Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 34
“Putri, Yang Mulia Raja ingin menemuimu di kediamannya,” ucap pelayan dengan suara tenang, membungkuk dalam.
“Yang Mulia ingin menemuiku?” ulang Liora perlahan.
“Iya, Putri.”
“Baiklah. Aku akan beristirahat dulu, setelah itu aku akan ke kediaman Yang Mulia.”
Pelayan itu menunduk lalu meninggalkan ruangan, meninggalkan Liora seorang diri.
Liora menatap ke arah jendela tinggi kamarnya. Langit Azzarkh selalu redup, seperti senja yang tak pernah usai. Ia memejamkan mata, mencoba memanggil Raja lewat batinnya.
Yang Mulia… apa kau yang memintaku datang?
Tak ada jawaban.
Sunyi.
Hanya hembusan udara dingin yang mengusap kulitnya.
Yang Mulia… kau mendengarku?
Masih tak ada sahutan.
Liora menghela napas, lalu berdiri, gaunnya menjuntai lembut di lantai batu hitam. Ia memutuskan untuk menemui Raja sendiri.
“Putri, kau hendak ke mana?” tanya Dreya yang baru saja tiba, membawa gulungan kain dari Nyonya West.
“Aku ingin ke kediaman Raja,” jawab Liora tanpa ragu.
“Aku akan menemanimu.”
“Tidak perlu, Dreya. Kau istirahat saja,” ucap Liora lembut.
“Tapi...”
“Menurut saja. Meskipun kau makhluk gaib, kau juga butuh istirahat. Aku tak mau kau berakhir seperti Yang Mulia, sakit tapi tetap keras kepala.”
Dreya hanya menunduk, pasrah.
Liora pun melangkah pergi, menembus lorong batu berukir lambang Azzarkh.
Ketika tiba di kediaman Raja, penjaga membungkuk dan membiarkannya masuk. Di dalam, Azrakel duduk tenang di kursi hitam berhias obsidian, menatap nyala api biru di tungku.
“Yang Mulia… apakah benar kau memintaku datang?”
Azrakel menoleh, mata hitamnya berkilat lembut. “Ya.”
“Kenapa kau ingin menemuiku? Apa yang ingin kau katakan?”
“Kenapa nada suaramu seperti seseorang yang datang dengan terpaksa, Putri?” tanya Raja, datar namun tajam. “Apa kau tak suka menemuiku?”
Liora menunduk cepat. “Bukan begitu, Yang Mulia.”
“Tapi… tadi aku memanggilmu lewat hati,” ujarnya perlahan, “namun kau tak menjawab.”
“Aku mendengar.”
“Lalu kenapa kau diam?”
“Karena aku ingin bicara langsung denganmu.”
Liora terpaku. “Bicara… apa?”
Azrakel hanya tersenyum tipis. Ia duduk lebih santai, mengambil cangkir perak berisi teh hijau Azzarkh, menyeruputnya perlahan.
“Katamu aku ingin bicara,” ujarnya tenang. “Benarkah aku mengatakan itu?”
Nada santainya membuat darah Liora naik.
“Yang Mulia… apa kau sengaja ingin memancing kemarahanku?”
Azrakel tersenyum samar. “Aku tidak suka memancing. Tapi aku suka melihat wajahmu ketika marah.”
“Yang Mulia!” seru Liora, memerah.
Raja tertawa pelan. “Duduklah. Temani aku minum.”
Ia menuangkan teh ke dalam cangkir kecil, uapnya beraroma lembut seperti daun kering terbakar.
“Nyonya West akhir-akhir ini sibuk, tak ada yang menemaniku,” katanya pelan. “Kau tahu… istana ini terasa terlalu sunyi.”
Liora menatapnya dengan dahi berkerut. “Apa yang ia lakukan? Dreya dan Vaelis pun membantunya belakangan ini.”
“Apakah kau selalu ingin tahu apa yang dilakukan semua orang, Putri Liora?” tanya Azrakel dengan nada menggoda.
“Ya, aku memang ingin tahu. Kenapa? Apa kau tak suka?”
Azrakel menatapnya lama, lalu tersenyum samar.
“Bagaimanapun dirimu… aku tetap menyukaimu.”
Kata itu menembus dinding hatinya seperti sihir halus.
Liora menunduk, tak mampu menatap matanya lebih lama.
*****
Keesokan paginya, dunia manusia menyambutnya dengan sinar matahari yang pucat. Udara kota lembap, berbeda jauh dari Azzarkh.
Liora berdiri di depan gerbang kampus, merapikan seragamnya. Rambut hitamnya sedikit menutupi mata, menyembunyikan kantuk dan sesuatu yang lain, sisa bayangan mimpi dari dunia bawah.
“Liora!”
Suara Yudha memanggil dari belakang. Ia berlari kecil, tas tersampir di satu bahu.
“Dari tadi?” tanyanya.
“Baru,” jawab Liora singkat.
“Ngomong-ngomong… kamu tiap pagi teleportasi ya?”
Liora menatapnya datar. “Maksudmu?”
“Ya… aku gak pernah lihat kamu datang lewat gerbang. Tiba-tiba udah ada aja.”
Liora hanya tersenyum kecil. “Kau pikir aku malaikat?”
Yudha tertawa. “Enggak. Tapi kalau iya juga aku gak kaget.”
Mereka berjalan bersama menuju kelas, bertemu Dinda yang sudah menunggu di tangga. “Hai kalian berdua!” sapa Dinda ceria.
Namun begitu mereka melewati halaman, suara cempreng memotong udara.
“Lihat, trio aneh datang lagi.”
Serena bersandar di tembok, bersama dua temannya.
Dinda mendengus. “Ada aja yang iri tiap pagi.”
“Udah, Dis,” ucap Liora pelan. “Anjing menggonggong, karavan tetap lewat.”
Ucapan itu membuat Serena mendongak dengan mata tajam. “Apa kau bilang aku anjing?”
Liora berbalik, menatapnya datar. “Kalau kau tersinggung, berarti kau sadar siapa yang kumaksud.”
“Dasar....!” Serena hampir melangkah maju, tapi Yudha segera berdiri di antara mereka.
“Sudah. Gak penting,” katanya tenang.
Liora hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke kelas.
Suasana kelas hari itu tidak seperti biasa. Semua siswa sibuk berbisik, membicarakan berita yang baru tersebar pagi ini.
seseorang ditemukan tewas di kampus lain, dengan luka aneh di dada dan bekas darah kering di dinding.
“Korban katanya dosen dari kampus lain,” ucap salah satu siswa.
“Polisi bilang ini bukan pembunuhan biasa.”
Yudha menatap Liora. “Kamu denger?”
Liora mengangguk. “Aku mendengarnya.”
Sebelum mereka sempat membicarakannya lebih jauh, teriakan memecah udara.
“AAAHHH!!”
Semua orang spontan berdiri. Liora, Yudha, dan Dinda berlari keluar.
Di ujung koridor, di dekat ruang musik, sekelompok siswa mengerumuni sesuatu.
Dan di sana, seorang wanita tergeletak dengan mata terbuka, pupil membesar. Darah mengalir di bawah kepalanya, namun tubuhnya kaku, seolah baru saja dipindahkan dari tempat lain.
Dinda menjerit. “Ya Tuhan...ini....ini bukan mimpi, kan?”
Liora menatap tubuh itu lama. Ada sesuatu yang tidak manusiawi pada luka di dada wanita itu, seperti bekas cakar makhluk asing.
“Ayo pergi dari sini,” ucap Dinda gemetar. “Aku takut…”
Yudha menarik Liora menjauh. “Kau lihat lukanya?” bisiknya.
Liora mengangguk. “Bukan luka biasa.”
Mereka berhenti di taman belakang. Dinda masih terisak, sementara Yudha berbicara pelan, serius.
“Aku rasa pembunuhnya bukan dari sini.”
“Maksudmu?”
“Dia gak bunuh mereka di kampus ini. Dia bawa mayatnya ke sini setelahnya.”
Liora menatap Yudha, bulu kuduknya berdiri. “Dari mana kau tahu?”
“Posisi darah. Bekuannya gak cocok sama waktu ditemukannya mayat. Aku yakin mereka dibunuh di tempat lain.”
“Lalu kenapa dibawa ke sini?”
“Itu yang harus kita cari tahu,” ucap Yudha pelan tapi mantap.
Liora menatap ke arah langit kelabu di atas kampus. Ada sesuatu yang menekan dadanya, rasa dingin aneh yang familiar.
Suara berbisik halus menyusup di antara pikirannya.
Liora… kau terlalu dekat dengan kematian manusia.
Wajahnya pucat. Itu, suara Raja Azrakel.
Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun.
Jangan campuri urusan mereka. Dunia manusia bukan untukmu.
Liora menggenggam dada, menahan gemetar.
“Liora?” panggil Yudha khawatir.
“Tidak… aku baik-baik saja.”
Namun di balik kata-kata itu, Liora tahu sesuatu telah terbuka. Sebuah tirai tipis antara dunia manusia dan Azzarkh mulai robek, dan ia berada tepat di tengahnya.
Sore itu, ketika kampus akhirnya ditutup karena penyelidikan, Liora berdiri di depan gerbang. Angin berhembus, membawa aroma samar belerang dan batu basah, aroma dunia bawah.
Ia tahu, meskipun ia hidup di dunia manusia… Azzarkh belum pernah benar-benar melepaskannya.
Dan di kejauhan, di singgasana batu hitam,
Raja Azrakel membuka matanya perlahan.
Senyum tipis terbentuk di wajahnya.
Kau tak akan pernah jauh dariku, Putri Liora.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪