Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Perayaan Super Sederhana
Malam ini ruang keluarga di kediaman Armand Rizaldi diselimuti oleh rasa hangat yang menenangkan.
Usai makan malam, sang tuan rumah kini tengah duduk santai di sofa sambil membelai surai panjang nan halus milik sang istri tercinta yang duduk bersandar di dadanya. Sedangkan si adik angkat tampak nyaman duduk berselonjor di atas lantai beralaskan karpet bulu tebal yang lembut sambil memangku semangkuk popcorn di atas pangkuannya.
Semua mata ketiga orang itu tertuju ke arah yang sama. Yaitu ke arah televisi yang sedang memutar film... horor.
Ya, film horor. Film yang tokoh utamanya diperankan oleh seorang ratu horor legendaris di tanah.
Lala yang memilih film tersebut. Alasannya, Lala tak ingin merasa nelangsa sendirian bila ada adegan romantis dan membuat pasangan pengantin baru di belakangnya terbawa suasana hingga menciptakan suara-suara yang meresahkan.
"Ingat ya, Bang, ini film horor, bukan film romantis. Jadi jangan ada suara cip0kan di balik punggungku ya." kembali Lala mengeluarkan kalimat di tengah-tengah adegan film yang mulai mencekam.
"Apa sih." Armand menoyor kepala bagian belakang adik angkatnya itu, yang dengan seenaknya menjadikan kaki Nissa sebagai sandaran. Begitu gadis berusia 20 tahun itu menoleh dengan tatapan mendelik, Armand mendengus kesal seraya mengatakan, "Katanya udah berpengalaman, malahan udah bisa ngajarin Nissa pula. Tapi kok dari tadi ngocehnya itu melulu."
"Dengar ya, Bang." Lala meletakkan mangkuk berisi popcornnya ke atas meja yang berada di dekatnya, "Biar pun udah sering nonton drakor sama dracin, tetap aja aku nggak mau ngeliat live show-nya secara langsung. Aku nggak mau jadi jomblo ngenes sorangan di sini."
"Huh... dasar." sengaja Armand menyentil dahi adik angkatnya itu sedikit kuat hingga suara mengaduh terdengar. Tapi adik angkatnya itu tak lagi berkomentar, malah kembali menoleh ke arah televisi, memangku mangkuk berisi popcorn yang tersisa setengah dan kembali menikmati film dulu pernah sangat terkenal pada masanya itu.
Sementara itu, Nissa mengulas senyum tipis. Ditepuknya pelan dada pria yang sejak tadi membelai rambutnya itu, sebagai tanda agar suaminya tak lagi meladeni perkataan Lala.
"Kenapa sayang, hm?" Armand menunduk sedetik setelah merasakan tepukan lembut di dadanya tersebut. Armand sedikit menunduk, memposisikan bibirnya tepat di telinga istrinya tersebut. "Udah nggak sabar pengen ngadon dedek bayi, ya?" bisiknya super pelan di telinga istri mungilnya yang cantik jelita itu.
"Mas... ihhh." Nissa memprotes dengan nada manja. Kembali ditepuknya dada bidang tersebut sembari kembali mengatakan, "Tolong jangan ngomong yang aneh-aneh. Kasian sama Lala."
"Biarin aja, biar dia udah mulai mikir buat nyari pasangan." kali ini wajah Armand berada di pipi mulus istrinya. Dikecupnya mesra pipi yang sangat jarang berpoles make up tersebut sambil berucap pelan, "Hidup di ibu kota seperti ini sangat riskan, sayang. Bahaya, apa lagi buat gadis seperti dia."
"Bahaya gimana maksudnya, Mas?" tanya Nissa penasaran. Saking penasarannya, Nissa bahkan membiarkan saja aksi sang suami yang sekarang wajahnya telah menelusup di ceruk lehernya.
"Dia itu masih sendiri, apa lagi pergaulan di kampusnya nanti kita nggak bisa nebak seperti apa. Walau dia bisa bela diri, tetap aja itu nggak bisa ngejamin kalau dia nggak akan terbawa arus. Bisa aja karena salah milih teman, Lala terjebak dalam pergaulan bebas."
"Tapi mbak Lala itu pintar banget loh, Mas. Nggak mungkin kalau mbak Lala bisa sampai salah milih teman."
"Karakter orang di kota jauh lebih rumit daripada di desa, sayangku." bisik Armand mesra. Aroma harum di leher istrinya membuatnya betah menelusupkan wajahnya di sana. "Baik sikap maupun penampilan, mereka bisa aja menipu. Yang kita pandang baik belum tentu aslinya baik juga." ujar Armand menjelaskan.
Sejenak Nissa terdiam. Perkataan suaminya membuat ia kembali teringat kenangan buruk yang pernah dialaminya saat masih bersekolah dulu. Saat mendiang ibunya masih ada, saat dimana Nissa juga tertipu akan penampilan baik seseorang dari tampilan luar dan juga tutur katanya.
Akan tetapi, memang benar penampilan luar serta tutur kata yang baik bisa sangat menipu. Nissa contohnya. Ia pernah begitu mempercayai seseorang di masa lalu. Tapi kepercayaan malah menyebabkan dirinya tak pernah bisa menjalani masa pendidikannya sewaktu SMP dengan tenang.
"Mikirin apa pula istriku yang cantik ini, hm?" lembut Armand menjepit dagu istrinya dan kemudian mendongakkan ke arahnya. Dikecupnya cepat bibir merah alami itu dan kemudian berkata, "Coba cerita sama Mas, apa yang lagi dipikirkan sama sayangku ini."
"Ak... aku nggak lagi mikirin apa-apa kok, Mas." meski terdengar masih sedikit kaku, Nissa mencoba menuruti keinginan suaminya agar tidak lagi menggunakan kata 'saya' saat berbicara dengan suaminya itu. "Ak... aku cuma lagi mikir, dibandingkan mbak Lala yang udah jelas bisa jaga diri, kok Mas Armand keliatan nggak mengkhawatirkan pergaulanku? Bukannya iri atau apa, aku cuma penasaran." ucap Nissa yang sengaja mengalihkan pokok pembicaraan karena tak ingin membuka kenangan masa lalu.
Armand tersenyum lebar. Kembali dikecupnya bibir ranum yang masih terlihat sedikit membengkak tersebut. "Mas nggak khawatir karena alasan pertamanya adalah ini," Armand mengangkat tangan kiri sang istri tercinta, membelai jari manis dimana terdapat cincin yang melingkar di sana. "Dengan adanya cincin pernikahan kita di sini, selain bisa buat kamu mengingat statusmu yang sudah bersuami, cincin ini juga akan membuat para lelaki di luaran sana menjaga batas darimu, kalau memang mereka masih punya akal. Dengan adanya cincin ini juga, Mas yakin kalau kamu pasti akan bisa menjaga pergaulanmu." jelas Armand masih mengelus lembut cincin yang berada di jari manis istrinya.
"Lalu alasan lainnya?"
"Tempat kamu belajar buat ikut ujian nanti itu dikelola sama Daffa dan keluarganya. Mas udah minta secara khusus sama dia supaya menempatkan seorang pengajar di sana untuk selalu memantaumu."
"Guru?" tanya Nissa terperangah.
Armand mengangguk. "Perempuan pastinya. Soalnya Mas nggak mau ada lelaki lain yang mengagumi kecantikan istri Mas ini selain Mas." pernyataan kepemilikan yang mutlak tersebut diakhiri dengan Armand menjawil dagu istrinya itu.
"Hadeuh... gatal ini kuping dari tadi dengerin bisik-bisik mesra kalian." Lala mengeluh sambil meletakkan mangkuk popcornnya ke lantai. "Coba gitu, punya rasa kasihan dikit sama jomblo polos kayak aku. Kalau mau mesra-mesraan ya di kamar. Mau bisik-bisik kek, atau mau ngapain kek, ya terse... "
Ding... dong, ding... dong
Suara bel pintu yang ditekan berulang-ulang membuat perkataan Lala langsung terhenti dan ketiga orang di dalam ruang keluarga tersebut saling memandang.
Karena bisa diizinkan melewati pagar oleh satpam yang berjaga, pastilah orang yang bertamu tersebut telah dikenal oleh mereka semua.
Akhirnya Lala yang beranjak berdiri, tidak hanya karena ingin melihat siapa yang sudah bertamu malam-malam, tapi juga tak ingin membuat pendengarannya yang polos semakin ternoda oleh bisik-bisik mesra pasangan pengantin baru itu.
*****
"Gara-gara laki-laki nggak sadar umur itu, yang ngotot mau pulang pake mobilnya sendiri, aku jadi kayak cewek yang abis diputusin gitu aja sama cowoknya. Udahlah mesti diturunkan di tengah perjalanan, harus balik lagi naik taksi cuma buat ngambil mobilnya dia. Nasib benar dah, punya teman ngerepotinnya minta ampun. Mana nunggu taksinya lama lagi."
Ruang keluarga di rumah Armand sekarang terasa ramai. Tidak seperti beberapa menit yang lalu, kini di ruang keluarga tersebut dipenuhi dengan keluh kesah Daffa yang masih kesal akan ulah Fandy, yang memaksanya pulang lagi hanya karena ingin agar bisa pulang menggunakan mobilnya sendiri, padahal saat itu Daffa dan Faris sudah berada cukup jauh dari kota.
Kekesalan pria yang begitu santai menikmati kesendiriannya itu semakin bertambah saat melihat yang dibicarakan justru cengengesan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun.
Sedangkan Faris, sejak tadi duda satu anak itu terus memandangi putri semata wayangnya, Kayla, yang sedari mereka masuk ke ruang keluarga ini, terus saja mengekori langkah dari istri si pemilik rumah, yang sedang sibuk menata makanan ke atas piring di ruang makan sana.
Jarak antara ruang keluarga dan ruang makan tidak terlalu jauh. Hanya terdapat sekat berubah dinding kaca tebal bermotif, sehingga yang berada di ruang keluarga bisa melihat langsung apa saja yang sedang dilakukan oleh orang di ruang makan, seperti sekarang, mereka semua jelas bisa melihat tiga orang yang sedang sibuk di sana.
Kemudian, tiba-tiba saja putrinya itu berbalik, melangkah ringan menuju ke arahnya, lalu seolah tanpa dosa sambil berkata, "Ayah, Kay mau punya ibu kayak kakak Nissa dong. Kenapa kakak secantik itu nggak jadi ibunya Kay aja."
Sontak saja Faris langsung menoleh ke arah Armand yang duduk satu sofa dengannya. Wajah sahabatnya itu tampak merengut, kesal mendengar perkataan putrinya yang tak dipikirkan terlebih dahulu itu.
Rengutan di wajah Armand bahkan berubah menjadi kerutan kesal di kening kala mendengar kekehan geli dari dua pria yang tadinya masih seperti musuh.
"Nggak usah dimasukkan ke hati omongan anak kecil, Man." Faris berucap tenang. Kecemburuan serta ketidak-sukaan Armand atas apa yang Kayla katakan bisa sangat Faris mengerti. "Istrimu itu pembawaannya benar-benar tenang, sabar banget kayaknya, sama seperti mendiang istriku. Jadi mungkin Kayla jadi ngerasa kayak lagi ada di dekat ibunya."
Kedua bahu Armand yang tadinya menegang kini tampak mulai rileks.
Jujur saja, celotehan polos Kayla memang sangat mengganggunya. Armand merasa tidak suka bila istrinya diinginkan oleh orang lain, walau itu hanya sebatas ucapan saja.
"Masih kelas lima dia, Man, masih belum bisa mana yang baik untuk dikatakan dan mana yang nggak. Harap maklumin aja, soalnya dia akhir-akhir ini makin sering minta aku buat nyari ibu baru yang sama seperti ibu kandungnya."
"Ya udahlah, nggak guna juga marah-marah sama anak kecil." timpal Armand seraya menyandarkan punggungnya di sofa. "Aku juga nggak mungkin bisa cegah anakmu untuk nggak mengagumi istriku." imbuhnya sambil menatap langit-langit ruangan.
"Istri siapa, Yah?" gadis kecil yang rambutnya diikat ekor kuda itu dengan manja duduk di pangkuan ayahnya. Kedua tangannya melingkar di leher sang ayah sembari kembali menanyakan, "Memangnya kak Nissa udah nikah?"
"Panggilnya tante, jangan kakak." cepat Faris mengoreksi perkataan anaknya. Meski melihat bibir putri kesayangannya itu merengut, tak setuju dengan perkataannya, Faris tetap menerangkan sambil tangan kirinya menahan punggung Kayla supaya tidak jatuh. "Tante Nissa itu istrinya Om Armand. Mulai sekarang, Kayla nggak boleh ngomong ngasal. Jangan bikin Ayah jadi nggak enak sama Om Armand karena kamu ngomongnya nggak benar gitu."
"Yah... gagal deh punya bunda cantik dan lembut kayak kak... tante Nissa." gadis itu mengeluh kesal, tapi tetap berusaha mematuhi perintah ayahnya. Namun, dengan iseng gadis itu melongokkan sedikit kepala ke arah pria yang duduk di dekat ayahnya untuk dengan iseng bertanya, "Boleh nggak sih, Om, tante Nissa buat Ayahnya Kayla aja?"
"Ris... " Armand mendelik kesal ke arah Faris yang malah terkekeh geli. "Ntar aku jitak kepala anakmu itu baru tau rasa dia." ucap Armand, yang menatap dengan mata menyipit ke arah gadis yang justru terkikik geli sambil menyembunyikan wajahnya di leher sang ayah.
"Udah... udah, jangan ngomongin soal istri atau apa lah dulu." Daffa menengahi suasana. Pria yang masih kesal terhadap Fandy itu tak ingin sampai perayaan super sederhana mereka atas rumah yang baru Armand beli rusak hanya karena celotehan seorang anak kecil yang merindukan kasih sayang seorang ibu. "Mending kita makan yuk, perut aku udah lapar nih." tambahnya lagi seraya berdiri.
Karena yang mentraktir malam ini sudah berkata begitu, maka yang lainnya pun menuruti. Termasuk Armand, meski sudah menikmati makan malam yang dimasak oleh Nissa dengan dibantu Lala, ia tetap berdiri untuk menemani tamunya menyantap menu yang sengaja dipesan Daffa dari restoran milik Faris.
Demi menghargai niat baik para sahabatnya, Armand ikut melangkah setelah lebih dulu dengan iseng menarik rambut Kayla, hingga membuat anak itu menoleh dengan bibir merengut.