Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembunuhan Dendam
Malam itu, jalanan aspal sempit di tepi sungai diselimuti kabut tipis. Lampu jalan redup berpendar di air yang mengalir tenang, menciptakan bayangan panjang.
Aziya berjalan cepat dengan hoodie hitam menutupi wajah. Di belakangnya, Lotte mengikuti, tangan menyelip di jaket kulit tempat pisaunya tersembunyi.
“Aziya,” bisik Lotte, “ada yang ngikutin kita.”
Aziya berhenti sejenak. Tubuhnya kaku, insting tajamnya menangkap langkah kaki lain. Ia berbalik dan mendapati sosok tinggi tegap keluar dari bayangan.
Xavier.
Rokok di tangannya masih menyala, asap tipis mengepul. Senyumnya samar, tapi matanya menatap lurus, menusuk.
“Aku sudah curiga kamu akan nekat ke sini,” ucap Xavier santai. “Tapi aku tidak menyangka kamu sebodoh ini datang sendirian.”
Aziya menyipitkan mata. “gue nggak butuh Daddy. Gue nggak butuh lo. Urusan ini antara gue dan Bajingan itu.”
Xavier menghembuskan asap rokok, lalu menjatuhkan puntungnya ke air. “Urusan ini lebih besar dari sekadar Gino. Kakeknya jauh lebih berbahaya. Kamu pikir bisa lawan dia dengan kepala panas?”
Lotte melangkah maju, tatapannya dingin. “Hei, siapa pun lo, minggir aja. Lo nggak tahu Aziya sekuat apa. Dia bukan cewek biasa yang lo bisa atur-atur.”
Xavier menoleh sekilas pada Lotte, senyum tipis masih melekat. “Aku tahu dia bukan cewek biasa. Justru itu masalahnya.”
Aziya menahan napas sejenak. Kata-kata Xavier menusuk, mengingatkannya pada sesuatu, pada suara Gabriel saat dulu dia koma.
"Yang bersama lo bukan Gue… namanya Xavier."
Hatinya bergetar, tapi wajahnya tetap keras. “Jangan ikut campur, Xavier. Kalau lo coba halangi gue, gue anggap lo musuh.”
Xavier menatapnya lama, lalu langkahnya mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa meter. Aziya terdiam, jantungnya menghantam keras. Tapi sebelum sempat Xavier menjawab, suara ledakan terdengar dari kejauhan, disusul teriakan kacau.
Lotte refleks menarik pisaunya. “Sial! Itu pasti anak buah Gino!”
Xavier langsung menarik pistol dari balik jaketnya. “Kita nggak punya waktu debat. Pasukan kakeknya udah mulai bergerak.”
Aziya menggertakkan gigi, lalu menarik belatinya sendiri. “Baik. Tapi ingat, Xavier. Gue ke sini buat bunuh Gino. Jangan halangi gue.”
Xavier menatapnya cepat, mata mereka bertemu, panas, tegang, penuh rahasia yang belum terucap.
“Kalau itu yang kamu mau…” ucap Xavier lirih. “Aku akan pastikan kamu tetap hidup sampai detik itu tiba.”
Beberapa menit kemudian, bentrokan pecah di tepi sungai
Pasukan bersenjata dengan logo keluarga tua Belanda itu menyerbu dari segala arah. Peluru beterbangan, memantul di dinding batu.
Xavier bergerak gesit, menembak tepat sasaran tanpa meleset. William muncul dari sisi lain, wajahnya murka begitu melihat Aziya dan Lotte sudah ada di sana.
“AZIYA!” teriak William di tengah kekacauan.
Aziya menoleh cepat, mata mereka bertemu.
William berlari menembak, berusaha menutup celah ke putrinya. “Kamu gila?! Kenapa kamu ada di sini?!”
Aziya berteriak balik sambil menusuk leher salah satu musuh. “AKU HARUS SELESAIKAN INI, DADDY! GINO HARUS MATI DI TANGAN AKU!”
William membelalak, darah berdesir di telinganya. Lotte sudah menarik Aziya mundur, menutupi punggungnya dengan dua belati yang menari cepat.
Xavier justru menatap Aziya dengan sorot berbeda, antara bangga sekaligus khawatir.
Di dalam vila, jauh dari medan pertempuran, kakek Gino menonton dari layar CCTV.
Senyumnya dingin. “Bagus… sangat bagus. Semakin dalam mereka tenggelam dalam darah, semakin mudah aku menghancurkan mereka dari dalam.”
Gino menggertakkan gigi, wajahnya pucat. “Tapi Kek, mereka sudah di depan pintu! Kalau mereka tembus—”
“Diam, Gino.” Kakeknya menatap layar lekat-lekat. “Sebentar lagi, bidak paling berharga kita akan bergerak. Dan ketika itu terjadi… bahkan William pun tak bisa menyelamatkan putrinya sendiri.”
★★★
Ledakan peluru dan jeritan memenuhi lorong-lorong. Bau asap, darah, dan logam panas menyatu jadi aroma malam yang pekat. Aziya bergerak seperti bayangan melesat, menusuk, lalu menghilang sementara William menebas dan menembak dengan presisi dingin yang membuat para penyerang terkulai satu per satu.
Di sisi lain, Xavier berdiri seperti tembok, menutup celah-celah serangan musuh, menembak para penembak jitu yang mencoba mengintai dari atas atap. Lotte seperti badai, langsung menerjang barisan, mematahkan tulang dan melontarkan tubuh-tubuh ke kanal.
Mereka bertarung bukan seperti tim yang baru kenal, aksi mereka sinkron, hampir seperti simfoni kekerasan yang dipraktikkan bertahun-tahun. Namun di balik itu ada ketegangan. William terus melirik putrinya, matanya mengandung rasa takut sekaligus bangga, Aziya melancarkan setiap serangan dengan dingin, namun matanya tetap menyapu untuk melihat apakah ayahnya terluka.
Mata Aziya tidak sengaja menangkap seseorang yang keluar dari vila. Malam kian larut, tetapi api dendam di dada Aziya semakin menyala. Gino berhasil ditarik kabur oleh beberapa orang ke dalam lorong vila. Ia tahu ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
“Lotte,” bisik Aziya cepat sambil menendang tubuh penjaga terakhir yang menghalanginya, “kita kejar sekarang.”
Lotte mengangguk, matanya sama tajamnya dengan pisau di tangannya. “Lo yakin, Zi? Daddy lo pasti gak bakal setuju.”
Aziya menggertakkan gigi, wajahnya penuh murka. “Ini bukan soal setuju atau nggak. Gino harus mati di tangan gue.”
Mereka berlari, melewati lorong gelap dengan dinding batu lembab. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip seperti hampir padam, menciptakan bayangan menyeramkan.
Di belakang, Xavier baru menyadari kepergian mereka. Ia menoleh ke William. “Mereka ngejar Gino.”
William mengumpat pelan. “Sialan, bocah keras kepala itu.” Ia ingin menyusul, tapi Xavier menahannya.
“Biarkan,” ucap Xavier dingin. “Kalau Gino benar-benar harus mati, biarkan Aziya sendiri yang mengakhirinya. Itu jalannya.”
William menatap Xavier lama, mata mereka penuh perdebatan tanpa kata. Tapi akhirnya, William menghela napas berat dan mengangguk.
Lorong itu membawa Aziya dan Lotte ke ruang bawah tanah. Di sana, Gino terpojok dengan wajah panik, tubuhnya berlumuran luka. Dua pengawal terakhirnya sudah terkapar setelah duel singkat dengan Lotte.
“Zi…” Gino mundur selangkah, suara seraknya penuh ketakutan. “Lo… lo jangan gila. Kita bisa bicarain ini. Gue bisa jelasin semuanya.”
Aziya berjalan perlahan, belati di tangannya berkilau oleh cahaya lampu remang. Senyumnya dingin, nyaris menyeramkan. “Jelasin? Hah. Apa yang mau lo jelasin? Kalau lo selingkuh? Kalau lo bikin gue koma? Atau kalau lo cuma pecundang yang sembunyi di balik kakek lo?”
"Bukan gue yang bikin lo koma, lo sendiri yang kabur dari gue."mendengar itu Aziya terkekeh miring.
"Masih gak mau ngakuin kesalahan lo? Lo kan yang mepet gue sampai gue kecelakaan? Lo yang udah ngancurin hati dan hidup gue, sialan!"ujar Aziya dengan suara meninggi.
“Please…” Gino memohon. “Gue masih sayang sama lo. Gue cuma khilaf. Gue—”
"BACOT!!"
BRAK!
Belati Aziya menancap di dinding, hanya beberapa inci dari wajah Gino. Tatapan matanya membara seperti api neraka. “Sayang? Lo bahkan nggak ngerti arti kata itu.”
Lotte berdiri di samping, tangan terlipat, matanya datar. “Zi, kalau lo mau bunuh dia, lakukan cepat. Jangan kasih dia kesempatan buat buka mulut lebih banyak.”
Aziya mendekat, menempelkan belatinya ke leher Gino. Jantungnya berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena cinta, melainkan karena kebencian yang menumpuk.
“Apa lo tau,” bisik Aziya pelan, “Daddy gue ngajarin satu hal penting? Jangan pernah biarin pengkhianat bernapas terlalu lama.”
Air mata Gino jatuh deras. “Zi, tolong…”
Belati itu bergerak. Satu tebasan cepat, presisi. Darah memercik, tubuh Gino terjatuh dengan mata terbuka lebar, tanpa sempat berkata lagi.
Keheningan memenuhi ruang bawah tanah. Hanya suara napas berat Aziya dan Lotte yang terdengar.
Aziya menatap tubuh tak bernyawa itu lama, kemudian menyeka darah di wajahnya dengan tangan gemetar. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang lebih mirip luka. “Selesai sudah.”
Lotte menepuk bahunya pelan. “Lo kuat, Zi. Tapi ini baru permulaan.”
Aziya menoleh, keningnya berkerut. “Maksud lo?”
Lotte menatap tajam, sorot matanya tak biasa. “Lo kira kakeknya Gino bakal diem aja?"
Di ruangan atas vila, William berdiri di balkon, menatap ke bawah. Xavier berdiri di sampingnya, merokok dengan tatapan dingin.
“Dia berhasil,” kata Xavier pelan. “Aziya sudah melakukannya.”
William menghela napas panjang, antara lega dan khawatir. “Ya. Tapi dengan itu, dia baru saja menyalakan perang."
Di kejauhan, kakek Gino menatap mereka dari balik jendela kaca, senyumnya lebih menyeramkan daripada sebelumnya.