Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabut Menutup
Kabut turun setengah pinggang ketika Raga berdiri di ambang pintu rumah gadang. Tubuhnya kaku seperti batu, matanya merah bengkak, napasnya terengah-engah tidak beraturan. Ia tahu tidak boleh keluar. Angku sudah memberitahu. Dunia leluhur sudah memberi tanda bahaya.
Tapi dada Raga… terasa seperti diseret oleh tangan yang tak terlihat, semacam duri yang menancap di tulang rusuknya—menarik, memaksa, memanggil namanya.
Dan nama yang terus mengganggu relung kepalanya, bukan Arumi, bukan siapa pun lain, melainkan:Nadira.
“Raga.”Suara Angku berat dari balik punggungnya. “Jangan langkahi batas itu.”
Raga tidak menoleh memejamkan mata, mencoba menstabilkan napas. Tapi bukannya mereda… justru semakin menggigit. Punggungnya serasa dibakar bara hangat “Angku…” bisiknya pecah, “aku harus pergi.”
“Tidak.”Jawabannya tegas, cepat, mengeras batu pegunungan yang abadi.
Namun Raga tetap melangkah satu anak tangga turun. Hanya satu. Tapi cukup membuat Angku menegang melesat maju, memegang bahunya erat membuatnya terkejut badan
“Raga! Kamu ingin mati? Kamu ingin dia terseret juga?”Nada suaranya penuh amarah bercampur ketakutan mendalam.
“Aku—” Raga menelan ludah, suaranya semakin lemah. “Aku tidak bisa diam, Angku. Sesuatu… sesuatunya menyakitkan parah.”
Angku menyipitkan mata. “Sakit itu bukan milikmu, Nak.”
Raga mengguncang kepalanya kasar. “Tapi aku merasakan dia. Nadira. Dia takut, Angku. Dia memanggil aku…”
“Dia tidak memanggilmu!” Angku membentak bukan marah, tapi ketakutan menua bersama tubuhnya puluhan tahun.
“Yang memanggilmu itu… Arumi.”
Raga menggeleng. “Tidak. Ini… berbeda. Semua berbeda.”
Angku menutup mata sesaat, merasakan aliran energi dingin melayang di udara. Desis halus dari hutan terdengar semakin dekat. Arumi gelisah. Leluhur bergerak. Kabut makin tebal, menyelimuti segala sesuatu keheningan.
“Raga…” suara Angku merendah, “kamu dan Arumi terikat garis yang sudah diputus.Tapi putusannya tidak sempurna… cukup menjaga jarak dantara dunia kalian.”
Raga mengepalkan tangan kuku menusuk kulitnya.“Tapi kenapa aku merasakan Nadira?”
Angku butuh beberapa detik untuk menjawab, memikirkan kata-kata yang tepat. “Karena Nadira membawa sesuatu yang tidak kamu punya… bagian yang hilang dari dirimu setelah ritual pemutus.”
laki laki itu membeku darahnya berhenti mengalir.“Bagian… yang hilang?”
“Ya.” Angku menatap dalam “Bagian itulah yang memanggil Nadira ke sini. Bagian yang Arumi tidak ingin ada yang menggantikannya.”
Laki laki itu terduduk perlahan di anjung rumah. Tangannya bergetar hebat, tidak bisa dikendalikan.“Jadi… dia datang karena aku?”
Angku menggeleng pelan. “Tidak, Nak. Dia datang karena takdirmu yang belum selesai, belum terurai.”
“Dan Arumi… marah?”
“Tidak.” Angku menarik napas panjang, seolah memikul beban dunia. “Dia takut.”
Raga menatapnya lamat. “Takut kehilangan aku?”
“Takut… tersingkir dari garis kehidupannya sendiri. Takut bahwa apa yang pernah dia miliki akan hilang selamanya.”
Keheningan turun, berat, menekan menghancurkan.
Di kejauhan, angin membawa wangi melati— Arumi ada di dekat batas hutan mengawasi setiap langkah.
Dan Raga merasakan Nadira semakin dekat. Perasaan itu menyakitkan—bukan seperti luka terbuka… tetapi seperti potongan dirinya hilang ditarik kembali oleh rasa sakit menyentuh jiwa.
Ia berdiri, matanya menajam ke arah jalan berbatu menuju batas kabut.
“Aku harus menjemputnya.”
Angku kembali menghalangi, tubuhnya menjadi tembok tidak bisa dilalui. “Raga, sekali kamu menginjak batas itu, Arumi akan keluar dengan segala kekuatannya. Dunia kalian akan bertabrakan. Dan kamu, Nadira bisa hilang bersama, lenyap tanpa jejak.
“Kalau aku tidak pergi… dia yang hilang, Angku. Dan bagian diriku juga akan hilang selamanya.”
Sepi.
Angku menatap cucunya lamat, melihat masa lalu dan masa depan sekaligus.
“Ya Allah ” gumamnya lirih, “kamu memang cucu moyangnya. Sama saja—tegasnya mundur selangkah.“Pergi, Raga.”
“Angku—”
“Tapi dengar Angku baik-baik.” suaranya berubah keras batu sungai pecah dihantam arus deras.
“Jangan panggil namanya, jangan sentuh kabut yang menyelimutinya. Dan jangan biarkan dia menatap matamu terlalu lama. Atau kamu akan terjebak di antara dua dunia.”
“Dia siapa… sebenarnya, Angku?” Raga bertanya penuh keraguan.
“Arumi.” Angku menatap hutan gelap bergetar halus,ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. “Dan juga… Nadira.”
Raga menahan napas.
Angku melanjutkan lirih, “Karena kedua perempuan itu… sedang memperebutkan bagian jiwamu.
Angin menggelinding turun dari hutan, lampu di beranda bergetar hampir padam.
Dan untuk pertama kalinya, Raga menuruni anak tangga itu—dengan langkah goyah tetapi pasti, menuju batas kabut
Sementara mata yang tidak seperti mata manusia menatap dari balik pepohonan, penuh kesedihan dan amarah.
\=\=\=
Angin berhenti. Benar-benar berhenti.
Tidak ada suara dedaun yang bergoyang, tidak ada burung yang bersuara, tidak ada langkah yang terdengar—hanya detak jantung Nadira berdentum keras meledak di dada.
Ia berdiri di tengah jalan berbatu Koto Tuo, tertutup kabut setebal kapas basah membuat pandangan beberapa meter di depan. Dengungan halus menggetarkan telinganya, seolah hutan menahan napas menunggu keputusan kecil dari seorang manusia tiba dari seberang pulau.
Nadira memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa takut membanjiri dada.
“Aku… harus jalan.”
Ia mengangkat kaki berat dibebani batu, tapi baru selangkah, tanah di bawah kakinya berdenyut seperti nadi raksasa hidup dalam perut bumi.Gadis itu tersentak, badan hampir tergelincir mundur.
Di arah yang sama… selendang tergeletak di tanah, perlahan bergerak sendiri diseret angin yang tidak ada.
“Ini… gila…” napasnya terputus-putus terasa sesak, merunduk menatap selendang itu. Ada bordir kecil di ujungnya—bukan motif polos, bukan batik biasa—melainkan sekuntum melati berwarna putih kusam. Benang-benang lapuk, memudar oleh air mata menjilati
Nadira meraih selendang itu—pelan, ragu-ragu, namun rasa penasaran kaku mengalahkan takut. Dan saat ujung jarinya menyentuh kainnya…
WUSH.
Kabut di depannya meledak ke samping pintu tak terlihat dibuka paksa. Jalan yang tadinya pendek, tiba-tiba menjadi lebih panjang… lebih dalam…memanjang sendiri menuntun tamu yang tidak diundang.
Suara lain menyusup—sangat dekat, namun bukan milik Arumi.
Lebih berat.
Lebih tua.
Lebih… seolah selalu ada di sana, mengawasi setiap langkah.
“Kau sudah di sini… akhirnya.”
Nadira menoleh cepat ke kanan, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kabut tebal, akar pohon yang menjulang, dan jalan yang semakin sempit.
“A—apa itu tadi?” bisiknya tercekik.
Tanah di depan bergerak pelan. Dari balik kabut muncul perlahan-lahan silhouette tubuh kehilangan bayangannya sendiri merangkak keluar. Nadira tercekik suara, dada terasa mau pecah.
“Astaga… ya Tuhan…”
Wujud tanpa wajah—hanya lekukan kosong terhapus oleh waktu memakai baju kurung lama, motif tua Minang jarang sekali terlihat,
suaranya penuh wibawa mencacah tanah
“Jangan bawa itu.”
Nadira menunduk melihat selendangnya
“Ini… bukan milikku. Aku hanya—”
“Jangan bawa itu.” Lebih dalam, lebih memaksa tanah bergeser.
Nadira menelan ludah susah payah, ”Aku akan meletakkan nya tapi izinkan aku keluar,"
Makhluk itu tidak bergerak, kabut di belakangnya mendidih seperti air panas menggelegak. “Tidak ada yang boleh lewat tanpa membawa sesuatu.”
Nadira merinding, dingin menyusup ke dalam tulangnya.“ Jangan bawa selendang ini, tapi aku harus membawa sesuatu, apa… yang harus kubawa?”
Makhluk itu mengangkat lengannya—sendi-sendinya bergerak patah- tidak normal menunjuk ke arah dadanya “Yang harus kau bawa… bukan dari dunia kami.”
Gadis itu bingung memahami artinya perkataan itu, suara dengusan panjang terdengar dari arah belakang
“Nadira!”
Ia menoleh cepat spontan ingin berlari—namun kaki tidak bisa bergerak, seorang lelaki muncul di ujung jalan berbatu kabut, tapi cukup jelas untuk dikenali.
Raga.
Ia terbelalak, matanya melotot. “Ra—Raga?!”
Tapi ekspresi Raga… hampa. Matanya tidak fokus, berjalan kaku seperti orang tidur. Senyumnya tercekat tanpa Maya.
“Raga… jangan ke sini!” Nadira menjerit panik
Makhluk itu bergeser cepat ke depan Nadira, menghalangi jalannya. Tangan dinginnya mengangkat kearah Raga. “Dia tidak datang kepadamu."
“Jangan sentuh dia!!!”
Angin menjerit dari arah kiri, berteriak bersama suara. Kabut meledak ke segala arah.Dan di antara retakan kabut itu……Arumi muncul kembali, cantik, rapuh, dipenuhi retakan kaca menahan rasa kehilangan ribuan tahun.
Rambutnya berkibar ke segala arah tanpa angin, gaunnya melayang dengan sorot mata bening memancarkan kemarahan dan keterikatan masa silam menunjuk ke makhluk tanpa wajah itu.
“Dia tidak boleh menyentuh Raga!”
Makhluk itu bergerak mundur perlahan, kabut di sekitar kakinya surut perlahan. “Jangan ikut campur,” katanya datar tanpa emosi.
Arumi melayang ke depan mendekati, wajahnya utuh hanya retakan kecil di bagian kiri pipinya yang terlihat. “Nadira,”ucapnya lembut menggetarkan,. “Jangan bangunkan dia…”
“Bangunkan siapa…?”
Arumi menatap ke arah Raga berjalan kaku seperti boneka hidup.“Leluhur yang memanggilmu.”
“Aku yang memanggilnya,”.
“Tidak!” Arumi menjerit, amarahnya pecah petir menyambar. “Kau hanya penjaga! Kau bukan pemilik garis kehidupannya!”
Tanah bergetar keras. Pohon-pohon di sekitar melengkung ditarik ke dua arah yang berlawanan. Kabut berputar di antara mereka bertiga, dunia terasa terbalik.
Nadira menunduk menutup telinganya—suara mistik itu terlalu kuat untuk telinga manusia merobek otaknya.
Arumi mendekat memegang pundaknya lembut. Tangannya dingin, seperti orang yang pernah jatuh cinta dan patah hati terlalu lama.
“Nadira…” suaranya bergetar. “Jangan biarkan dia memilih jalan yang sama seperti aku.”
Nadira tercekat, mata mulai berkaca-kaca. “Jalan apa…?”
Arumi tersenyum getir, wajahnya mulai memudar “Jalan yang membuatku… hilang selamanya.”
Kabut bergulung semakin kencang, menutupi segala sesuatu.
Raga semakin dekat… matanya nyaris hilang
Makhluk tua itu berkata keras dan tegas:
“Jika dia sampai di tengah jalan berbatu, tidak ada yang bisa menariknya kembali. Dia akan tetap di sini.”
Arumi meraih tangan Nadira, memegangnya erat penuh harapan.“Nadira… pilih. Sekarang.”
“Pilih apa?”
“Selamatkan Raga… atau selamatkan dirimu.”
Kabut menutup dunia semua hilang dalam kegelapan dan keheningan.