Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.
Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran
"Jadi kalian mau ngadain syukuran ngunduh mantu di kampung halaman Ari, gitu?" Tanya Haris.
Mereka menempati kubikel masing-masing, bekerja sambil sesekali berbincang hal pribadi. Supaya otak tidak ngebul karena pusing dengan angka-angka, yang memang sudah menjadi rutinitas.
Sehari saja, Sandi melakoni WFH. Karena ulah suaminya yang menuntut hak sebagai seorang suami. Untungnya salep kiriman Rini, membuat bagian intinya cepat pulih.
"Kemarin ibunya Mas Ari nanyain, apa aku setuju pakai ada Jawa atau nggak."
"Terus Lo bilang apa?" Kali ini Willy yang bertanya.
"Mau nggak mau, bang!" Sandi tersenyum kecut.
"Muka Lo kayak nggak ikhlas, neng!" Indah menerka. "Kalau nggak suka, bilang nggak. Jangan iya-iya aja Lo! Lo yang jalanin, bukan mertua Lo!" katanya tegas. Dia mulai paham karakter juniornya yang serba tidak enakan.
"Setuju gue!" cetus Arka.
"Nggak bisa sesimpel itu kayaknya, Ndah! Secara, Ari itu anak laki pertama dan orang tuanya cukup terpandang di kampungnya. Pastinya punya banyak relasi baik keluarga besar dari trah nenek buyut sampai relasi grup tani, pedagang dan lain-lain. Belum lagi, Ari yang mantan ASN. Pasti rekannya banyak dari berbagai pulau. Nggak kayak kita yang cuma sirkel paling banter temen sekolah, kuliah dan rekan kerja. Apalagi modelan gue sama elo, yang dari lulus kuliah udah kerja di sini. Jadi bisa kita undang cuma seratus orang." Terang Haris.
"Bener tuh, Mas! Nggak sesimpel itu buat Ari dan keluarganya." Sahut Willy.
"Tapi aku nggak bisa bayangin capeknya berdiri terus dan jadi pusat perhatian banyak orang. Bisa-bisa energiku habis dalam hitungan jam." Sandi mulai menyampaikan keluhannya.
"Di-charge aja lagi, San!" seru Leon yang masuk bersama Ringgo, juga Jaka.
Sandi tersenyum canggung, dia merasa sungkan.
"Udah tuh Pak! Sampai-sampai nggak masuk sehari gara-gara di-charge berlebihan." Willy menahan tawanya, begitu juga dengan Arka.
"Oh ya, kemarin saya nggak lihat kamu emang! Ya ampun, garang suami kamu itu. Bilang jangan kasar-kasar, entar kamu ketagihan lagi." Terkadang penghuni divisi sebelah, melontarkan candaan. Hal yang sudah biasa dilakukan, asal masih menjaga batas dan tak berkata kasar.
"Bagus pak! kalau sampai Sandi ketagihan. Soalnya biar udah dinikahin, Sandi masih aja ragu. Gara-gara Bu bosnya dia nih!" Ringgo menunjuk Jaka dengan dagunya. Saat berada di rumah bambu, Ari sempat curhat. Jika Sandi merasa minder karena mantan Ari adalah Rumi.
Meski jarang ikut berkumpul di atap, tapi Leon paham apa yang dibicarakan oleh mereka. "Pede aja lagi. Karena dia menjadikan kamu sebagai istri, berarti kamu sangat berarti buat suami mu. Soal masa lalu, itu udah berlalu dan tidak usah dipikirkan." Dia menasehati.
Mereka yang berada di sana, setuju dengan ucapan Leon. Sudah sepatutnya, Sandi merasa percaya diri.
***
Jam makan siang tiba, seperti biasa Ari akan membuatkan bekal dan makan bersama. Masih seperti tempo hari, mereka memilih makan di mobil.
"Akhir-akhir ini, kamu sering dihubungi nomor asing. Apa kamu punya hutang semacam pinjol?" Tanya Sandi begitu melihat layar ponsel suaminya yang menampilkan nomor sama seperti kemarin. Dia ingat dua digit belakang.
"Dosa sayang ... Itu Riba namanya."
"Ya terus apa dong?" Sandi kembali menyuapi suaminya. Hari ini Ari membuatkan bekal ala negeri sakura.
"Coba aja kamu angkat." Ari melirik ke arah ponsel yang diletakan di dekat cup holder.
"Itu hape kamu, nggak sopan kalau aku yang angkat."
"Kamu istri aku dan aku mengizinkan penuh, kamu membuka hape aku semau kamu. Kamu juga aku izinkan mengakses mobile banking, chat, story video dan akun media sosial aku."
Sandi yang hendak mengambil nasi gulung, menggantungkan tangannya. Dia menatap tak percaya ke arah suaminya.
"Kenapa? Heran ada suami yang membiarkan istrinya memegang hape pribadi, gitu?"
Sandi mengangguk. Sumpit yang tadi sempat menggantung, kini mengambil potongan nasi gulung yang dibungkus nori dengan isian telur dadar, wortel dan timun. Lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri.
"Aku tidak mau ada rahasia di antara kita, semua harus dibicarakan. Karena aku mau menikah sekali seumur hidup." Kata Ari.
"Aku juga maunya gitu, mas! Nikah ya sekali seumur hidup." Sahut Sandi. Kini gantian dia menyuapi suaminya.
Ari yang tadinya menghadap ke arah istrinya, setelah menerima suapan. Dia merubah posisi dan menghadap ke depan. Melihat jalan di depan mobilnya, lalu beralih pada gedung tempat istrinya bekerja. Dia menghela napas, ucapannya barusan menyadarkan pada realita beberapa hari ini. Tentang Rumi yang kembali menghubunginya. Ari belum jujur soal ini, dia takut Sandi merajuk dan berakhir mendiamkannya.
"Kamu mau makan lagi, nggak?"
Pertanyaan istrinya, menyadarkan Ari dari lamunan sejenak. "Kamu aja yang habiskan, tadi aku lumayan makan banyak di rumah."
Teringat soal mantan, membuat nafsu makan Ari hilang. Entah mengapa dia yang tak pernah menyesali masa lalu, mendadak kini menyesal pernah menjalin hubungan dengan sosok Bunga Harumi. Kenapa baru sekarang dia merasa ilfil? Kenapa tidak dari awal, sejak Rumi mengakui telah tidur dengan lelaki lain?
Harusnya dari awal saja, biar Ari bisa cepat move on lewat jalur ilfil. Bahkan dulu, dia masih mau menerima Rumi walau sudah jelas-jelas pernah ditiduri lelaki lain. Bodoh sekali dirinya.
"Mas soal ngunduh mantu. Bilang ke ibu, aku nggak masalah kalau mau diadakan pesta. Aku udah izin sama Bang Ringgo, nggak masuk hari Jumat dan Senin."
Ari menoleh, "serius kamu mau?"
Sandi mengangguk, "nggak apa-apa mas. Ini momen seumur hidup sekali, jadi supaya kita punya kenangan yang bisa diceritakan pada anak cucu nanti." Sandi ingat, Haris menasehatinya soal acara yang rencananya akan diadakan sebulan lagi.
Bagi orang seperti Sandi, mungkin tak terlalu penting. Tapi untuk Ari dan ibunya hal ini cukup penting, demi nama baik mereka sebagai orang terpandang.
"Aku dan ibu nggak maksa kok. Kami nggak mau kalau kamu merasa terbebani."
"Nggak apa-apa mas, aku serius. Pokoknya bilang ibu aku setuju, kalau mau pakai adat juga boleh."
"Oke," Ari tersenyum senang. "Aku akan buatkan undangan digital untuk keluarga jauh dan teman-teman aku. Nanti kamu juga bisa kasih ke rekan kerja di pabrik." Sambungnya.
Tidak apa-apa mengalah, toh suaminya sudah banyak melakukan sesuatu untuk hubungan mereka. Berkorban sedikit tidak masalah bukan? Untuk dirinya yang tidak menyukai keramaian.
"Oh ya mas, Pak Dimas dan Mbak Rumi diundang juga nggak?"
Senyum Ari memudar, mendengar nama mantan membuat moodnya memburuk. Dia tengah merasakan ilfil pada sosok perempuan yang pernah mengisi hatinya.
"Kalau keberatan nggak usah, jadi aku nggak akan undang. Jadi aku sebarkan undangannya diam-diam." Sandi merasa tak enak, apalagi melihat wajah suaminya yang tak lagi ramah. Seperti beberapa menit lalu.
Ari menghela napas. "Nomor asing yang menghubungi aku adalah mantan. Dia mengajak bertemu, katanya mau minta maaf. Tapi aku nggak mau menanggapi, karena bagiku sama sekali sudah tak penting. Dan aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kita." Ada kelegaan pada dadanya, begitu mengungkapkan rahasia yang dia sembunyikan beberapa hari ini.
"Dia menghubungi kamu? Apa mungkin diam-diam tanpa sepengetahuan Pak Dimas? Karena setau aku, Pak Dimas tipe suami posesif dan akan melakukan apapun untuk istrinya. Termasuk mengintimidasi para sahabat Mbak Rumi." Sandi ingat cerita dari Mia.
Ari menaikan bahunya, "aku nggak peduli. Itu bukan urusan aku."
"Terus apa tanggapan kamu?"
Ari mengambil ponselnya dan menunjukan pesan dari nomor asing. Sandi membacanya, tapi matanya melotot begitu melihatnya.
"Kok bisa?" Sandi tak percaya.
"Bahkan dia bilang masih sayang aku. Apa maksudnya dia ngomong kayak gitu?" Ari masih tak habis pikir. "Kenapa giliran aku baru menemukan kebahagiaan, dia malah mengacaukannya? Apa dia pikir aku masih mencintainya, gitu?" Dia mulai mengungkapkan amarahnya. "Aku adalah laki-laki terbodoh di dunia, bisa-bisa aku masih mau menerima dia walau sudah ditiduri laki-laki lain. Sebagai laki-laki, aku benar-benar tak punya harga diri saat itu. Hal ter-goblok yang pernah aku lakukan dan kini aku benar-benar menyesali nya." Akhirnya dia bisa mengungkapkan unek-uneknya.
Ari memukul stir kemudinya, "kenapa bisa aku sebodoh itu? Kayak nggak ada cewek lain aja. Astaga ... Aku bego banget, kan?" Dia menoleh ke arah istrinya. "Coba aku Deket sama kamu dari tiga tahun lalu, setidaknya aku tidak perlu membuang waktu dengan bodohnya dan masih menghadap dia kembali."
Ini pertama kalinya, Sandi melihat suaminya yang begitu emosional. Dia bingung harus menanggapi apa.
"Aku malu sama kamu, aku tidak seperti kamu yang punya masa lalu yang suci dan masih menggunakan logika ketika menyukai seseorang." Ungkap Ari.
"Kamu langsung meng-cut mantan sialan itu dengan mudahnya. Tapi aku? Aku harus membuang waktu selama lima tahun, demi meratapi perempuan seperti dia." Sekali lagi Ari memukul stir kemudinya, lalu menoleh ke arah istrinya. "Aku bodoh, kan?" Tanyanya.
Sandi menggeleng tak setuju, "kamu nggak kayak gitu mas!" dia mulai menutup kotak bekal yang telah kosong, menyisakan satu kotak. Rencananya, akan dia makan di sela-sela waktu kerja.
"Aku bodoh Sandi." Ari meninggikan suaranya. "Tapi walau aku bodoh, aku suami kamu. Jadi kamu nggak boleh berpaling dan meninggalkan aku."
Sandi mencondongkan tubuhnya dan memeluk suaminya dari samping. Jarang sekali dirinya memulai inisiatif melakukan kontak fisik. "Aku nggak akan meninggalkan kamu, mas! Kamu itu satu-satunya yang akan akan jadi suami seumur hidup ku."
Ari balas memeluk, dia bersyukur memiliki istri seperti Sandi. "Janji ya! jangan pernah tinggalin aku." Katanya. Ari melepaskan pelukan itu dan meraih kedua sisi kepala istrinya, dia mendaratkan bibirnya di dahi. Lembut, seolah ingin mengungkapkan rasa dalam dadanya. Ari kembali memeluk istrinya sambil berbisik, "Aku mencintaimu Sandi." Ungkapnya dari hati paling dalam.
hajar 2 kadal tak tau malu itu 😂😂
udah biarin aja tuh s rumi ngejar² suami org kaya orang stres dasar gatau malu.ntar nular ke suaminya yg pst bakal ngamuk² kaya org ksurupan klo tau istrinya berulah.dan yg psti ngamuknya ke org lain,bisa aja ari yg jd sasaran.pdhlkan yg gapunya adab bininya sndiri. pantes jodoh,pda gapunya otak mrk/Grin/
kasian bojo mu 😒
memang pantaslah jodohnya s harumi itu s dimas,dia jg yg bawa pengaruh gabener utk ari.untung sja mahkotanya ari yg dapt,lumayan ri garugi² amat d jagain brthn² jg udah dapat yg prtama wkkwkwk
tp ya emng cinta dan nafsu penghalangnya hanya setipis tisu (katanyaaaa wkwkw)
aplg pacaran sma yg udah matang,suka cepet tegang hahahaaa/Grin/
lagian sampe nangis darah sklipun kaga bakal ngerubah apapun rumiii lu udah bahagia kan dapt suami kaya plus bucin tolol sampe² bakal ngamuk kesiapa aja yg buat kamu nangis(inget mia yg prnah jd sasaran dimas waktu itu/Smug/) rasa bersalah lo tanggung aja seumur idup lo!!!
gitu aja ?
😭😭
ari yg d hianati,dimas yg ngerebut,tp knp smua teman² dimas kaya benci bgt ke ari???
apa ari jg punya sisi gelap d balik sikap ramah dan baiknya ya thor?? (trbiasa dgn dua wajah fero dan kawan²nya jd ke arah sana kan pikiranku wkkwkw) atau hanya ketakutan mrka aja yg takut istri² mrka kecantol mas² jawa?/Grin/