Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Hoek!"
Wulan memuntahkan seteguk darah hitam setelah menghabiskan minuman itu. Juragan Nata yang melihat menjadi panik, tapi bingung harus melakukan apa. Memanggil dukun tidak semudah itu.
"Bi Sumi, panggil Mbah Kari, cepat!" titahnya dengan panik.
"Tunggu, Bi! Jangan!" sergah Wulan dengan suara lemah dan napas terengah-engah.
Teluh apa yang dikirim Ratih? Begitu kuat padahal benda itu sudah dibakar.
Wulan bergumam di dalam hati.
"Wulan!" Juragan membantunya untuk duduk.
"Tidak apa-apa, Juragan. Saya baik-baik saja, ini reaksi normal karena racun di tubuh saya," ucap Wulan berbohong.
Dahi juragan mengernyit, mengingat Wulan baik-baik saja saat di pesta tadi.
"Racun? Siapa yang berani meracuni istri saya?" geram juragan, suaranya yang lembut berubah menyeramkan. Wulan sampai bergidik ngeri.
"Bukan, Juragan. I-ini dari gunung," ucap Wulan dengan kepala tertunduk.
Juragan menghela napas dalam-dalam. Membaringkan Wulan di ranjangnya. Mengusap keringat yang bermunculan di wajah ayu itu dengan sentuhan lembut.
"Kamu tidur saja. Saya akan pergi ke ruang kerja. Mungkin akan tidur di sana," katanya sembari mengusap rambut Wulan.
"Tapi, Juragan. Ini adalah malam pengantin Juragan dan Neng Wulan, tidak baik kalau tidur terpisah," ujar Bi Sumi menatap kasihan pada Wulan.
Esok pasti akan menjadi buah bibir orang-orang di seluruh istana Nagari. Setelahnya, pasti akan menyebar di seluruh penduduk desa Munding. Membayangkan itu, Wulan sudah pasti akan menjadi bahan cibiran orang-orang.
"Bibi ada benarnya juga. Nanti saya akan kembali setelah menyelesaikan urusan," katanya seraya beranjak dari ranjang.
"Sudah malam begini, sebaiknya jangan menerima tamu. Siapapun itu!" titah sang juragan kepada Bi Sumi sebelum pergi dari kamar Wulan.
"Baik, Juragan." Bi Sumi mengangguk patuh, segera mengunci pintu dan mematikan damar. Menandakan penghuni kamar telah tertidur.
****
"Bagaimana? Kamu sudah mendapat kabar tentang gundik itu?" tanya Ratih kepada dayangnya.
"Maafkan saya, Nyai. Saya tidak bisa mencari tahu karena kamar perempuan itu dijaga ketat," jawab dayangnya Ratih penuh sesal.
Ratih mendengus, membanting sisir di meja rias kesal. Akan tetapi, kemudian dia menghela napas dan tersenyum.
"Tidak apa-apa. Besok kita akan mencari tahu sendiri dari Lastri dan Nengsih. Mereka yang akan membawa kabar untuk kita," katanya seraya beranjak dari hadapan cermin dan pergi ke ranjangnya.
Lampu dimatikan, dayang-dayang duduk di kursi kayu menjaganya.
****
"Juragan!" Kang Sumar menyambut kedatangan majikannya.
Keduanya masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi buku-buku kuno. Ruang kerja juragan yang tidak mengizinkan siapapun untuk masuk tanpa izinnya.
"Panji!" Juragan Nata memanggil seseorang.
Satu sosok pemuda dengan pakaian serba hitam muncul entah dari mana.
"Saya, Juragan!" Ia membungkuk di hadapan juragan.
"Panji, cari tahu tentang kehidupan Wulan di gunung Munding. Racun apa yang dibawanya dari sana, dan apakah berpengaruh pada kesehatannya. Saya ingin semua informasi ini secepatnya!" ujar juragan Nata dengan tegas dan tak ingin bantahan.
"Baik, Juragan!" Panji menyanggupi.
"Tapi setahu saya, gunung Munding dipenuhi binatang buas dan berbisa. Bagaimana selama ini neng Wulan bisa bertahan hidup di sana?" ucap Kang Sumar merasa bingung sendiri.
"Itulah yang harus kamu cari, Panji! Besok bawalah beberapa orang untuk menyelidiki gunung itu. Rasanya tidak mungkin dia tinggal sendirian di gunung itu," ucap juragan Nata sembari berpikir dalam tentang kehidupan Wulan di gunung yang tak terjamah manusia itu.
"Baik, Juragan!' Panji berucap tegas, lalu kembali menghilang dalam sekejap mata.
Kang Sumar melanjutkan obrolan dengan laporan-laporan keuangan dari semua bisnis yang dijalankan juragan Nata.
Kebun teh, ladang padi, dan sayuran, juga gudang beras, dan ladang cabai miliknya. Juragan merasa puas dengan laporan tersebut. Semuanya tertata dengan rapih dan jelas.
"Baiklah. Terus pantau semuanya, cuma kamu yang saya percaya, Sumar. Tolong, jangan khianati saya," ucap juragan menekankan kata terakhirnya.
Kang Sumar menjatuhkan diri berlutut di hadapan juragan. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menepis rasa gugup dan takut.
"Baik, Juragan. Saya berjanji tidak akan pernah berkhianat kepada Juragan. Jika saya melakukan itu, maka nyawa saya dan keluarga saya adalah taruhannya," janji Kang Sumar tidak main-main.
Juragan Nata puas mendengar sumpah itu. Kang Sumar, Panji, dan Bi Sumi adalah tiga orang yang paling dipercaya juragan di seluruh desa Munding. Ia mengangguk sambil tersenyum.
"Sepertinya ada yang tidak beres di istana ini, Sumar. Setiap malam saya selalu merasa kepanasan," ucap juragan diakhiri helaan napasnya yang panjang.
"Saya akan mencari tahu, Juragan!" Kang Sumar akan menyelidiki istana Nagari itu.
"Mungkinkah ...."
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa