NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggung yang berbalik

Aula utama Dreadholt berubah menjadi lautan cahaya. Kristal-kristal lampu bergemerlapan di langit-langit tinggi, menumpahkan kilau yang memantul di marmer lantai. Dari langit-langit tergantung tirai panjang berwarna emas dan merah marun, jatuh dengan anggun seolah mengelilingi seluruh ruangan. Meja-meja bundar ditutupi kain beludru, dipenuhi gelas kristal dan perak berukir, sementara pelayan berlalu–lalang membawa botol anggur tua.

Di ujung ruangan, singgasana elegan disiapkan khusus. Grand Duchess duduk di sana dengan gaun keperakan yang memeluk tubuhnya dengan wibawa yang tak bisa disangkal. Wajahnya tenang, penuh martabat, dan setiap kerutan di wajah itu tampak lebih sebagai tanda kekuatan ketimbang kelemahan. Di sekelilingnya, bangsawan berdiri rapi, menunggu giliran memberi penghormatan.

Musik lembut dari kuartet gesek mengalun, memenuhi udara dengan harmoni yang menenangkan. Para bangsawan menyembah, lalu satu per satu maju memberi hadiah.

Pangeran Albrecht melangkah ke depan, jubah hitamnya berkilau di bawah cahaya kristal. Di tangannya, sebuah kotak kayu berlapis perak, diukir dengan simbol kerajaan. Ia membuka kotak itu di hadapan Grand Duchess, memperlihatkan sebuah kalung dengan permata biru besar yang berkilau bagai samudra beku.

“Grand Duchess,” ucap Albrecht dalam dan tegas, penuh kehormatan. “Permata ini dipahat dari inti gunung es di utara sana. Batu yang hanya bisa diperoleh sekali dalam seabad. Semoga ini menjadi lambang kejernihan hati Anda yang tak pernah luntur dimakan waktu.”

Grand Duchess menatap hadiah itu sekilas, bibirnya melengkung tipis. Ia mengangguk pelan. “Kau selalu tahu cara memilih sesuatu yang berharga, Albrecht. Aku menerimanya.”

Lucien, dengan senyum menawan khasnya, melangkah maju berikutnya. Ia membawa sebuah kotak panjang berlapis satin hitam. Saat dibuka, tampak sepasang anting berlapis berlian putih, ramping, berkilau tajam di bawah cahaya lampu.

“Grand Duchess,” katanya sambil menunduk, suaranya licin namun penuh percaya diri. “Anting ini dibuat oleh pengrajin terbaik di timur. Mereka bilang, setiap kilauannya adalah simbol kewibawaan yang tak bisa dipadamkan. Semoga ia selalu memantulkan sinar kejayaan Anda.”

Beberapa bangsawan berbisik kagum. Grand Duchess hanya mengangkat alis tipis, lalu menjawab, “Kata-kata manis selalu keluar dengan mudah darimu, Lucien. Semoga hadiah ini memiliki keteguhan yang sama.”

Giliran Lojareth tiba. Masih terlihat ada bekas ketegangan di wajahnya, namun ia melangkah dengan penuh tekad. Di tangannya, sebuah gulungan lukisan yang dibalut pita emas. Ia membuka gulungan itu dengan hati-hati, memperlihatkan potret Grand Duchess muda, dilukis dengan detail halus, seolah wajah itu masih bernapas di atas kanvas.

“Saya … hanya ingin mengingatkan pada semua orang,” suara Lojareth, agak serak namun tulus. “Bahwa kecantikan dan kebijaksanaan Anda sudah menjadi cahaya bagi kami sejak dulu. Lukisan ini dibuat langsung oleh diriku. Semoga ia bisa menjadi pengingat bahwa bayangan masa muda Anda tetap hidup, bahkan ketika waktu terus berjalan.”

Beberapa tamu menatap dengan kagum. Grand Duchess menundukkan wajahnya sedikit, ekspresi yang jarang terlihat, sebuah kelembutan singkat. “Kau berhati lembut, Lojareth. Hadiah ini akan kuletakkan di ruang pribadiku.”

Selena maju setelahnya, gaun birunya berkilau di bawah lampu. Ia membawa sebuah kotak kristal kecil yang di dalamnya terdapat burung merpati berukir dari giok putih. Ukiran itu halus, nyaris seperti hidup, dengan sayap terentang seolah siap terbang.

“Aku ingin menghadiahkan simbol kedamaian,” ucap Selena dengan suara bening. “Karena meski dunia ini penuh dengan perang dan ambisi, aku percaya bahwa Anda, Grand Duchess, selalu menjadi mercusuar yang menjaga keseimbangan.”

Grand Duchess menatap lama pada hadiah itu. Senyum samar muncul di bibirnya, senyum yang kali ini tidak hanya formal. “Kau selalu melihat dengan mata yang jernih, Selena. Aku menghargai simbol ini lebih daripada permata manapun.”

Lalu, tibalah giliran Evelyn. Gadis itu melangkah anggun, gaunnya bergerak pelan mengikuti langkah. Semua mata mengikuti, sebagian dengan kagum, sebagian dengan iri. Di tangannya, ia membawa sebuah buku berbalut kulit hitam, dihiasi emas di setiap sudut.

“Ini adalah catatan kuno dari perpustakaan timur,” katanya, suaranya jernih dan penuh keyakinan. “Berisi ramalan dan filsafat yang hanya diwariskan pada para pemimpin yang dianggap layak. Saya ingin Anda, Grand Duchess, memiliki pengetahuan ini—karena tidak ada tangan lain yang pantas menyimpannya selain tangan Anda.”

Suasana menjadi hening. Bahkan para bangsawan yang biasanya sibuk berbisik, kini terdiam menatap buku itu. Grand Duchess menatap Evelyn dengan mata tajam, namun dalam sorot itu ada sesuatu yang berbeda—rasa bangga, mungkin juga rasa lega.

“Evelyn,” ucap Grand Duchess perlahan. “Kau membuatku bertanya-tanya … apakah aku sedang melihat masa depan berdiri di hadapanku.”

Evelyn menunduk dengan hormat, senyum tipis menghiasi bibirnya. Namun di antara kerumunan, Rosella memperhatikan dengan seksama, matanya tidak hanya tertuju pada hadiah, melainkan juga pada permainan kuasa yang sedang berlangsung di hadapannya. Ia tahu betul, pesta ini bukan hanya perayaan ulang tahun. Ini adalah panggung, dan setiap hadiah adalah senjata, setiap kata adalah pisau yang bisa menentukan siapa yang akan berdiri tegak … dan siapa yang akan jatuh.

Para tamu masih tenggelam dalam kesunyian setelah hadiah Evelyn. Udara di aula seolah mengeras, semua orang sibuk mencerna ucapan Grand Duchess barusan. Namun keheningan itu tak berlangsung lama ketika Albrecht melirik ke arah salah satu sudut. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, lalu ia mengangkat suaranya dengan nada yang terdengar ramah, tapi sarat sindiran.

“Sepertinya masih ada yang belum memberikan hadiah, bukan begitu?” Tatapannya mengarah tepat pada sosok Ardent, sang kakak pertama, yang sejak awal duduk dengan tubuh bersandar, seolah segalanya terlalu remeh untuk dirinya.

Lucien segera menimpali, dengan gaya licik khasnya. Ia tertawa kecil sambil menatap Grand Duchess. “Benar juga. Aneh rasanya jika kakak pertama tidak mempersiapkan hadiah di hari sepenting ini. Bukankah begitu Grand Duchess?”

Beberapa bangsawan berbisik, menahan senyum. Tekanan halus itu membuat mata semua orang beralih ke Ardent. Pemuda itu tersenyum tipis, angkuh, seolah baru saja dipanggil ke atas panggung yang sudah ia tunggu-tunggu. Ia bangkit perlahan, gerakannya santai tapi penuh kesombongan yang disengaja.

“Aku tentu tidak lupa,” katanya, suaranya berat dan dibuat setengah malas, seakan sekadar kewajiban saja. Dengan isyarat ringan pada pelayannya, sebuah kotak besar dibawa ke tengah ruangan. Kotak itu berlapis beludru ungu, dihiasi ukiran emas. Saat dibuka, tampak sebuah vas kristal tinggi berisi rangkaian bunga segar—anggrek putih yang harum menyengat, kelopaknya memantulkan cahaya lampu dengan indah.

“Aku persembahkan ini,” lanjut Ardent sambil mengangkat dagunya. “Anggrek putih, bunga yang melambangkan kemurnian dan kejayaan. Hanya bunga seperti ini yang pantas untuk Anda, Grand Duchess.”

Suara kagum bercampur bisik-bisik memenuhi ruangan. Sebagian bangsawan terpesona pada kemewahan hadiah itu, tapi sebagian lain hanya saling melirik, menyadari sesuatu yang tak beres.

Grand Duchess sendiri tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain dingin yang makin terasa. Bibirnya tetap rapat, sorot matanya menusuk ke arah vas itu, namun ia tidak segera meraih ataupun memberikan pujian seperti pada hadiah sebelumnya.

Di tengah ketegangan itu, Orion yang sejak tadi duduk dengan tenang di sisi ruangan, akhirnya membuka suara. Senyum miring muncul di wajahnya, senyum yang lebih mirip sayatan tipis ketimbang keramahan.

“Ardent .…” Suaranya berat, jelas terdengar hingga ke barisan belakang, “Kau pasti tahu Grand Duchess alergi terhadap anggrek putih. Atau … apakah ini caramu menunjukkan perhatian?”

Seketika ruangan menjadi hening kembali, lebih pekat daripada sebelumnya. Beberapa bangsawan terbelalak, sebagian menutup mulut menahan keterkejutan. Anggrek putih yang baru saja dipuji-puji kini berubah menjadi simbol kebodohan—atau mungkin penghinaan—tergantung bagaimana orang menafsirkannya.

Ardent menegang, senyumnya membeku di wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak berdiri, ia kehilangan kendali atas panggung yang ia kira miliknya. Matanya beralih cepat ke arah vas, lalu ke Grand Duchess, seolah ingin memastikan sendiri bahwa kata-kata Orion memang benar adanya.

Bisik-bisik di antara para tamu makin jelas terdengar. Ada yang mengangkat alis, ada pula yang menutupi tawa kecil dengan punggung tangan. Beberapa bangsawan wanita bahkan saling menyikut, senyum sinis mengembang di bibir mereka—pemandangan seorang Putra Mahkota dari keluarga Kekaisaran yang begitu sombong akhirnya dipermalukan di depan khalayak.

Grand Duchess mengangkat dagunya sedikit, tatapannya menusuk ke arah Ardent. Sorot dingin itu menelanjangi harga diri Ardent tanpa perlu sepatah kata pun. Lalu matanya bergeser ke Orion, seolah mengakui kebenaran yang baru saja disampaikan sang Duke.

Ardent masih berdiri kaku. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, tapi tidak ada kata yang mampu keluar dari mulutnya. Ia ingin membantah, tapi sadar bahwa semua orang tahu, alergi Grand Duchess terhadap anggrek putih bukanlah rahasia. Fakta itu telak, tak bisa disangkal.

Orion tetap tenang, hanya menegakkan tubuhnya sedikit, senyum miringnya tak hilang. Ia tidak perlu berkata lebih banyak—satu kalimat barusan sudah cukup untuk meruntuhkan kesombongan Ardent, mengubah suasana pesta menjadi penuh bisik-bisik tajam, dengan Ardent berdiri di tengahnya sebagai pusat perhatian yang memalukan.

Ardent tidak membiarkan diam itu menelannya terlalu lama. Senyumnya yang sempat kaku perlahan kembali terbentuk, tipis, menyeringai. Ia menegakkan bahu, lalu menatap lurus ke arah Grand Duchess dengan sorot mata penuh tantangan.

“Apakah Grand Duchess akan menolak hadiahnya?” suaranya meluncur dingin, berat, tapi cukup lantang untuk menusuk ke telinga semua orang. “Bahkan jika hadiah itu datang dari tanganku sendiri?” Ia berhenti sejenak, memberi jeda seakan menunggu reaksi. “Lagi pula … sejak awal aku memang tidak berniat menghadiri acara seperti ini. Jika bukan karena ayah yang memberiku perintah, malas sekali rasanya menginjakkan kaki di sini.”

Bisik-bisik yang tadi sempat berani muncul kembali langsung menguap. Setiap tamu yang tadinya bersenandung kecil atas malunya Ardent, kini justru menghindari tatapannya. Ia memutar pandangan, satu per satu menelusuri wajah para bangsawan. Sorot matanya tajam, penuh peringatan, hingga tak ada seorang pun yang sanggup menahan pandangan itu lebih dari beberapa detik.

Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti aula. Semua orang seakan baru sadar—sejenak tadi mereka menertawakan seorang putra mahkota, pewaris langsung takhta kekaisaran. Betapa berbahayanya kesalahan itu.

Ardent mengangkat dagunya sedikit, memperlihatkan kembali kesombongan yang tak bisa dipatahkan. “Lucu sekali,” ucapnya dengan nada menekan. “Sejumlah orang di ruangan ini merasa begitu berani menertawakan aku. Seakan-akan mereka lupa siapa yang akan mewarisi gelar kaisar selanjutnya.”

Kata-kata itu jatuh seperti palu besi. Tak ada yang berani menimpali, tak ada yang berani sekadar berdehem. Para bangsawan yang tadi memandang rendah kini justru menunduk, sebagian bahkan pura-pura meneguk minuman atau membenarkan posisi duduk, seolah menyamarkan kegugupan yang tiba-tiba menyerang.

Ardent tersenyum tipis—senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan, melainkan kepuasan melihat ketakutan yang kembali menguasai ruangan. “Jangan lupakan itu,” tambahnya pelan namun jelas.

Tanpa menunggu tanggapan, ia memberi isyarat dengan satu gerakan tangan. Para pengawalnya segera maju, langkah mereka berat dan teratur, menciptakan gema yang memecah keheningan aula. Ardent berbalik, jubahnya bergoyang dengan angkuh, lalu berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun.

Para tamu hanya bisa menatap kepergiannya dalam diam. Tak ada tepuk tangan, tak ada ucapan perpisahan—hanya rasa lega bercampur cemas yang tertinggal di dada mereka. Kehadirannya yang singkat meninggalkan bekas pahit, seakan mengingatkan semua orang bahwa kesombongan Ardent bukanlah sesuatu yang mudah untuk diganggu, apalagi dipermalukan di depan umum.

Sementara itu, Grand Duchess tetap duduk dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan perubahan sedikit pun. Namun keheningan yang tersisa justru membuat semua orang semakin sulit bernapas—karena mereka tahu, meski Ardent sudah pergi, bayang-bayang ketegangannya belum hilang dari aula itu.

.

.

.

Bersambung

1
yumin kwan
lah.... salah rose sndr, yang ceroboh.... kok Orion yg disalahin... uda baik Orion ga lampiaskan ke rosella
yumin kwan
penasaran..... apa isi surat yg ditulis rosella
yumin kwan
tetap kutunggu💪
yumin kwan
belum tau alurnya akan ke mana.... siapa lagi tuh tokoh barunya??
yumin kwan
Duke... itu cemburu namanya.... jealous....
masak gitu aja ga ngerti 😁
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Dimas Rizky Aditya: di tunggu
total 2 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Dimas Rizky Aditya: author nya lagi galau jadi agak lama the next nya berlanjut ya
total 2 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!