Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LUKA
Memenangkan hatiku bukanlah satu hal yang mudah.
Kau berhasil membuat ku tak bisa hidup tanpamu.
Suara lagu di salah satu pusat perbelanjaan dari virgoun berjudul bukti mengiringi langkah seorang pemuda bertopi dengan kacamata hitam bertengger di atas hidung mancungnya.
Ardi berjalan sendirian di tengah mall yang begitu ramai dengan pasangan muda-mudi di malam minggu ini. Pandangannya terus mencari sosok Karin yang ia temukan di antara deretan baju-baju dengan pemuda bernama Dewa di sebelahnya.
Sesekali gadis itu terlihat tertawa, menyadari hal itu bukan untuknya, dan juga bukan karena dirinya, Ardi jadi kesal sendiri.
Dan membuntuti seorang perempuan sedang berkencan dengan pacarnya sebenarnya tidak pernah tertulis dalam kamus sejarah hidup seorang Ardian Rahaditya. Sialaan, kenapa dia bisa jadi sebucin ini Ya Tuhan.
Ardi reflek berbalik saat Karin menoleh ke arahnya. Pemuda itu jadi sibuk memilih-milih dagangan di sekitarnya.
Dan seorang mbak penjaga toko menghampirinya dengan menahan senyum. "Cari apa Kak?" Tanyanya.
Ardi menoleh sekilas, namun kembali fokus mencari sosok Karin yang tampak beranjak pergi. "Ini berapa harganya?" Tanyanya basa-basi, merasa tidak enak sudah ditunggu sedari tadi.
"Boleh kakak, emangnya buat siapa harganya beda-beda sesuai ukuran."
Ardi kembali fokus pada Karin yang tampak memilih kaus laki-laki di ujung sana, dan pertanyaan dari mbak penjaga toko kembali mengalihkan perhatiannya.
"Boleh saya pilihkan, mau yang nomor berapa?"
"Yang gede pokoknya," ucap Ardi kemudian mengalihkan tatapannya pada benda di tangannya, "Astagfirullah." Ardi menyerahkan benda itu pada mbak penjaga toko, "monmaap Mbak, saya salah alamat," ucapnya kemudian beranjak pergi.
"Nggak jadi Kak beli bh nya?" Seru si penjaga toko yang membuat beberapa pengunjung jadi menoleh.
"Nggak Mbak, makasih." Ardi setengah berlari mencari sosok Karin, dan gadis itu tampak tengah mengantri tiket film bioskop.
Di dalam gedung bioskop Ardi menduduki kursi tepat di belakang Dewa dan Karin yang tampak mengobrol entah apa, suasana bioskop yang sudah berubah gelap membuatnya merasa aman.
Film sudah setengah tayang, namun jalan ceritanya seperti apa Ardi tidak mengerti, bahkan tampak tidak peduli, judulnya pun dia tidak tahu. Pemuda itu lebih fokus memperhatikan interaksi dua remaja di hadapannya dengan kesal sendiri.
Ardi menguap, tidak benar-benar menghayati isi cerita membuatnya amat mengantuk, dan menyadari kepala Dewa yang begitu dekat dengan gadis yang duduk di kursi sebelahnya dia jadi curiga.
Pemuda itu sedikit melongokkan kepala, Karin yang tampak tertidur membuat Dewa dengan leluasa menatap wajah gadis itu dari jarak dekat, hati Ardi begitu panas, semakin panas saat menyaksikan pemuda di hadapannya itu tampak merapikan anak rambut di pipi Karin, kemudian mendekatkan kepala. Brengsek.
Ardi dengan sengaja menendang kursi di hadapannya, membuat Dewa mengurunkan niatnya, pemuda itu menoleh dan Ardi yang berpura-pura tertidur dengan topi menutupi wajahnya membuat Dewa tidak curiga.
Dan membangunkan Karin, Ardi melakukan hal yang sama, menendang kursi gadis itu hingga dia terjaga.
"Maaf Kak Dewa, aku ketiduran," ucap Karin yang sedikit tertangkap di pendengaran Ardi. Mereka terlibat percakapan, dan beberapa saat kemudian keduanya beranjak pergi.
Beberapa jam berputar-putar di pusat perbelanjaan mengikuti Karin yang tengah berkencang dengan pacarnya membuat Ardi merasa lelah, selain fisiknya, hatinya juga teramat lelah.
Pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, mengabaikan hujan deras yang membuat ia basah kuyup. Dingin di permukaan kulitnya tidak juga mampu mendinginkan hatinya yang begitu kepanasan. Membayangkan kedekatan Karin dan Dewa yang ia tinggalkan di sana.
Tetesan air yang menerpa kaca helmnya membuat pandangan Ardi jadi kabur, sorot lampu dari mobil di arah berlawanan membuatnya mengernyit silau, dan tidak menyadari keberadaan lubang di permukaan jalan yang tergenang air membuat ban motornya tergelincir dan oleng. Dia kehilangan keseimbangan.
***
Karin terhenyak di kursi penumpang, dia yang nyaris terlelap kembali terjaga, perasaannya tidak enak.
"Kenapa?" Tanya Dewa di sebelahnya, "kalo mau tidur ya tidur aja," tambahnya lagi.
Karin menggeleng, "enggak Kak, masa kakak lagi nyetir aku enak-enakan tidur."
Dewa tertawa pelan, mereka pun terlibat beberapa percakapan, hingga suasana ramai di tengah jalan membuat pemuda itu memelankan laju kendaraannya.
"Ada apa si?" Tanya Karin.
"Kayaknya ada yang kecelakaan." Dewa menjawab setelah itu membuka kaca jendela, bertanya pada bapak-bapak yang lewat di hadapannya. "Ada apa Pak?"
"Kecelakaan, Mas. Motor gede ketabrak mobil," ucap si bapak tampak ngeri sendiri.
Bang Ar? Karin reflek membuka pintu mobil dan berlari keluar, membuat Dewa kebingungan.
Beruntung hujan yang beberapa saat lalu sempat deras kini berganti gerimis, Karin ikut menyeruak kerumunan, menyaksikan seseorang yang digotong beramai-ramai dimasukkan ke dalam mobil ambulans, gadis itu mengusap dadanya, beruntung pria malang yang terlibat kecelakaan itu bukanlah abangnya.
"Kamu kenal?" Tanya Dewa yang juga ikut keluar, berdiri di depan pintu mobilnya, dan kembali duduk di kursi kemudi saat Karin juga masuk ke dalamnya.
"Bukan, Kak, salah orang. Ayo kita pulang."
Sesampainya di rumah, Karin yang sempat melambai saat mobil Dewa beranjak pergi kemudian segera membuka pintu, dan disambut dengan teriakan-teriakan dari abangnya yang berada di ruang keluarga.
"Aduh, Mbak Nenaa, periih."
Melihat itu Karin mengernyit, bukan karena kondisi abangnya yang terlihat mengenaskan dengan baret di pipi, dan beberapa luka di sikut dan lututnya, tapi melihat sang abang yang tampak begitu manja merangkul ibu Marlina yang malah membuatnya ingin tertawa.
"Abang kenapa Bu?" Tanya Karin saat mendekati Marlina, abangnya masih melingkarkan lengannya di perut sang ibu. Menyembunyikan wajahnya di sana, menahan sakit saat kakak perempuannya mengobati luka di bagian kaki.
"Nggak tau, pulang-pulang udah begini," ucap Marlina dengan beruha membersihkan luka di lengan putranya.
Ardi mengangkat kepala, saat merasakan sakit di kakinya, pemuda itu melempar bantal sofa pada sang kakak dengan kesal. "Sakit woy, pelan dikit Mbaknya."
Nena yang tidak sabaran balik melempar pemuda itu dengan bantal yang sama dua kali, dan yang terakhir malah membenamkan bantal ketiga ke wajah sang adik dengan begitu gemas.
"Matiin aja gue sekalian." Omel Ardi. Nena beranjak berdiri, menyerahkan betadin dan beberapa kain kasa pada Karin yang jadi mengerjap bingung.
"Kamu aja yang obatin," ucapnya pada Karin. "Udah bagus gue tolongin, malah ngomel terus." Nena beranjak pergi setelah menoyor kepala sang adik.
Marlina yang tidak lagi digelayuti oleh putranya ikut beranjak dengan membawa mangkuk berisi air hangat dan handuk kecil. "Tinggal pakein perban ya Karin, ibu lagi ngangetin rendang dulu di dapur."
Karin mendudukan dirinya di sofa sebelah abangnya yang tampak sibuk mengelap luka di sikut sebelah kiri dengan kapas.
"Abang jatoh di mana?" Tanya Karin, melipat kain kasa dan menaruh beberapa tetes cairan betadin di sana.
"Di kamar mandi."
"Masa jatoh di kamar mandi sampe kaya gini?" Karin tampak tidak percaya.
Sekilas Karin melihat sang abang memberikan tatapan yang tidak terlalu bisa ia baca, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Tatapan itu tampak sendu.
"Bukan jatoh di kamar mandi." Nena yang baru dari dapur mengambil botol susu si kembar menyahut. "Tadi dia pulang basah kuyup, ujan-ujanan, mana berdarah-darah lagi. Persis anak stm pulang tauran abis di siram gas air mata. Matanya aja sampe merah." Nena bercerita setengah meledek.
"Berisik lo!" Omel Ardi yang kemudian ditinggal pergi oleh kakak perempuannya itu. Kini mereka hanya berdua.
Karin berdehem canggung, "ini Karin tempelin ya, Bang. Tahan dikit," ucapnya, kemudian menempelkan perban di sikut yang membuat Ardi sedikit mengernyit.
"Lo tadi ngapain aja?" Tanya Ardi yang membuat Karin mengalihkan pandangan dari luka di hadapannya ke mata pemuda itu.
"Cuma jalan-jalan, abis itu nonton, makan, udah."
"Seneng dong," sindir Ardi yang membuat Karin tersenyum.
"Biasa aja."
Ardi menggerakkan kakinya dengan hati-hati, kemudian beranjak berdiri dan dengan terpincang melangkah menuju kamarnya, di belakang Karin tampak mengikuti dengan canggung.
"Abang perlu bantuan?"
"Nggak usah gue bisa sendiri." Ardi menolak dengan terus melangkah.
Karin membantu membukakan pintu kamar Ardi, dan sedikit merapikan kasur pemuda itu sebelum sang abang merebahkan diri di sana.
Kemudian ia melihat pemuda itu naik ke atas kasur, dan berbaring memunggunginya, entah kenapa dia jadi sedih, sebelumnya dengan sang abang tidak pernah dia secanggung ini.
Karin berbalik tanpa mengucapkan selamat malam, bahkan berpesan untuk tidur dengan nyenyak pun entah kenapa untuk saat ini dia tidak berani.
"Karin."
Dan panggilan Ardi membuat ia menghentikan langkahnya, kemudian berbalik.
"Ada yang gue lupa." Ardi berucap setelah mendudukan dirinya. Menyuruh gadis itu untuk mendekat.
Karin duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan pemuda itu, "apa?" Tanyanya.
Ardi tidak menjawab, hanya menarik tengkuk gadis itu dan mendaratkan ciuman di bibir, melumatnya dengan lembut.
Sesaat Karin sempat terkejut, namun setelah bisa menguasai diri, dia meraih kaus pemuda itu dan sedikit menariknya, kali ini dia sudah mulai bisa membalas, yang malah membuat Ardi jadi terdiam.
Ardi memberikan tatapan tak terbaca saat keduanya mulai membuat jarak, "sesuai perjanjian, gue bakal hapus bekas orang lain di sini," ucap Ardi sembari menyapukan ibu jarinya di bibir gadis itu.
Karin berdecak, menyingkirkan tangan pemuda itu pelan, "sayangnya nggak ada bekas orang lain selain abang sendiri."
Ardi tersenyum, "tapi lo pinter sekarang," pujinya yang membuat pipi gadis di hadapannya bersemu. "Lo pacaran sama Dewa, ciumannya sama gue, yakin bisa setia?"
"Abang juga sama, pacarannya sama Mbak Nadia tapi–,"
"Gue udah putus," potong Ardi yang membuat Karin terdiam, "jangan pernah putusin Dewa cuman karena gue sebagai alasannya, mungkin lo nggak ada rasa sama anak itu, tapi bagaimanapun juga tetap ada hati yang perlu dijaga, jangan sampe dia kecewa."
"Kalo Karin disuruh buat jaga perasaan Dewa, Kenapa abang godain Karin terus?"
Ardi tertawa pelan, "anggep aja gue setan," ucapnya. "Setan yang tampan," tambahnya lagi yang mendapat tabokan di lengan, dan pemuda itu mengaduh kesakitan.
"Setan tampan yang nangis cuma gara-gara jatoh dari motor," ledek Karin.
"Siapa yang nangis?"
"Ngaku aja lah, Bang, kalo abang tuh, manja terus cengeng tau nggak."
Ardi melengos, "enak aja, gue tuh nangis bukan karena jatoh dari motor," sangkalnya.
"Terus kenapa?"
"Karena lo jalan sama Dewa."
Karin sontak tertawa, "masa iya?" Tanyanya tidak percaya.
"Beneran, serius, Dek."
"Jangan serius-serius dulu, Bang. Karin belum siap, masih sekolah."
"Anak setaan."
Keduanya kembali seperti biasa, berdebat seperti sebelumnya, berharap sama seperti apa yang mereka inginkan, terkadang Tuhan memberikan jalan.
Ini mereka diendorse sama tukang jus gue rasa 🤣🤣
***iklan**
Author: Makasih buat kalian yang masih setia sama komentar gokilnya. Aku sayang kalian. Ikutin terus Ardi Karin ya. Tolong sabar buat nunggu kelanjutannya, author juga nggak mau dibilang ngasih episode yg garing karena maksain nulis tanpa inspirasi. 🤣🤣🤣