab Viola sambil menangis. "Sebelum kita menjemputmu, dia sudah memaksaku untuk mengaborsi anak ini. Tapi aku tidak mau. Karena…"
"Karena dia cinta sejatimu, bukan aku!" Rafa menggelegar, nadanya penuh luka.
Viola jatuh berlutut, meraih kaki Rafa dengan tangis pilu. "Aku mohon… biarkan aku tinggal di sini sampai anak ini lahir. Setelah itu… aku akan pergi. Kita bisa bercerai. Aku tidak akan pernah menampakkan diri lagi. Tolong… demi bayi ini…"
Rafa menatap ke bawah, hatinya hancur berkeping. Perempuan yang ia cintai kini menangis di kakinya, bukan karena ingin tetap bersamanya, melainkan demi lelaki lain. Luka itu terlalu dalam, mencabik-cabik harga dirinya sebagai suami.
Merasakan luka yang paling dalam dan penyesalan di masalalu, jika saja saat itu pesawat yang ia naiki tidak jatuh, mungkin hubungan nya dengan viola tidak akan seperti ini, viola tidak akan mengandung anak adik nya sendiri, kebenaran pahit ini membuat nya tidak pernah pantas menjadi suami,
" selama kau hamil, aku harus melihat mu!? Mengurus mu dan anak yang berada di dalam kandungan mu? Yang bahkan dia saja bukan anak ku? suami mana diluar sana yang mau melakukannya viola!? " Rafa sama sekali tidak menaikan nada bicara nya, dia menatap viola lirih, namun ia juga merasa tidak Sudi memegang istri nya itu lagi,
" aku akan berjanji akan pergi setelah itu, bahkan sebelum anak ini lahir, aku hanya butuh waktu dan tempat sementara, Rafa....... Tolong lah....... " air mata menetes,
Jika saja lelaki yang membuat viola hamil bukan adiknya, mungkin rasa perih dan luka yang Rafa rasakan tidak sedalam ini, rasa nya sangat sakit, namun tidak bisa dijelaskan, air mata saja tidak mampu ia keluarkan sangkin merasa sakit nya,
" entah apa yang aku lakukan kepada viola, apakah aku memang tidak bisa menjadi suami yang baik? sebelum aku pergi kau mengatakan akan berusaha mencintai ku, tapi apa yang aku dapat kan? "
Luka yang mereka rasakan sama-sama terasa menyakitkan, hanya saja Rafa lebih dominan, bagaikan ikan yang harus bertahan hidup tanpa ada air dan butuh waktu untuk meninggal, sesak seperti itu yang Rafa rasakan melihat viola saat ini,
" kau sudah menjadi suami yang baik, tolong, sekali saja, aku minta tolong,,,,,, berikan aku tempat tinggal hanya beberapa bulan saja,,,,,, rasa iba tidak perlu kau berikan pada ku, aku hanya butuh rumah "
Deg,,,
Apakah hanya karena ingin Rafa merasa iba viola sampai memohon, memang tidak ada jalan keluar lain untuk hubungan rumah tanggan mereka, aborsi saja viola sampai Sudi, apakah memang ini yang terbaik? Tidak bisa mencari jalan keluar lain?
...🌻🌻🌻...
Club London
Dentuman musik menggelegar, lampu warna-warni berputar di ruangan penuh asap rokok dan aroma alkohol. Di sudut VIP, tiga pria bersaudara duduk dengan gelas-gelas berisi minuman keras.
"Sungguh sudah lama kita tidak menikmati malam seperti ini," ujar Marsel, meneguk alkohol dengan puas.
Farel terkekeh, wajahnya sudah memerah karena terpengaruh minuman. "Tentu saja. Belakangan Rafael sibuk menggantikan peran kakak nya, Sekarang dia bebas, kita pun bebas."
Seperti kebiasaan mereka, dua kamar hotel sudah dipesan sebelum masuk klub. Satu untuk Rafael, satu untuk Marsel. Farel? Ia selalu memilih pulang, menjaga keperjakaannya untuk wanita halal di masa depan.
Rafael meneguk minumannya tanpa henti, matanya redup, tubuhnya goyah. Wanita-wanita malam berdatangan menghampirinya, meraba dadanya, mencium bibirnya, bahkan berani menyentuh pahanya. Rafael hanya menutup mata, menikmati setiap sentuhan, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan asing. Ia menyeret satu gadis untuk menemaninya malam itu.
Marsel sudah menghilang ke kamarnya, dengan dua gadis sekaligus.
Dan Rafael… terus melanjutkan hidupnya seperti biasa. Bebas, liar, penuh kenikmatan fana. Tanpa aturan. Tanpa tekanan. Tanpa tahu bahwa di tempat lain, seorang wanita bernama Viola sedang berjuang sendirian, menanggung perih dan derita, mengandung anak hasil cinta terlarangnya dengan dirinya.
Jangan lupa beri bintang lima, like dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih........