Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Suasana lebih tenang setelah Alina dipindahkan ke ruang perawatan.
Setelah melakukan transfusi darah, Brayn menuju ruangan sang dokter dengan membawa hasil pemeriksaan Alina dari sebuah laboratorium.
"Dia menyembunyikan semua ini dari kami. Andai aku tidak menemukan ini di kamar, kami tidak akan tahu." Brayn menceritakan sedikit tentang Alina yang menyembunyikan sakitnya dari keluarga.
Brayn juga menceritakan beberapa gejala yang dialami Alina.
"Awal melihatnya pingsan, aku tidak khawatir karena tidak menemukan sesuatu yang lain darinya. Kupikir dia hanya kelelahan."
Dokter Ben mengangguk.
"Aku rasa lebih baik kita melakukan pemeriksaan lagi untuk mengetahui tingkat keganasan sel kankernya dan bisa memperkirakan tindakan yang bisa dilakukan," ujarnya sambil membaca lembar demi lembar hasil pemeriksaan Alina.
"Dokter Faisal juga menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Tapi, agak sulit membujuk istriku. By the way, dia paling takut dengan jarum suntik," sahut Brayn.
"Itu memang masalah bagi sebagian besar pasien, bukan?"
"Begitulah," sahut Brayn.
"Kalau memungkinkan aku ada rencana membawanya ke Jerman. Kebetulan aku ada kenalan dokter onkologi dan aku sudah menghubunginya tadi."
"Bisa juga. Tapi, lihat perkembangannya dulu. Tunggu kondisinya membaik, baru lakukan perjalanan jauh."
Brayn mengangguk. Mereka kemudian membicarakan beberapa pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan untuk Alina.
Mereka juga membicarakan beberapa pengobatan yang akan dilakukan, termasuk kemoterapi.
Sementara di ruang perawatan, Bagas dan Maya duduk di samping putrinya, memandang wajah pucat dan mengusap lengan Alina yang terlihat ada beberapa ruam di kulit.
Melihat kondisi Alina yang sangat lemah, titik bening jatuh tanpa sadar. Teringat segala kenangan yang mereka lalui.
"Kasihan Brayn. Mereka baru dua hari menikah dan harus diterpa ujian seperti ini. Sekarang aku paham kenapa Alina mati-matian memintaku menolak saat tahu orang tuanya Brayn akan datang melamar."
"Ya, aku juga bisa lihat betapa sayangnya dia terhadap Alina. Ini pertama kali aku melihatnya menangis."
"Setidaknya kita sudah tahu apa yang dirahasiakan Alina selama ini."
Maya menyeka air mata. "Apa aku akan kuat, Mas? Aku merasa tidak sanggup kehilangan putriku."
Bagas menarik napas. "Putri kesayanganku ini pasti kuat." Ia menatap putrinya. "Insyaallah kamu bisa melalui semua ujian ini, Nak."
"Aku akan keluar dulu sebentar."
"Heemm."
Maya segera beranjak.
Sementara Bagas tetap menemani putrinya.
Hingga beberapa menit berselang, mata Alina bergerak dan menunjukkan tanda akan terbangun, Bagas segera mengusap air matanya dan berusaha agar putrinya tak melihat.
Benar, anak gadisnya itu membuka mata secara perlahan. Manik cokelatnya sempat meneliti seisi ruangan tersebut.
"Ayah ...."
"Iya, Sayang."
"Aku kenapa?"
"Kamu pingsan di kamar. Jadi kami bawa kamu ke rumah sakit."
Alina melirik jarum infus yang menancap pada pergelangan tangannya.
"Aku mau pulang, Ayah. Tidak mau di sini. Bilang ke 'bro-nya' Ayah supaya aku dibawa pulang," bisik Alina dengan suara yang terdengar sangat lemah.
Saking lemahnya, Bagas harus mendekatkan bibir ke telinga putrinya agar bisa mendengar suaranya dengan jelas.
"Nanti Ayah bilang padanya," bisik Bagas tersenyum. Berusaha untuk tidak menangisi putrinya.
"Terima kasih, Ayah. Maaf aku merepotkan semua orang."
"Sudah tenang dulu. Yang penting kamu sembuh dan kita pulang ke rumah. Kasihan, masa pengantin baru sakit." Bagas tertawa kecil.
"Ayah ... kalau ada apa-apa sama aku, jagain Ibu, ya. Jangan buat Ibu sedih."
Sementara di luar ruangan, keluarga sudah berkumpul.
Zahra dan Raka juga Rafa dan Mia segera ke rumah sakit begitu mendapat kabar tentang Alina.
Di ujung kursi, Bu Resha sedang menangis bersandar di bahu Zayn.
"Tapi, Kak Alina pasti bisa sembuh kan, Ma?" tanya Bima sambil menggenggam tangan sang mama.
"Insyaallah, Dek. Kita berdoa saja," sahut Zayn.
Perhatian semua orang pun tertuju kepada Brayn yang berjalan ke arah mereka.
Ia terlihat tenang. Tersenyum, meskipun kesedihan di wajahnya tak dapat ditutupi.
"Yang lain boleh pulang dulu, ya. Biar aku yang menjaga Alina," ucap Brayn menatap keluarganya.
"Ibu mau tetap di sini menemani Alina. Boleh, kan?" Maya mengusap air matanya.
"Lebih baik pulang istirahat, Bu. Tidak apa-apa, biar aku yang menjaga Alina. Lagi pula kalau dia melihat kita semua sedih, dia bisa drop."
Maya akhirnya setuju.
Pintu ruangan kemudian terbuka dan memunculkan Bagas. Lelaki itu mengusap ujung matanya yang basah.
Melihat Brayn yang tersenyum ke arahnya, ia mendekat. Memeluk menantunya sambil menangis.
"Bro, titip Alina, ya."
"Insyallah."
Setelah semua orang pulang, tinggallah Brayn seorang.
Ia memasuki kamar. Matanya tertuju pada Alina yang sedang melamun menatap kantung darah yang menggantung.
"Khumairah ...."
Mendengar panggilan lembut itu, Alina tersadar dan menoleh pada suaminya.
Sosok lembut dengan senyum menawan itu selalu berhasil membuat hatinya menghangat.
"Ada yang sakit atau tidak nyaman?" tanyanya seraya memeriksa beberapa alat medis yang terpasang di tubuh istrinya.
"Tidak ada. Hanya tidak enak pakai jarum infus, tangannya susah bergerak."
"Tidak apa-apa. Itu karena baru dipasang." Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap istrinya lekat-lekat.
"Aku mau menjelaskan video yang tersebar di sosial media tentang aku dan Siska. Itu tidak seperti yang diberitakan. Tolong dengar aku dulu."
Tangan Alina terulur membelai wajah suaminya.
"Aku tahu. Aku yang seharusnya minta maaf karena menemui Siska tanpa izin dari kamu. Aku hanya takut kamu akan sedih kalau aku sudah tidak ada. Setidaknya, aku tahu kalau Dokter Siska akan ...."
"Kamu akan baik-baik saja." Brayn memotong ucapan Alina.
"Kita akan berjuang bersama. Aku akan membawa kamu ke Jerman. Kamu akan menjalani pengobatan yang lebih baik."
"Aku tidak mau ke mana-mana. Aku mau di sini saja bersama kamu. Aku sudah ikhlas dengan apapun yang akan terjadi padaku. Biarkan aku menikmati hari-hari terakhirku tanpa harus menjalani kemoterapi dan pengobatan yang menyakitkan."
Tak ada sahutan dari Brayn, ia hanya memeluk istrinya. Menenangkan dan menemaninya.
Untuk saat ini akan lebih baik menjaga emosi Alina. Jika dipaksa justru akan membuat keadaannya semakin memburuk.
Ia akan mencari cara lain untuk membujuk Alina.
**
**
"Dokter, Anda dipanggil Dokter Ben ke ruangannya," ucap seorang perawat yang datang ke kamar pagi itu.
Brayn yang sedang menyuapi Alina itu menoleh.
"Baik, terima kasih. Sebentar, ya, Sus."
"Baik, Dokter." Perawat wanita itu segera beranjak, sementara Brayn melanjutkan menyuapi Alina.
Pagi ini Brayn sengaja memesan bubur khusus dari restoran milik Rafa yang memang menjadi menu sarapan utama di restoran tersebut. Juga merupakan menu favorit Alina.
"Sayang, aku tinggal sebentar, ya. Aku mau bertemu Dokter Ben dulu," ucapnya sambil mengusap sudut bibir istrinya dari sisa bubur yang melekat. Lalu, menyesap ujung jarinya.
"Jorok!" ucap Alina.
"Apa sih, sama istri sendiri."
Ia tersenyum, lalu segera menuju ke ruangan Dokter Ben.
Sahabatnya itu tampak duduk di kursi dengan wajah serius sambil membaca sebuah berkas di meja.
Melihat raut wajah Ben, Brayn pun segera duduk di hadapannya.
"Bagaimana, Ben?"
"Hasil pemeriksaan istrimu sudah keluar. Tapi, ada sesuatu yang aneh di sini."
Dahi Brayn berkerut tipis. Ia melirik berkas di tangan sang dokter. "Maksudnya?"
"Sama sekali tidak ditemukan sel kanker dalam hasil pemeriksaannya. Bersih, dia pucat dan lemas hanya karena HB-nya sangat rendah."
Dalam sekejap, bola mata Brayn dipenuhi cairan bening.
************
************
up lagi thor