Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 31
Malam semakin larut.
Cahaya lilin di kamar besar itu sudah hampir padam, hanya menyisakan sinar redup yang menyorot lembut pada tirai sutra merah muda di sekitar ranjang.
Suasana begitu tenang, tapi hati dua orang yang berada di dalam ruangan itu justru tidak.
Shen Hao masih duduk di ujung tempat tidur, pandangannya menatap lantai tanpa arah.
Pakaian upacara yang ia kenakan kini sudah diganti dengan jubah santai yang disediakan, namun tubuhnya terasa tegang sejak tadi.
Ia tahu apa yang seharusnya terjadi pada malam pernikahan — tapi pikiran itu justru membuatnya semakin gugup.
Di sisi lain, Mei Xian’er masih diam di tepi tempat tidur, rambut hitam panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang diterpa cahaya lilin.
Ia tampak tenang dari luar, tapi jauh di dalam hatinya, perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan terus bergolak.
Ia, yang selama berabad-abad menjadi sosok paling kuat dan paling disegani, baru kali ini merasakan sesuatu seperti ini — kegelisahan, kebingungan, dan sedikit… takut.
“Shen Hao,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan lembut yang terhempas di udara.
Pria itu menoleh, sedikit kaget karena keheningan tiba-tiba pecah.
“Ya?”
Mei Xian’er menatapnya, seolah mencari kata-kata yang tepat.
“Kau tahu… malam ini, kita tidak perlu memaksakan apa pun.”
Shen Hao menatapnya dengan tatapan kosong selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas lega.
“Aku sangat bersyukur kau yang mengatakannya duluan.”
Ia tersenyum canggung, berusaha mencairkan suasana.
“Kalau aku yang bilang duluan, aku takut para Penatua Agung tiba-tiba muncul dari bayangan dan mencabut jantungku karena dianggap tidak menghormati tradisi.”
Mei Xian’er menunduk, menahan tawa kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya.
Tawa lembut itu — sesuatu yang sangat jarang terdengar dari sosoknya — membuat suasana hening di ruangan terasa jauh lebih ringan.
“Mereka memang akan melakukan itu,” katanya lirih, lalu menatap Shen Hao dengan senyum samar. “Tapi aku juga tidak siap. Aku tidak ingin sesuatu yang seharusnya berawal dengan ketenangan… dimulai dengan keterpaksaan.”
Shen Hao menatapnya dengan serius kali ini.
“Aku mengerti. Aku tidak ingin menjadi alasan kau merasa menyesal atas keputusanmu.”
Ucapan sederhana itu membuat Xian’er terdiam.
Ada ketulusan di sana — bukan hanya rasa hormat, tapi juga kesadaran diri yang tulus.
Ia tahu pria di depannya itu bukan orang biasa. Meskipun masih berada di ranah rendah, hatinya memiliki ketenangan yang bahkan jarang ditemui di kalangan kultivator tingkat tinggi.
Mei Xian’er menghela napas pelan, lalu bangkit dan berjalan ke sisi tempat tidur yang besar itu.
“Kalau begitu, tidurlah di sana. Aku tidak akan menggigitmu.”
Shen Hao menatapnya dengan ekspresi campuran antara lega dan waswas.
“Kau yakin tidak akan mengubah pikiranmu di tengah malam? Karena aku tidak ingin bangun dalam keadaan jadi abu.”
Mei Xian’er hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, kemudian berbaring menghadap sisi jendela.
Suara halus kain sutra berdesir ketika ia menutup dirinya dengan selimut.
Shen Hao pun akhirnya merebahkan diri di sisi berlawanan, menjaga jarak secukupnya.
Hening.
Yang terdengar hanya detak jantung yang entah milik siapa, dan hembusan napas dua manusia yang sama-sama belajar menenangkan diri.
Di tengah keheningan itu, pikiran mereka berdua melayang ke arah yang sama.
Mei Xian’er menatap jendela, berpikir bahwa untuk pertama kalinya, ia ingin menjalani sesuatu dengan perlahan.
Sementara Shen Hao, menatap langit-langit, berjanji dalam hati — untuk tidak mengkhianati kepercayaan yang baru saja diberikan padanya.
Malam itu, tidak ada yang terjadi.
Tidak ada sentuhan, tidak ada kata manis berlebihan, hanya dua hati yang diam-diam mulai berirama selaras di bawah langit yang sama.
---
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai sutra merah muda dan jatuh lembut di atas kasur besar berlapis selimut sutra.
Udara masih terasa sejuk, disertai aroma wangi bunga spiritual yang diletakkan di pojok ruangan.
Shen Hao membuka matanya perlahan.
Sekilas, ia masih setengah sadar — matanya berat, pikirannya kosong, tubuhnya terasa hangat... terlalu hangat.
Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar: ada sesuatu — atau seseorang — yang bersandar di dadanya.
Refleks, ia menunduk.
Dan saat itu juga, jantungnya langsung berdegup kencang.
Di sana, Mei Xian’er, sang pemimpin Crimson Moon Sect, tertidur tenang dalam pelukannya.
Kepalanya bersandar tepat di lengannya — yang entah sejak kapan dijadikan bantal oleh wanita itu.
Sementara salah satu tangan Xian’er melingkar pelan di pinggangnya, seolah secara alami mencari kehangatan di tengah tidur.
Wajahnya begitu dekat.
Begitu dekat hingga napas lembutnya menyentuh kulit leher Shen Hao.
Rambut hitam legamnya terurai di dada pria itu, sebagian menutupi wajahnya yang tampak damai tanpa lapisan riasan sedikit pun.
Dan justru karena itu — ia terlihat lebih memesona dari sebelumnya.
“...Astaga,” bisik Shen Hao pelan, hampir tidak bersuara.
Wajahnya memerah dalam sekejap.
Ia menelan ludah dengan susah payah, merasa seluruh tubuhnya menegang.
Ia ingin bangun.
Ingin segera menjauh agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Namun begitu ia mencoba menggerakkan lengan yang dijadikan bantal itu — ia langsung berhenti.
Xian’er mengerutkan kening sedikit, lalu semakin menekan kepalanya di dada Shen Hao, seperti seseorang yang enggan kehilangan posisi nyaman dalam tidurnya.
Shen Hao menatap ke langit-langit dengan ekspresi pasrah.
“Ya Tuhan… kalau aku bergerak, aku mati. Kalau aku tidak bergerak, aku juga bisa mati…”
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Namun setiap kali matanya kembali turun menatap wajah wanita itu — garis halus bibirnya, bulu matanya yang panjang, kulitnya yang lembut — dadanya berdegup makin cepat.
“Dia… bahkan saat tidur pun kelihatan menakutkan dan cantik sekaligus,” gumamnya pelan.
Tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Ada sesuatu yang aneh — perasaan hangat, campur kagum, campur panik yang entah bagaimana membuatnya tidak ingin bergerak sama sekali.
Namun kesadaran segera kembali. Ia meneguk ludah dan — dengan tangan satunya yang masih bebas — menampar pipinya sendiri dengan pelan.
Plak!
Suara itu cukup keras untuk membuat beberapa burung spiritual di luar jendela beterbangan.
“Tidak! Tidak boleh! Ingat, Shen Hao, jangan melewati batas!” gumamnya dengan ekspresi panik.
Namun sayangnya, suara tamparan itu juga membuat Mei Xian’er sedikit bergerak.
Matanya perlahan terbuka, kelopak matanya yang panjang bergetar halus.
Ia menatap wajah Shen Hao yang kaku seperti patung, dan menyadari posisi mereka.
Beberapa detik keheningan terasa seperti berabad-abad.
Tatapan mereka bertemu — mata ungu Shen Hao dan mata merah tua Mei Xian’er hanya terpisah sejengkal.
Mei Xian’er diam sejenak, lalu perlahan menegakkan tubuhnya.
“Kau bangun lebih cepat dari yang kukira,” ucapnya tenang, nada suaranya datar tapi wajahnya sedikit bersemu.
Shen Hao hanya bisa terkekeh gugup.
“Kalau aku tidak bangun cepat, mungkin aku tidak akan bangun selamanya...”
Mei Xian’er menatapnya heran.
“Kenapa?”
Shen Hao menunduk cepat, pura-pura mengusap tengkuknya.
“Tidak, tidak apa-apa… hanya... mungkin paru-paruku hampir berhenti bernapas karena… keindahan dunia yang terlalu dekat.”
Kata-kata itu spontan keluar tanpa ia pikirkan.
Dan saat ia menyadarinya, wajahnya langsung memerah seperti tomat.
Mei Xian’er menatapnya beberapa detik — lalu mengalihkan pandangan dengan senyum samar di ujung bibirnya.
“Kau benar-benar pandai berbicara, Shen Hao.”
Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah dengan anggun menuju meja di sisi ruangan.
Rambut panjangnya melambai lembut di belakang, dan dalam hati Shen Hao hanya bisa mengeluh pelan.
“Tolong… hentikan cobaan pagi-pagi seperti ini.”