Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Arvenzo tertusuk
“Lihat dirimu sekarang,” kata Leona, suaranya tajam, “Istri sempurna Arvenzo Wardhana... Kamu pikir kamu menang, Velora? Tidak. kamu hanya alat. Dia akan kembali padaku!”
Velora menahan napas, meski wajahnya memerah karena tamparan yang baru saja diterimanya. “Kalau kamu benar-benar mencintainya, kamu tidak akan menyakitinya dengan cara ini.”
Leona tertawa miring, matanya penuh air mata bercampur amarah. “Cinta membuatku hancur. Dan sekarang, aku akan pastikan dia hancur juga.”
Di luar, suara deru mobil mewah berhenti mendadak. Pintu dibanting, langkah-langkah berat bergema. Pintu gudang didobrak dengan sekali tendang. Arvenzo berdiri di ambang pintu, jas kasualnya masih rapi meski napasnya memburu, matanya menyala penuh kemarahan.
“LEONA!!!” suaranya menggelegar, menggema ke seluruh ruangan.
Velora menoleh cepat, matanya langsung berkaca-kaca. “Arven...” panggilnya lirih, lega sekaligus takut. Leona langsung berlari untuk bersembunyi.
Anak buah Arvenzo segera bergerak, melumpuhkan dua orang yang berjaga. Tomi berlari mengikuti, namun Arvenzo sudah berjalan lurus ke arah Velora, wajahnya dingin tapi paniknya jelas.
Dengan tangan bergetar, ia meraih tali yang mengikat Velora dan melepaskannya. “Kamu nggak apa-apa?” suaranya rendah tapi penuh tekanan, seolah ia sedang menahan badai dalam dadanya.
Velora mengangguk, air matanya jatuh. “Aku baik-baik saja, tapi--”
Belum sempat kalimat itu selesai, jeritan Leona yang keluar dari tempat persembunyiannya memecah udara. “JANGAN DEKATI DIA!!!”
Dengan mata liar, Leona meraih pisau dari lantai dan melompat menyerang.
“Arvenzo, awas!” teriak Velora.
Arvenzo refleks memeluk Velora, memutarnya ke belakang tubuhnya. Pisau itu menembus sisi perutnya, membuat darah hangat langsung mengalir deras.
“Arven!” teriak Velora histeris.
Arvenzo meringis, tapi tidak melepaskan Velora. Dengan satu hentakan, ia menendang keras tubuh Leona hingga wanita itu terjatuh menghantam lantai. Anak buahnya segera mengamankan Leona, merampas pisaunya dan memborgolnya meski Leona masih menjerit histeris.
Velora menatap darah yang membasahi baju Arvenzo, tangannya gemetar. “Kamu berdarah! Ya Tuhan, kamu--”
Arvenzo menahan wajahnya agar tetap tenang, meski keringat dingin membasahi pelipis. “Jangan nangis... aku baik-baik saja.” Suaranya serak, jelas menahan sakit.
“Baik-baik saja, gimana?! Kamu terluka parah!” Velora menggenggam wajahnya, air mata mengalir deras.
Tomi panik. “Tuan Arven, kita harus segera keluar! Luka Anda serius!”
Arvenzo memejamkan mata sesaat, mencoba menahan pandangannya agar tidak gelap. Tapi saat ia membuka mata lagi, ia langsung mencari tatapan Velora. “Yang penting kamu aman... aku nggak peduli lukaku.”
Velora menggeleng keras. “Aku nggak mau kehilanganmu. Jangan sok kuat, Ar... Tolong!”
Ada sejenak keheningan. Darah terus menetes, membasahi lantai. Tapi Arvenzo memaksa berdiri tegak. Dengan satu tarikan napas berat, ia melepaskan pelukannya perlahan, lalu menggenggam tangan Velora erat.
“Kita keluar bersama.”
Velora menahan tangis, membantu menopang tubuh Arvenzo. Setiap langkahnya berat, darahnya meninggalkan jejak di lantai gudang, tapi ia menolak jatuh.
Di depan pintu, tubuh Arvenzo goyah. Velora menjerit kecil, panik menopangnya. “Ar! Kamu nggak kuat! Jangan paksakan!”
Arvenzo menatapnya dalam, matanya berkilat meski wajahnya pucat. “Aku nggak akan biarkan kamu keluar sendirian. Aku janji.”
Begitu mereka tiba di luar gudang, udara malam menusuk. Ambulans yang dipanggil Tomi sudah menunggu. Anak buah Arvenzo segera membuka pintu belakang, namun Arvenzo tiba-tiba melemah. Lututnya goyah dan ia hampir terjatuh.
“Arven!!!” Velora menahan tubuhnya, tapi jelas kekuatannya tak cukup.
Tomi berlari, membantu. “Cepat, baringkan dia! Luka tusukannya dalam!” suruhnya ke anak buah dan tim medis.
Velora terus menangis, menggenggam tangan Arvenzo yang dingin. “Bertahan, Ar. Jangan tinggalin aku, aku mohon...”
Arvenzo berusaha tersenyum tipis, meski bibirnya pucat. “Aku masih di sini karena kamu.”
Tangannya melemah, tapi genggamannya pada Velora tetap ada, seakan itu satu-satunya yang membuatnya bertahan.
Sirene ambulans meraung menembus malam, memecah keheningan jalanan yang basah oleh hujan gerimis. Di dalamnya, suasana kacau penuh panik. Arvenzo terbaring di atas brankar, oksigen dipasang di hidungnya, perutnya dibalut perban yang sudah merah oleh darah.
Velora duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Arvenzo yang dingin. Air matanya tak berhenti jatuh, matanya sembab.
“Ar... tahan sebentar lagi. Kita hampir sampai,” suaranya parau, penuh isakan.
Arvenzo berusaha membuka mata, menatap wajah Velora yang kabur oleh rasa sakit. Senyum samar muncul di bibir pucatnya. “Aku nggak akan kemana-mana. Kamu jangan takut.”
Velora menunduk, mencium punggung tangannya. “Jangan bicara banyak. Tolong bertahan untukku.”
Begitu ambulans berhenti di depan Prima Citra Hospital, para dokter dan perawat sudah bersiap. Pintu belakang dibuka, brankar diturunkan cepat.
“Pasien laki-laki, luka tusuk di perut bagian kiri! Tekanan darah turun! Siapkan ruang operasi sekarang!” salah satu dokter berteriak.
Velora ikut berlari di samping brankar, meski tubuhnya sendiri masih lemah akibat kecelakaan sebelumnya. “Tolong selamatkan dia!” jeritnya. “Dia kehilangan banyak darah!”
Seorang perawat mencoba menahannya. “Dokter Velora, Anda tidak boleh masuk ke ruang operasi--”
“Aku istrinya!” Velora berteriak histeris, matanya penuh air mata. “Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian!”
Arvenzo yang setengah sadar merasakan suara Velora. Ia meraih tangan istrinya lemah. “Vel...” gumamnya lirih. “Jangan takut, aku kuat...”
Velora semakin menangis. “Kamu harus kuat, Ar. Kamu nggak boleh tinggalin aku...”
Dokter akhirnya menarik Velora perlahan. “Kami akan melakukan yang terbaik. Mohon beri kami ruang.”
Brankar pun meluncur masuk ke ruang operasi, pintunya tertutup rapat dengan bunyi keras. Velora jatuh terduduk di lantai koridor, tubuhnya bergetar. Tomi datang menghampiri, wajahnya penuh rasa bersalah.
“Nyonya Velora...” suara Tomi serak. “Maafkan saya. Saya seharusnya menjaga beliau lebih baik.”
Velora menggeleng, air matanya jatuh deras. “Bukan salahmu, Tom... ini semua salah Leona.”
Tak lama, keluarga Wardhana segera datang. Mela berlari dengan wajah panik, langsung meraih Velora yang masih pucat.
“Velora, sayang, bagaimana kondisi Arven?!” suara Mela bergetar.
Velora langsung menangis di pelukan mertuanya. “Mama... dia... dia kehilangan banyak darah.”
Pradipta menahan amarah sekaligus paniknya. “Siapa yang berani menyentuh anakku sampai seperti ini?”
Velora terisak, matanya merah. “Leona, Pa... dia yang melakukannya…”
Semua mata terbelalak. Wardhana mengepalkan tangannya kuat, wajahnya gelap. “Perempuan itu sudah kelewatan. Aku akan pastikan dia membayar semua perbuatannya kepada cucuku!”
Di balik pintu ruang operasi, lampu merah tetap menyala. Waktu berjalan sangat lambat bagi Velora. Setiap detik, hatinya dipenuhi doa. Tuhan, selamatkan dia. Jangan biarkan aku kehilangan dia, bukan sekarang, bukan dengan cara ini.
Dadanya sesak, seperti ada lubang besar yang siap merenggut dirinya jika Arvenzo tidak kembali dengan selamat. Rasa takut itu begitu dalam, menusuk hingga ke tulang. Ia baru menyadari paniknya, tangisnya, rasa tak sanggup membayangkan hidup tanpa Arvenzo semua itu lahir dari sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan pernikahan semu.
Velora menggenggam erat jemarinya sendiri, tubuhnya bergetar. Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa aku begitu takut kehilangannya?
Air matanya kembali jatuh deras. Dan di lubuk hatinya yang paling dalam, sebuah kenyataan perlahan terbentuk, mungkin tanpa ia sadari, ia telah mulai menyayangi pria itu.
Mungkin ini pertanda bahwa hatinya perlahan membuka ruang untuk Arvenzo bukan hanya sebagai suami di atas kertas, tapi sebagai seseorang yang benar-benar ia takutkan untuk kehilangan. Dan bayangan tentang Ethan mulai hilang perlahan.
......................
Kalian bisa juga mampir ke novel:
Nama pena : Shalema
Judul : Cinta yang Terjeda
Ceritanya tak kalah seru dan menarik😍
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭