"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Jenius yang Mengerikan
"Ngeri kenapa? Bahaya dari mana? Aku nggak pernah gigit atau menggerogoti salah satu bagian dari tubuhmu kok, Mut!" gocek Reyesh dengan guyonannya.
"Idih.... sumpah ngeselin banget! Maksudku, kamu itu sangat ngeri dan bahaya dalam artian positif. Kayak kamu tuh orangnya... pinter banget gituu..... jenius di pelajaran, terus cerdas juga memahami orang lain."
"Oh begitu, ya...? Hmm... kenapa baru sadar sekarang?" Reyesh membalikkan home run yang sebelumnya dilemparkan Mutiara.
"Waw! Makin pinter balikin yah sekarang!" kata Mutiara.
Kang Arif nampak senyum-senyum saja, melihat kedua muda-mudi itu berbincang hangat dan saling senyum satu sama lain.
"Maaf ya, kang... ceritanya dipotong lagi deh." ucap Reyesh seraya menempelkan kedua tangan, pertanda meminta maaf.
"Nggak apa-apa, dek Iyesh. Akang juga kan lagi nyiapin makanan buat pelanggan. Jadi, santai saja." balas Kang Arif yang nampak kerepotan mengurus beberapa mahasiswa yang antri memesan.
Sambil menunggu kang Arif selesai dengan para pelanggan mahasiswa, Mutiara sedikit terganggu dengan pertanyaan Reyesh sebelumnya.
"Rey, kenapa tiba-tiba kamu nanya, tentang ortuku yang pernah bandingin aku dengan orang lain?"
"Apa kamu pernah mengalami trauma seperti itu, Rey?" tambahnya, penasaran.
"Oh. Nggak, Mut. Soalnya, ada teman dekatku. Dia pintar dan terbilang jenius sekali. Seluruh pencapaiannya selalu diapresiasi oleh kedua orang tua. Bahkan sering diberikan reward khusus atas pencapainnya tersebut." Reyesh kembali bercerita.
Satu hal baru yang disenangi Mutiara belakangan ini adalah... mendengarkan si jenius bercerita atau memaparkan sesuatu!
Dari gaya nya, bahasa tubuh, pengolahan diksinya, penempatan pesan yang ingin disampaikan oleh si jenius kepadanya, seolah sangat menyatu dan begitu ringan dicerna oleh kepala Miranda.
Mahasiswi cantik itu tidak pernah merasa sedang diceramahi atau digurui oleh Reyesh. Mungkin karena Reyesh pintar memainkan tempo dalam setiap pesan yang ingin disampaikan.
Hampir selalu diselingi humor atau guyonan, agar isi perbincangannya tidak terlalu dianggap serius oleh Miranda.
"Bagus, dong! Terus, apa yang terjadi dengan teman jeniusmu itu?"
"Nah! Itu awal masalahnya, Mut. Karena dia sudah naik level, otomatis ekspektasi dan harapan orang tuanya pun naik dong. Dan mencari lingkungan baru yang memiliki anak jenius juga. Supaya dapat dibandingkan dengan anaknya!" kata Reyesh.
"Namun, karena temenku ini tidak dapat menandingi anak jenius lain, dia kalah telak dari segi IPK dan prestasi lainnya, alhasil, setiap ditelepon kedua orang tuanya, isi obrolan ayah dan ibunya selalu memuji anak orang lain yang jenius itu."
"Wah, aku sih bakalan bete banget kalo ngobrol ama ortu, tapi isinya cuma meninggikan derajat orang lain. Bukan anak sendiri!"
"Yaps! Itulah yang sedang dialami temanku saat ini, Mut. Bisa kita simpulkan sementara, sekarang dia tidak punya sandaran lagi. Untuk pembuktian atau sekadar pemicu motivasi. Karena, sandaran paling kokohnya sudah membuang dia secara tidak sadar!" ucap Reyesh dengan bahasa analogi.
"Gimana kondisi mental dari teman jeniusmu sekarang?" tanya Mutiara.
"Kalo nampak dari luar memang biasa saja. Tapi, kalau kamu telusuri lebih dalam. Benar-benar hancur dan kritis, Mut. Bayangkan, dari tadinya IPK 3.8, hingga sekarang terjun payung jadi 2.89 coba! Itu pun dia masih ogah-ogahan belajar, lho!" Reyesh coba membongkar aib teman dekatnya sendiri.
Bukan itu tujuan utama Reyesh membagikan kisah temannya kepada Mutiara. Ia punya misi tertentu.
"ih... gilaaa sih! Bukan terjun payung itu mah, Rey. Nyungsep dan longsor!"
"Nah, lebih parah jadinya, kan....!" sahut Reyesh, menimpali respon Mutiara.
"Terus, kamu bisa dong nyembuhin mentalnya dia? Dengan wawasan psikologismu itu?" tanya Mutiara.
"Aku udah usaha sekeras yang aku bisa, Mut. Sekalipun dia dikasih motivator atau psikolog dunia sekalipun, tetap ending nya ada di dirinya sendiri. Karena masalah ini lahir dari akar mindsetnya, jadi keputusan dan motivasi nya yang akan menentukan."
"Yah, dasar nggak berguna kamu, Rey! Haha," ketus Miranda, mengejek Reyesh.
"Iyadeh, si paling bermanfaat!" balas Reyesh dengan sindiran.
"Gimana dong nasibnya sekarang? Aku kok jadi malah mikirin masalah temenmu itu ya! Padahal sendirinya masih banyak PR yang belum selesai." kata Mutiara sambil intropeksi diri.
"Sekarang dia lagi rehab!" jawab Reyesh.
"Hah?! Kamu bawa dia ke tempat rehabilitasi? Udah separah itu kondisi mentalnya? Jahaat banget!"
"Maksudku, dia sedang di rehab sama temenku lainnya. Kayak di kurung gitu, Mut. Di kostan main game, olahraga, isengin cewek lewat chatting random, dan sebagainya. Pokoknya ngelakuin banyak hal yang menjauhkan pikirannya dari beban pesenan ortu. Itu!"
"Ooo... semacem pengalih perhatian?"
"Betul!"
"Heran deh! Apa emang begitu ya, hobi kebanyakan orang tua? Membandingkan anaknya dengan anak orang lain? Supaya apa sih?" tanya Mutiara dengan nada ketus.
"Kenapa tiba-tiba kamu yang malah ngedumel, Mut?" tanya Reyesh.
"Ya, habisnya... aku kesal, tapi bingung mau marah ke siapa! Kalau aja banyak orang tua yang ikut parenting terlebih dahulu, belajar banyak ilmu dan pengetahuan psikologi anak, pasti karakter dan kepribadian anak bakal kebawa kuat. Mental mereka akan lebih sehat dan akhirnya pola pikirnya bisa lebih jernih," ungkap Mutiara, menumpahkan segala uneg-uneg di kepala.
"Ya, kan nggak semuanya peka ke arah sana, Mut. Lagi pula, setelah mereka dinyatakan sah menjadi orang tua, naluri untuk menjaga dan melindungi anak sudah aktif dengan sendirinya. Mereka ingin yang terbaik lah untuk anaknya." ujar Reyesh.
"Kalo itu pasti... Tapi kan... Aarggghh.....!!!" Mutiara tak kuasa lagi meluapkan emosi dan kekesalannya dengan mengacak-acak rambutnya sendiri.
Niat Mutiara sangatlah baik dan suci, yaitu untuk menjelaskan kepada para orang tua diluar sana, agar sedikit peka dan mengerti kepribadian anaknya masing-masing.
Karena akibat dari salah didik, akan menghancurkan mental anak, bahkan hingga menghancurkan masa depan anak itu sendiri.
Itulah yang ditakutkan Mutiara. Trauma dari hancurnya mental seseorang karena faktor keluarga, apalagi faktor kepercayaan, akan susah sembuh atau butuh waktu lama untuk mengobatinya, untuk membuatnya semangat dan termotivasi kembali. Layaknya teman jenius Reyesh yang kini sedang masa rehabilitasi ala-ala.
"Udah dek Imut... daripada stress, mending pesen gado-gado spesial ala Kang Arif!" ungkap sang pemilik rumah makan itu.
Kang Arif coba mengalihkan perhatian, agar mahasiswi cantik itu tidak larut terlalu lama memikirkan hal yang bukan kapasitasnya.
"Boleh deh, kang. Pesan dua porsi, ya!" ucap Mutiara.
"Aku nggak usah, Mut! Aku mau mesen menu lain," Reyesh menahan Mutiara.
"Lah, Ge-eR banget kamu, Rey! Aku beli dua porsi buat perutku sendiri." balas Mutiara, dengan sekonyong-konyong.
"Haaah?! Yang bener? Seporsi gado-gado kang Arif itu ukurannya piring besar, lho! Muat tuh perut?" tanya Reyesh, khawatir Mutiara tidak dapat menghabiskan seluruh makanan yang dipesannya.
"Ya... muat lah!"
Bersambung......