Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Sebuah pelukan yang menenangkan
Kali ini perang meletus ke permukaan, menjadi pertarungan terbuka di ruang publik. Setelah serangan balik Catalyst AI yang membongkar kebohongan Nusantara Digital Hub, Setiawan Group membalas dengan amarah seekor raksasa yang terluka.
Mereka tidak lagi menggunakan preman di gang. Mereka menggunakan pengacara. Laporan hukum fiktif tentang pelanggaran merek mulai bermunculan, memaksa Edward menghabiskan waktu dan uang untuk hal-hal yang tidak penting. Mereka juga menggunakan kekuatan finansial mereka, menelepon para investor kecil yang berminat pada Catalyst AI, memberi mereka "peringatan" agar tidak berurusan dengan perusahaan yang "bermasalah".
Tapi Edward tidak tinggal diam. Dengan modal baru dari sistem dan bantuan Damien, dia membalas dengan cara yang lebih cerdas. Catalyst AI membentuk aliansi tak terduga dengan beberapa startup teknologi kecil lain yang juga merasa terintimidasi oleh dominasi Setiawan. Mereka secara kolektif meluncurkan "Gerakan Kemerdekaan Data", sebuah kampanye viral yang menyerang monopoli data dan mempromosikan etika teknologi.
Kemudian, Edward melancarkan serangan langsung. "Kita akan berikan mereka sesuatu yang gratis," katanya dalam rapat darurat. Timnya meluncurkan "Catalyst Lite", sebuah versi yang sangat disederhanakan dari AI mereka, gratis untuk siapa saja, yang bisa menganalisis data penjualan harian dan memberikan satu saran sederhana. Ini adalah pukulan langsung ke model bisnis berlangganan dasar dari Nusantara Digital Hub.
Pertarungan itu sengit, melelahkan, dan tanpa akhir. Kantor Catalyst AI berubah menjadi markas perang yang sesungguhnya. Mereka tidur di sofa, makan apa saja yang bisa dipesan, dan minum kopi seperti air. Edward, yang mengambil cuti seminggu dari sekolah, bahkan memperpanjangnya menjadi dua minggu. Dia mengirimkan tugas-tugasnya via email, tapi fokusnya 100% di perusahaan.
Pola makannya berantakan. Dia sering lupa makan siang, dan ketika ingat, dia hanya makan mie instan atau roti. Lingkar mata hitam semakin tebal, bajunya seringkali kusut, dan wajahnya yang biasanya tenang kini selalu tertekan.
Di tengah badai ini, ada satu kesunyian yang lebih berisik dari deru server. Sudah lebih dari sebulan. Sebulan lebih sejak pertemuan di lapangan golf. Tidak ada pesan dari Aurora. Tidak ada panggilan. Tidak ada apa-apa. Chat mereka terkubur di bawah tumpukan chat lain, dan menjadi salah satu alasan yang membuat Edward frustasi.
Di malam-malam ketika kelelahan mencapai puncaknya, Edward sering menatap ponselnya. Dia membuka profil Aurora, menatap foto inisial "AW" itu. Frustrasi karena perang yang tak berkesudahan bercampur dengan rasa kesepian yang aneh. Dia merindukan seseorang untuk diajak bicara. Seseorang yang bisa memahami tekanan ini tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Dia merindukan Aurora.
Tapi ego dan rasa malu menghalanginya. Aurora yang memulai "perang diam" . Dan Edward tidak mau menjadi yang pertama menyerah.
***
Suatu malam, setelah 18 jam non-stop di kantor, Edward memutuskan untuk pulang. Tubuhnya terasa berat, otaknya terasa penuh. Dia berjalan keluar dari gedung kantornya, udara malam yang dingin menyegarkan wajahnya. Dia berencana membeli sesuatu yang hangat untuk dimakan di supermarket terdekat sebelum naik bus.
Dia berjalan seperti zombie, melewati rak-rak yang penuh dengan makanan. Otaknya masih memproses kode dan strategi. Dia mengambil semangkuk instan, sebotol air mineral, dan roti. Saat akan menuju kasir, dia berbelok di sebuah lorong.
Dan di sanalah dia melihatnya.
Aurora.
Dia berdiri di depan rak buah, memilih beberapa apel dengan hati-hati. Dia mengenakan celana jeans sederhana dan sebuah sweater berwarna krem yang longgar. Rambutnya diikat kuncir kuda biasa. Tidak ada makeup, tidak ada aura "singa betina". Dia hanya terlihat... normal. Cantik, dengan cara yang sangat tenang dan damai. Sebuah dunia yang sangat berbeda dari dunia perang yang sedang Edward jalani.
Seolah-olah merasa sedang ditatap, Aurora menoleh. Matanya bertemu dengan Edward. Saat itu juga, ekspresinya berubah dari tenang menjadi terkejut, lalu menjadi... khawatir.
Dia meletakkan apelnya di keranjang dan berjalan cepat menghampiri Edward.
"Edward?" panggilnya, suaranya lembut. "Apa kau baik-baik saja?"
Itu adalah kalimat yang sederhana. Tapi bagi Edward, yang sudah sebulan lebih berperang sendirian, yang sudah terbiasa diserang dari segala arah, yang kelelahannya sudah mencapai titik maksimum... kalimat itu adalah titik lemahnya.
Itu adalah retakan di benteng logis yang sudah dia bangun selama bertahun-tahun.
Perasaannya langsung tak karuan. Sebulan frustrasi, kesepian, merasakan tekanan, dan kerinduan yang dia tahan-tahan semuanya hancur lebur dalam sekejap. Otak jeniusnya, semua logikanya, langsung mati total.
Tanpa sadar, tangannya bergerak. Dia menarik pinggang Aurora dengan lembut.
Aurora sedikit terkejut, tapi sebelum bisa bereaksi, Edward sudah menariknya ke dalam pelukannya.
Dia memeluknya erat. Sangat erat. Tubuh mungil Aurora yang 167 cm itu sempurna masuk dalam pelukannya yang memiliki tinggi 187 cm, wajahnya yang kusut dan lelah ia tenggelamkan di leher Aurora. Dia bisa mencium aroma samar sampo yang sama seperti yang dia cium malam itu di rumahnya. Aroma itu menenangkan, namun pada saat yang sama memecahkan pertahanannya sepenuhnya.
Selama sebulan, dia menjadi seorang jenderal yang kuat, seorang CEO yang tegas. Tapi di pelukan Aurora saat ini, dia hanyalah seorang anak lelaki yang lelah dan kesepian.
Aurora membeku sesaat. Tubuhnya kaku karena kaget. Dia bisa merasakan tubuh Edward sedikit gemetar. Dia bisa merasakan keputusasaan dalam pelukan itu.
Perlahan, ketegangan di tubuh Aurora mencair. Dia tidak membalas pelukan itu. Dia hanya berdiri diam, membiarkan Edward memeluknya sepuasnya. Tangannya yang awalnya tergantung bebas, perlahan naik dan menyentuh punggung Edward dengan lembut, sebuah gestur penenang tanpa kata.
Di tengah lorong supermarket yang ramai, di antara tumpukan barang dan orang-orang yang lalu lalang, dua dunia bertabrakan. Dunia perang Edward dan dunia damai Aurora. Dan untuk pertama kalinya dalam sebulan, Edward merasa seperti dia bisa berhenti berperang, sekalipun hanya untuk beberapa detik.