Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Paham…
Begitu memasuki rumah Savero, Jingga seperti biasa menebar senyum. “Malam, Mbak Rini… Wah, Mas Bayu masih jaga ya? Jangan lupa makan dulu loh, nanti sakit perut,” sapanya ringan pada satpam pribadi di depan pintu. Di dalam, ia menoleh ke arah salah satu pelayan yang baru saja berpapasan. “Mbak, masakan malam ini enak banget aromanya. Saya kebagian kan?”
Para pelayan hanya saling melirik. Mereka sudah hafal gaya Jingga yang jenaka, penuh canda, seolah tak ada beban. Tidak ada seorang pun menyangka kalau di balik senyum itu ada hati yang nyaris runtuh.
Begitu pintu kamar Savero tertutup, Jingga menanggalkan senyum itu seperti topeng. Ia tidak membuka sepatunya, tidak melepaskan tas dari bahunya. Gadis itu langsung rebah di sofa, meringkuk dengan tatapan kosong ke arah langit-langit. Napasnya panjang, berat, dan kosong.
Hening.
Ia bahkan tidak sadar kalau Savero sudah ada di kamar itu. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi, rambut basah, mengenakan kaus putih bersih dan celana panjang hitam. Aroma sabun masih melekat di tubuhnya. Begitu melihat pemandangan di sofa, alis Savero langsung mengernyit.
“Jingga!” suaranya meninggi. “Apa-apaan kamu tidur di sofa dengan sepatu begitu? Dasar jorok!”
Biasanya Jingga akan membalas, entah dengan canda sinis atau protes keras. Tapi kali ini tidak. Tanpa menoleh, tanpa ekspresi, ia bangkit perlahan seperti robot, melepas sepatunya dengan gerakan kaku, lalu kembali meringkuk di sudut sofa.
Savero yang tadinya ingin marah lebih jauh, mendadak terdiam. Matanya memperhatikan. Wajah Jingga sembab, ada bekas air mata di pipinya, rambutnya kusut, bibirnya pucat. Aura jenaka yang biasanya memenuhi ruangan itu lenyap.
Savero berdiri beberapa detik, ragu. Lalu perlahan melangkah ke arah ranjang, duduk di tepi kasur. Pandangannya tetap pada Jingga, menunggu gerakan apa pun dari wanita itu.
Sepuluh menit berlalu. Tidak ada perubahan.
Tiga puluh menit. Masih sama.
Nyaris dua jam kemudian, barulah Jingga bergerak. Ia duduk kaku, menatap lantai dengan mata kosong.
Savero menelan ludah, lalu bersuara pelan, ragu. “Kamu… baik-baik saja?”
Jingga menoleh setengah, wajahnya datar tanpa emosi. “Saya baik-baik saja. Tadi saya lupa tidak membuka sepatu ketika naik ke sofa. Padahal saya tahu Bapak tidak suka kotor, tapi saya benar-benar tidak kepikiran. Maafkan saya. Itu kelalaian saya.” Ucapannya panjang, monoton, seperti dihafal. Tidak ada warna, tidak ada intonasi.
Savero menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, pria itu merasakan sesuatu yang asing di dadanya: penasaran bercampur iba. Ia yang biasanya dingin, minim empati, kali ini membuka mulut dengan canggung. “… ada yang bisa… saya bantu?”
Jingga tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip retakan getir di wajah. Matanya masih menatap lantai, tidak berani menoleh. “Memangnya Bapak bisa balikin uang saya yang dicuri Mahesa selama ini? Memangnya Bapak bisa mengembalikan Mahesa yang dicuri Lidya?”
Savero terperangah. Dadanya naik-turun. Ia tidak menyangka nama itu. Mahesa, akan keluar dengan nada sesakit itu.
“Kamu… sudah tahu?” tanyanya perlahan.
Jingga menoleh, matanya berair tapi kosong, wajahnya kaku. “Tahu apa? Apa yang harus saya tahu? Bapak pikir saya cuma tahu? Saya mendengar sendiri mereka selingkuh.”
Kata-kata itu keluar tanpa Jingga sadari, tanpa filter. Dan setelah itu, tubuhnya ambruk kembali ke sofa, meringkuk, memunggungi Savero.
Kamar itu kembali sunyi. Hanya terdengar detak jam di dinding dan hembusan AC yang dingin.
Savero masih duduk di pinggir ranjang, terdiam. Tangannya terkepal di pangkuan. Matanya menatap punggung Jingga yang gemetar pelan. Di balik dinginnya, pria itu merasakan sesuatu mengganjal di dadanya. Iba… perasaan yang jarang sekali ia izinkan hadir.
Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang jelas, malam itu untuk pertama kalinya Savero ingin ada di sisi wanita yang biasanya ia anggap pengganggu, cerewet, dan seenaknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu kantor sudah ramai. Jingga datang sambil menenteng tas, wajahnya berseri seperti biasa. “Selamat pagi dunia! Selamat pagi manusia-manusia korporat!” sapanya sambil melambaikan tangan, bikin beberapa karyawan yang lagi sibuk dengan laptopnya saling menoleh dan senyum geli.
Pagi, Jingga,” sahut Nisa, meski matanya masih heran. Dari semalam ia sebenarnya kepikiran, Jingga terlihat lesu waktu pulang, tapi sekarang kok bisa-bisanya balik jadi pusat keramaian.
Jingga menghampiri meja Nisa, menepuk-nepuk bahunya. “Eh, kamu nggak sarapan gorengan ya? Mukanya kok kusut begitu? Awas nanti kertas laporanmu malah kamu anggap tempe mendoan lagi!”
Nisa geleng kepala, lalu nyengir tipis. “Kamu aneh deh. Kemarin sore kayak orang sakit, sekarang heboh lagi.”
“Lho? Emang salah kalau aku sehat? Mau aku pura-pura pingsan biar dapet jatah cuti, gitu?” celetuk Jingga sambil memutar-mutar bolpoin di jarinya.
Nisa cuma mendengus. “Terserah kamu deh.” Tapi dalam hati ia tetap merasa ada yang janggal.
Sedang Jingga dalam hati memantapkan diri, kali ini ia akan merubah nasib, ia tak akan menangis atau meratapi Mahesa lagi. Justru ia akan mengikuti permainan Mahesa dan Lidya, dan ia yang akan jadi pemenangnya.
Siang harinya, saat suasana kantor agak sepi, Savero memanggil Nisa ke ruangannya. Begitu masuk, Nisa refleks menutup rapat pintu di belakangnya.
“Kak, ada apa?” tanyanya serius.
Savero duduk bersandar di kursi kerjanya, jari-jarinya mengetuk meja sebentar sebelum bicara. Tatapannya agak berat. “Aku butuh kamu perhatikan Jingga. Dia memang kelihatan biasa saja, tapi sebenarnya tidak baik-baik saja.”
Alis Nisa langsung berkerut. “Maksudnya gimana? Dia… ada masalah, Kak?”
Savero menarik napas dalam, lalu menjawab perlahan, “Semalam dia cerita. Mahesa dan Lidya. Jingga tahu semuanya.”
Nisa sontak menutup mulut dengan tangannya. Wajahnya berubah drastis, kali ini benar-benar dipenuhi iba. “Ya Tuhan… jadi itu sebabnya…”
Savero mengangguk pelan. “Tadi malam dia pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja, asumsiku dia memergoki perselingkuhan Mahesa dan Lidya.” Ucap Savero, lalu menghela napas “Jadi tolong, kalau ada apa-apa yang dia butuhkan, kamu jadi orang pertama yang tahu, lalu sampaikan padaku.”
Nisa menunduk, menahan emosi. “Iya, Kak. Aku janji akan jagain dia.” Tapi perlahan Nisa tersenyum jahil. “Kak… aku baru lihat lho, seorang Savero bisa sampai segininya mikirin orang lain.”
Savero mengangkat alis. “Apa maksudmu?”
Nisa menyandarkan tubuh ke kursi, menautkan tangan di dada. “Biasanya kan kamu dingin, ketus, bahkan ke keluarga sendiri juga kadang cuek. Tapi kalau urusan Jingga, kok beda? Kamu perhatian banget. Sampai repot-repot minta aku jagain dia.”
Savero berdehem kecil, menahan diri. “Aku cuma… kasihan. Dia banyak menutupi penderitaannya dengan tingkah konyol dan sembrononya itu.”
Nisa makin tersenyum lebar. “Kasihan, katanya. Tapi kok sampai matanya keliatan dalam banget pas nyebut nama Jingga? Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa?” potong Savero cepat, nadanya agak meninggi tapi bukan marah, lebih ke defensif.
Nisa terkekeh. “Jangan-jangan Kak Savero yang terkenal dingin itu mulai peduli sama orang lain karena… jatuh hati?”
Savero menatap tajam, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. “Kamu kebanyakan nonton drama, Nis. Aku hanya tidak suka melihat orang diperlakukan seenaknya, Itu saja.”
Nisa mengangkat kedua tangan, seolah menyerah. “Oke, oke. Aku nggak akan maksa Kakak ngaku. Tapi hati-hati ya, perasaan itu kadang datang tanpa kita sadari. Bisa jadi kasihan lama-lama jadi sayang.”
Savero diam, matanya menatap meja, seperti menimbang sesuatu yang tidak ingin diakuinya.
Nisa bangkit dari kursinya, hendak keluar. “Tenang aja, Kak. Aku bakal jagain Jingga. Tapi kalau suatu hari nanti aku benar, aku bakal jadi orang pertama yang bilang: ‘Aku sudah menduga dari awal.’”
Savero hanya mendengus, tapi keningnya berkerut, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Nisa keluar dari ruangan Savero dengan senyum yang sulit ia sembunyikan. Wajahnya masih menyimpan geli karena berhasil menggoda Savero barusan. Langkahnya ringan ketika menutup pintu rapat-rapat di belakangnya, lalu berjalan menuju mejanya.
Dari kejauhan, Jingga yang sedang menuang air dari dispenser menangkap ekspresi itu. Ia menghentikan gerakan tangannya sejenak, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. Pintu ruangan Savero yang baru saja menutup rapat, ditambah senyum lebar di wajah Nisa, membuat imajinasi Jingga langsung berlari ke arah yang salah.
Dalam hati ia berdecak, “Oalah, jadi ini toh karyawan yang bikin Pak Savero jatuh hati. Pantesan aja Nisa sering banget masuk ke ruangan dia. Ah, cocok juga sih, kalau dipikir-pikir. Nisa kan manis, kalem, dan katanya dari keluarga yang kaya raya… siapa coba yang nggak suka?”
Jingga lalu meneguk airnya sampai habis, bibirnya terangkat tipis dengan gaya sok detektif yang puas menemukan petunjuk baru. “Wah, aku nggak nyangka. Diam-diam Pak Savero dan temanku punya cerita sendiri di kantor ini.”
Ia melangkah kembali ke mejanya sambil bersenandung kecil, ekspresinya jenaka seolah menemukan gosip seru. Sementara Nisa yang sudah duduk, sama sekali tak sadar kalau dirinya baru saja jadi tokoh utama dalam dugaan konyol ala Jingga.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya