Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Teman Pertama
Mall sore itu dipenuhi cahaya lampu yang gemerlap. Orang-orang lalu-lalang, suasana ramai dengan musik lembut dari toko-toko di sepanjang koridor.
“Wah, akhirnya bebas juga dari tumpukan berkas!” Mia bersorak, langsung menyeret Audriel dan Ivy ke arah butik branded. Daniel mengikutinya dengan malas, jelas-jelas hanya karena tidak punya pilihan lain ia terpaksa ikut juga demi menghargai rekan baru mereka, Ivy yang baru beberapa bulan ini bergabung. Toh mereka memang belum pernah merayakannya.
Begitu masuk, Mia langsung terbelalak. “Astaga … tas ini saja butuh dua tahun gajiku!” ujarnya dengan suara sedikit keras, membuat beberapa pengunjung menoleh.
“Mia, jangan teriak begitu. Semua melihat kita, bikin malu saja!” Audriel cepat-cepat menegur, wajahnya merah padam.
Daniel menghela napas sambil melipat tangan. “Beginilah kalau kau belum kaya dan masuk ke butik mahal. Bikin frustasi benar, kan?”
Ivy menoleh ke arah rak tas, lalu tersenyum kecil. “Memang mahal, ya?” tanyanya polos. Biasanya ia tidak melihat harga saat masih suka berbelanja sebelum bekerja, jadi tidak mengerti yang benar-benar mahal seperti apa.
“Memang?!” Mia hampir tersedak, menatap Ivy seperti melihat kejutan. “Ivy, harganya saja tidak cukup dua tahun gaji kita! Kapan aku bisa punya satu? Kekasihku saja tidak mampu membelikannya," katanya dengan raut lesu.
“Oh.” Ivy mengangguk tenang, lalu berujar sambil menimbang-nimbang tas itu dengan santai. “Kalau kau suka, aku bisa belikan. Anggap saja hadiah ulang tahun dariku."
Kalimat itu meluncur ringan, benar-benar tanpa nada sombong. Namun, justru karena begitu, Daniel dan Mia sama-sama terdiam dengan wajah bingung.
“Eh?” Mia berkedip cepat, seolah tidak yakin telinganya berfungsi dengan baik. “Kau — bercanda, kan?”
Ivy menggeleng polos. “Tidak. Kalau kau suka, aku serius. ”
Audriel yang sejak tadi memperhatikan akhirnya mencondongkan badan. Tatapannya lembut tapi penuh selidik. “Ivy, kau sering belanja di sini?”
Ivy tersenyum, mengangkat bahu seolah hal itu wajar. “Kadang. Kalau sedang bosan, aku jalan-jalan saja. Toh barang-barang seperti ini lucu.”
Mia menepuk kening. “Lucu? Ini tas ratusan juta!”
Daniel mengerutkan kening, kini benar-benar curiga. “Sekretaris pribadi bisa semudah itu belanja di butik mahal? Kecuali —” ucapannya menggantung, pandangannya tajam meneliti Ivy.
Ivy tersentak sedikit, jantungnya berdegup cepat. Ia buru-buru tertawa renyah, meski dalam hati panik.
"Aku melakukannya sejak lama, maksudku — sebelum aku bekerja. Sekarang aku tidak punya waktu lagi karena sibuk. Jika tidak mau, kita pergi makan saja." Ia cepat-cepat menutup obrolan sambil berjalan ke arah etalase sepatu. “Ayo, kita lihat restoran Jepang yang Mia bilang tadi.”
Audriel menghela napas, lalu mengikutinya sambil geleng-geleng kepala. Mia masih belum move on, mulutnya komat-kamit sendiri. Daniel hanya menatap punggung Ivy lama-lama, ekspresinya penuh tanda tanya.
Dia pasti orang kaya yang bosan, lalu bekerja untuk mengisi waktu! Ketiga membatin serentak.
Restoran Jepang itu terletak di lantai atas, dengan interior kayu hangat dan aroma kuah kaldu yang menggoda. Pelayan menyambut mereka dengan sopan, lalu mengantar ke meja tatami dekat kaca besar. Dari sana, lampu kota terlihat berkelap-kelip.
“Wah … suasananya mewah sekali.” Mia berbisik sambil berputar-putar memandang sekitar. “Pasti mahal.”
Daniel mendengus. “Jelas saja. Restoran ini langganannya eksekutif. Aku heran kenapa kau tiba-tiba mengajak ke sini.”
“Aku baca review, katanya enak!” Mia berkilah cepat. “Jadi boleh saja, kan, pergi sesekali.”
Begitu buku menu dibuka, ekspresi Mia langsung jatuh. “Astaga! Ramen saja segini? Ini bisa makan daging seminggu penuh!”
Audriel menepuk dahinya. “Mia, jangan keras-keras. Orang-orang bisa dengar.”
Ivy yang duduk santai malah terkekeh kecil. “Kenapa? Bukannya ini normal?”
Daniel menoleh curiga. “Normal? Harga satu mangkuk hampir sejuta menurutmu normal?”
“Eh?” Ivy berkedip polos, lalu menutup menunya dengan santai. “Iya, kalau makan di restoran Jepang biasanya segini. Malah ada yang lebih mahal dari ini.”
Mia memegangi dada dramatis. “Lebih mahal? Kau sering ke restoran begini?”
Ivy menautkan jemarinya di atas meja, tersenyum seolah-olah tidak ada yang aneh. “Iya, kalau lapar habis berbelanja, aku mampir untuk makan. Rasanya enak, tempatnya juga nyaman. Memangnya aneh?”
Audriel melirik Mia tajam agar tidak asal ceplos lagi, tapi ia sendiri tidak bisa menahan rasa heran. “Ivy, kau ini bukannya baru sekretaris pribadi beberapa bulan? Tapi gaya hidupmu seperti anak orang kaya yang bosan saja?”
Daniel mengangguk pelan. “Benar juga. Rasanya lebih masuk akal kalau kau sebenarnya orang kaya yang sedang bosan, lalu bekerja di sini untuk bermain.”
Aku memang bosan, tapi kenapa mereka bisa menebaknya benar begitu? Ivy membatin heran.
Mia langsung menimpali sambil mendekat. “Astaga! Jangan-jangan … Ivy kau cucu orang kaya? Atau anak konglomerat?"
Keduanya, tapi tidak mungkin bilang begitu, kan?
Ia menepuk menu dengan ceria. “Hei, jangan asal tebak. Aku cuma suka makanan enak, itu saja. Pesan lah, aku yang traktir hari ini. Anggap saja perayaan gaji pertamaku."
“Traktir?!” Mia hampir berdiri. “Kau serius? Ivy, ini bukan restoran di mana kau bisa bilang begitu pada temanmu. Harganya—”
“Tidak masalah. Anggap saja aku ingin berbagi,” jawab Ivy polos. Sama sekali tidak terdengar pamer, tapi justru membuat ketiga rekannya saling pandang penuh tanda tanya.
"Kalian teman pertamaku. Apa tidak boleh aku melakukannya?"
Mia langsung menutup mulutnya rapat-rapat, wajahnya berubah jadi campuran terharu dan salah tingkah. "Kau bercanda, kan?"
"Tidak. Kalian benar-benar teman pertamaku."
“Ya ampun, Ivy. Kalau kau bicara begitu, aku bisa menangis,” gumamnya sambil memeluk menu. “Tapi serius, jangan sampai kau menyesal, ini mahal sekali.”
Audriel menghela napas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis. “Kau terlalu baik, Ivy. Tapi kalau sudah niat, kami tidak bisa menolak. Anggap saja kami ikut merayakan gaji pertamamu.” Nada bicaranya terdengar seperti kakak yang akhirnya menyerah pada adiknya yang keras kepala.
Daniel masih kelihatan ragu. Ia menatap Ivy lama, seolah mencari celah dari wajah polos itu. Tapi tatapan Ivy tetap tenang, bahkan cenderung lugu.
“Baiklah,” ujarnya akhirnya, menyerah. “Tapi ini aneh sekali, aku tidak pernah bertemu orang baru yang begini …”
“Kalau begitu, anggap saja aku unik,” sela Ivy ringan, sambil tersenyum menutup menu.
Pelayan datang, dan mereka mulai memesan makanan. Mia tentu memilih menu paling sederhana karena merasa tidak enak, tapi Ivy dengan santainya justru menambahkan beberapa side dish favoritnya—takoyaki, sashimi, dan tempura — seolah-olah itu hal biasa.
“Banyak sekali …” Audriel menatap meja yang penuh pesanan, matanya lebar.
Ivy hanya tertawa kecil. “Kalau makan ramai-ramai memang lebih enak begitu.”
Daniel mendengus, tapi kali ini tidak berkomentar. Dalam hati ia justru makin yakin. Ivy ini bukan sekedar sekretaris biasa!
Tak lama kemudian, hidangan mulai berdatangan. Uap harum kaldu memenuhi udara, sashimi segar ditata rapi di atas piring es, dan tempura emas renyah menggiurkan.
Mia sudah tidak bisa menahan diri. “Wahhh … ini surga dunia!” serunya sambil langsung mencomot takoyaki panas.
Audriel menepuk dahinya, tapi ikut tersenyum. Daniel hanya mengangkat alis, lalu mulai makan dengan tenang.
Sementara itu Ivy duduk santai, wajahnya tenang tapi hatinya berdetak lebih cepat. Ia merasa lega karena berhasil mengalihkan kecurigaan mereka untuk sementara waktu. Namun di sudut pikirannya, ia sadar — semakin lama bersama mereka, semakin sulit menyembunyikan jati dirinya.
Semoga Calix tidak mendengar apa-apa tentang ini, batinnya, sembari menyesap teh hijau hangat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Oke gaes, disini aku mau menyinggung mata uang. Kalian tau latar novel ini bukan Indonesia ya, tapi untuk mempermudah kalian membaca dengan mulus tanpa harus tebak-tebakan nominal dollar$ jadi aku langsung to the point seperti nominal rupiah. *Semoga berkenan**☺*...
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪