Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 34
Chapter 34
Masa Kini
POV – Islana
Aku bisa melihat kemarahan di mata Kai. Suami mana yang tidak marah melihat cincin lain bersanding dengan cincin pernikahannya? Oh Tuhan, apa ini realita sebuah pernikahan? Kita harus bertengkar hanya karena masalah cincin?
Sejujurnya bentuk cincin memang kecil tapi masalah dibaliknya itu yang tidak bisa dimaafkan oleh seorang suami. Apa yang perlu aku lakukan untuk keluar dari masalah ini?
Kai bisa berubah jadi singa hutan sekarang juga!
Kai yang sudah banyak berubah semenjak pernikahan kami terjadi, sekarang menunjukkan perubahan yang positif itu. Matanya marah dengan sorotan tajam tapi dia tidak mengeluarkan kata-kata makian padaku.
Suaranya parau saat mulai bertanya. “Apa kamu ingin bilang sesuatu soal cincin itu?”
Ini akan sangat memalukan. Aku bahkan tidak tahu kapan Oza memakaikannya padaku. Aku begitu bodoh.
“Islana,” ujar Kai. Dia memegang wajahku di tangannya yang hangat. “tolong bawa tangan kamu ke depan. Aku nggak mau memaksa kamu. Aku sudah janji sama diri aku sendiri kalau aku akan berusaha menjadi yang terbaik buat kamu. Tapi semua ada batasnya. Salah satunya kesabaran.”
Mataku kembali dipenuhi air. Kenapa aku begitu cengeng? “Kamu janji jangan marah sama aku?”
Mata Kai tidak setuju apa yang dia dengar tapi bibirnya berkata lain. “Oke, bawa tangan kamu ke depan dulu. Aku akan dengerin semuanya.”
Aku membawa tanganku ke depan. Kai mengamati cincin sialan itu. Ketika dia berusaha melepaskannya dengan paksaan, aku mengeran kesakitan.
“Auwww, Kai. Tolong berhenti, aku sudah coba berkali-kali tapi ini nggak mau lepas.”
Kai menghentikan aksinya dan mencium keningku untuk meminta maaf. “Dia yang bikin aku pakai ini?”
“Aku nggak tau kapan dia naruh ini di jari aku. Aku bener-bener tolol karena nggak sadar soal ini.” Aku memukul kepalaku sendiri.
Kai menahan tanganku. “Apa ada cerita lain?”
Ini adalah bagian tersulit. Tuhan, tolong bantu aku supaya ini tidak berat. Dengan kecepatan luar biasa dan tanpa berhenti sama sekali aku menjelaskan semuanya dalam satu kalimat panjang.
“Dia meminta aku buat jadi istrinya, cerain kamu, nikah sama dia di Barabay, buat Ibu dan adik tiri aku jadi saksi penikahan akbar kita dan semuanya akan bahagia menurut versi seorang Oza Barabay.”
Akhirnya aku mengeluarkan semuanya dan bernapas dengan lega.
Tapi aku tahu singa di depanku sedang menutup matanya dan garis-garis kemarahan di wajahnya begitu kentara.
Kacau!
“Dia meminta kamu buat nikah sama dia?” suaranya kecil dengan emosi yang tertahan.
Aku mengangguk dan mengangkat tanganku bertanda menyerah. “Aku nggak tau dia punya niatan itu. Terlebih lagi Ibu adalah bagian dari semua ini. Dia punya hutang sama Oza.”
Kai cukup terkejut mendengar itu. Lalu Kai terlihat sedang merangkai semua potongan kejadian ini di kepalanya. Sepertinya pikirannya sedang jauh berkelana ke tempat lain.
Aku lagi-lagi malu mengatakan ini padanya. “Aku nggak tau kalau Ibu bisa bikin kekacauan kaya gini. Aku taunya dia sudah jadi konglomerat. Dan aku nggak peduli tentang hidupnya setelah dia keluar dari rumah.”
Kai mengangguk. Dia berusaha mengerti dengan semua keadaan yang begitu rumit seperti benang kusut ala sinetron di televisi. Raut wajahnya sedih melunak. Ingat, hanya sedikit. Sebelumnya dia lebih rileks.
“Ada satu lagi. Ibu taunya yang akan menjadi suami aku itu Oza bukan kamu.”
Kai terkekeh. Dia menggelengkan kepala dengan hebat. “Oza benar-benar nggak pernah bekerja dengan lambat. Dan sekarang bahkan dia sudah bertemu dengan Ibu kamu duluan dibanding aku.”
Dahiku mengernyit. “Siapa yang duluan ketemu Ibu sama sekali nggak penting, Kai. Aku juga nggak peduli sama dia.”
Kai membawaku duduk lagi di sampingnya. Dia membentulkan jaketku. “Ayo, kamu sebaiknya tidur lagi. Masih panjang perjalanan kita. Beberapa jam lagi kita baru sampai. Dan kamu harus sarapan nanti. Liat aja wajah kamu tirusan.”
Aku memutar bola mataku. “Aku diculik cuman satu hari, Kai.”
“Tetep aja.” Kai membawa wajahku ke bahunya.
Menepuk punggungku pelan-pelan.
Dia sengaja tidak mengajak aku bicara supaya mataku cepat terlelap. Dan ajaibnya dengan suasana sunyi di kegelapan subuh hari, dan tangannya yang seperti tongkat sihir, aku bisa tertidur.
***
Apa yang aku paling benci di dunia ini?
Sinar matahari.
Dan saat ini aku mendapati sengatan teriknya matahari tepat di wajahku. Saat aku berusaha bergerak, tanganku berada di atas sesuatu yang datar dan bidang.
Mataku terbuka lebar. Kai.
Dia sedang tertidur sekarang. Wajahnya yang begitu tampan membuat aku tidak ingin beranjak dari dekapannya. Aku membelai alisnya, hidungnya, bibirnya dan bahkan lehernya yang menggoda itu.
Dan seorang Kairav Arumbay di hadapanku ini adalah suamiku.
Sepertinya aku masih bermimpi.
Atau mungkin aku sedang koma dan belum sadarkan diri.
Aku melihat ke jalanan luar. Semuanya tampak berbeda. Aku mengenalnya dengan baik. Bangunan mayoritas berwarna cokelat. Bahan bangunan yang berasal dari tembok-tembok modern. Resto-resto anak muda yang tersebar di jalanan.
Kita sudah sampai di Arumbay.
Aku membandingkan dengan Barabay yang begitu berbeda. Kota itu dipenuhi dengan bangunan kuno, dengan batu bata menjadi ciri khas utama, jalanan yang lebih sempit, warna-warna mayoritas abu-abu atau putih dan hitam, dan warganya yang seperti kutub utara dan kutub selatan dengan kami.
Aku tidak mau kembali ke sana.
Jangan sampai aku kembali ke sana.
Barabay di penuhi orang-orang dengan tampilan berbahaya dan perilaku yang lebih berbahaya lagi.
“Kita sudah sampai.” Kai bangun di sampingku.
Dia berusaha meraihku tapi mobil berhenti mendadak.
Kai berhasil menahan badanku yang hampir jatuh. Lalu dia membuka pembatas di mobil dan bertanya pada anak buahnya.
“Ada apa?”
Pria itu melihatku sebentar lalu bicara lagi. “Wanita itu berusaha lari.”
Kami melihat arah dari telunjuknya. Yang mana di depan mobil kami wanita yang dia maksud ingin lari, sedang berdiri mematung sambil di kelilingi pengawal Kai, termasuk Omar.
Omar memegang lengannya dan berteriak.
Ibuku memarahinya balik.
Ibuku benar-benar sudah kembali.
Kembali ke hidupku...