Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Rahasia Penginapan
Penginapan tempat mereka menginap berdiri di sudut sepi Desa Kaelmoor, berdinding kayu tua dengan atap jerami yang telah menghitam. Dari jendela kecil yang setengah tertutup tirai, cahaya remang lentera menggantikan sinar matahari yang sudah tenggelam.
Sion duduk bersandar di kursi, tangannya menyangga dagu. Di seberangnya, Vietra menyantap makan malam dengan lahap—semangkuk sup kentang, roti gandum, dan potongan daging panggang. Anak itu makan seperti belum pernah merasakan kenyang dalam hidupnya.
Sion menatap diam-diam. Di balik wajah kecil yang kotor dan lusuh itu, ada semangat bertahan hidup yang keras kepala. Perut kecilnya boleh keroncongan, tapi matanya—mata yang tadi tak mau menunduk walau dihina—memiliki api yang sulit padam.
“Anak seusia ini… seharusnya bermain di bawah matahari, bukan dipukuli karena ingin membaca,”pikir Sion getir.
Ia mengepalkan tangan di bawah meja. Kebencian bukan hanya pada mereka yang memukul, tapi pada sistem yang diam-diam melanggengkan kekejaman. Mestiz... kaum separuh darah itu tetap membawa darah kerajaan, seharusnya dilindungi, bukan dilenyapkan secara perlahan oleh stigma dan pengabaian.
Sissel.
Nama itu muncul tanpa permisi. Sion terkesiap sedikit—tak sampai terlihat oleh Vietra.
Ia mendesah pelan. “Padahal baru beberapa hari… kenapa aku merindukannya?” pikirnya. Entah kenapa, ia rindu melihat Sissel mengomel saat api sihirnya meletik tak sengaja. Rindu caranya menahan malu saat dikejutkan, atau saat pura-pura kuat padahal lututnya gemetar.
Ia menggeleng pelan, lalu meneguk air.
“Um… Tuan?” suara Vietra memecah lamunannya.
Sion menoleh. “Ya?”
“Kau mau ke mana setelah ini?”
Pertanyaan sederhana itu membuat Sion terdiam sejenak. Ia belum benar-benar memutuskan. Tujuannya awalnya adalah mencari air terjun Lyinn, tapi… tambang Garya telah membangkitkan kecurigaan dan naluri pelindung dalam dirinya.
“Aku belum tahu,” jawabnya jujur. “Tapi ada tempat yang ingin kupelajari lebih jauh.”
“Apa itu tentang tambang?” tanya Vietra pelan, mencondongkan tubuhnya ke depan.
Sion terkejut. “Kau tahu tentang tambang di Garya?”
Vietra mengangguk. “Aku pernah ke sana, sekitar pinggiran dekat bukit Raon. Aku dan teman-temanku kadang bermain di sana. Tapi kami tidak berani masuk ke wilayah yang lebih jauh. Itu wilayah para elf dewasa bekerja. Para Penambang. Tempat mereka menggali besi … juga membuat senjata.”
“Tempat pembuatan senjata?” ulang Sion.
“Iya. Ada sebuah gua yang sangat besar, di dalam tak henti mengeluarkan suara orang menempa besi. Aku pernah mendengar banyak pekerja yang tidak bisa keluar dari sana. Tapi, orang selalu berharap bisa bekerja di sana. Gajinya sangat besar.”
Sion menatap Vietra dalam. “Apa kau tahu jalan ke sana?”
Vietra menunduk sebentar, lalu mengangguk pelan. “Tapi... tempat itu dijaga. Banyak sekali prajurit yang memegang panah yang menjaga sekeliling tempat itu. Mereka tidak suka melihat anak kecil berkeliaran terlalu dekat.”
Sion tersenyum samar. “Tidak apa-apa. Aku tak butuh masuk sekarang. Aku hanya ingin melihatnya dari jauh….”
Ia berdiri, menghampiri Vietra, lalu menepuk kepalanya perlahan. “Kau… sudah sangat membantuku.”
Vietra memerah, malu. Tapi di balik wajah kurusnya, tampak bangga.
“Besok, tunjukkan jalannya padaku.”
“Baik!” jawab Vietra cepat, semangat terpancar dari suaranya. “Tapi..., boleh aku ikut?” tanyanya ragu-ragu. “Aku bisa cepat berlari dan tahu tempat sembunyi.”
Sion berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, mulai besok kau jadi penunjuk jalan resmiku.”
Malam semakin larut. Vietra sudah tertidur di ranjang kecil dengan selimut menutupi setengah wajahnya. Napasnya tenang, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa tidur di tempat hangat dan aman.
Sion masih terjaga.
Ia duduk di kursi dekat jendela, cahaya lampu minyak menari lembut di mejanya. Pedang pemberian Krov ia letakkan di pangkuannya. Angin malam menyelinap melalui celah jendela, membawa aroma debu dan asap tipis dari tungku rumah penduduk.
Matanya melayang menatap ke luar.
Tiba-tiba… ia menangkap pergerakan aneh di sudut halaman penginapan.
Beberapa sosok berpakaian gelap muncul dari gang sempit antara bangunan. Gerak mereka cepat dan senyap, seperti bayangan yang meluncur di antara tiang-tiang kayu. Sion menyipitkan mata. Ada empat sosok—dua di antaranya menyeret sesuatu yang tampak berat.
Dari kejauhan, terdengar suara pintu kayu dibuka secara paksa—diikuti suara bentakan tertahan.
Sion berdiri cepat, tapi tidak gegabah. Ia meraih jubah dan pedangnya, lalu mengintip lebih dalam.
Salah satu dari sosok berpakaian gelap itu membuka pintu belakang bangunan yang gelap dan tampak ditinggalkan—sejenis gudang tua. Mereka menyeret sesuatu ke dalamnya. Lalu satu dari mereka mengangkat lentera dan wajahnya tampak jelas sesaat oleh pantulan cahaya.
Wajah itu bukan elf biasa.
Kulitnya kelabu kehijauan.
Mata Sion membelalak sedikit.
Orc? Di tengah pemukiman?
Tidak seperti orc biasa—makhluk itu bertubuh lebih kecil, lebih ramping, dan mengenakan pakaian seperti manusia. Tak ada raungan. Tak ada bau menyengat khas tubuh orc yang baru saja keluar dari gua. Makhluk itu seperti tengah menyamar seperti penduduk biasa.
Sion mencengkeram gagang pedangnya.
Ia tidak bisa menyerang gegabah. Tidak saat ada Vietra tertidur di belakangnya. Ia hanya bisa menghafal: pintu belakang gudang tua, arah lorong yang mereka lewati, dan ciri makhluk itu.
Mereka pasti bagian dari sesuatu.
Pintu gudang ditutup pelan. Sosok-sosok itu lenyap lagi ke dalam gelap.
Sion kembali duduk, matanya tak lepas dari jendela, tubuhnya tegang.
Ia tak jadi tidur malam itu.
Besok, pikirnya, sebelum ke tambang, ia harus memeriksa gudang tua itu. Karena bisa jadi... apa pun yang terjadi di sana, memiliki hubungan erat dengan apa yang benar-benar terjadi di tambang Garya.