Harin Adinata, putri kaya yang kabur dari rumah, menumpang di apartemen sahabatnya Sean, tapi justru terjebak dalam romansa tak terduga dengan kakak Sean, Hyun-jae. Aktor terkenal yang misterius dan penuh rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Karena ulah Harin, Hyun-jae akhirnya menggeser jadwal satu jam lebih lambat hari ini. Padahal dia bukan tipe pria yang dengan mudahnya akan merubah-rubah jam kerja. Sampai Juno, sahabat sekaligus manajernya saja heran.
"Kau, ada apa denganmu hari ini? Kau yang bermimpi atau aku?" kata Juno begitu Hyun-jae sampai di lokasi syuting. Lelaki itu bilang Juno langsung ke lokasi saja, alhasil mereka pun bertemu di sana.
Sekarang keduanya berada di ruangan pribadi yang memang di sediakan untuk Hyun-jae. Sang aktor tak menanggapi pertanyaan Juno.
"Kau terlambat bangun? Itu alasan yang tidak begitu masuk akal untuk seseorang sepertimu." kata Juno lagi.
"Ada kucing nakal di apartemenku. Aku harus mengurusnya sebentar sebelum ke sini."
Alis Juno terangkat. Itu alasan yang lebih tidak masuk akal lagi. Pasalnya Hyun-jae alergi kucing dan paling benci dengan yang namanya memelihara hewan. Hewan jenis apapun itu.
"Kalau aku tidak salah ingat, kau alergi kucing kan?"
"Sekarang tidak lagi." balas Hyun-jae datar. Pikirannnya membayangkan wajah Harin dan ujung bibirnya berkerut. Entah apa yang sedang dilakukan gadis itu sekarang.
Tak lama kemudian seorang kru mengetuk pintu, menyampaikan kalau sebentar lagi syuting akan di mulai. Hyun-jae dan Juno kembali bersikap profesional.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di apartemen Hyun-jae, Harin bolak-balik di kamar Sean yang dia tempati sementara. Sekarang ini dia sudah tidak punya uang. Tersisa seratus ribu di tangannya. Nggak enak juga harus pinjam terus ke Sean. Sudah numpang di apartemennya, sering makan gratis, pinjem duitnya pula.
"Aku harus cari kerja. Kerja apa aja, biar ada duit makan tiap hari. Gak boleh ngerepotin Sean terus. Apalagi ada kakaknya yang selalu ngomong aku ceroboh. Aku harus buktiin kalau aku bisa kerja serabutan." katanya pada dirinya sendiri.
Ia melangkah ke depan cermin, menatap wajahnya.
"Terlalu cantik, sebaiknya aku dandanin wajah aku jadi lebih hitam dikit biar keliatan orang yang butuh banget kerja kalo ngelamar. Harin, kenapa sih kamu itu harus cantik banget gini?"
Harin menghela napas panjang sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Pipinya dicubit pelan, seakan-akan ingin memastikan bahwa wajah cantik itu bukan penyebab masalah baru. Ia meraih bedak cokelat tua yang dia salah beli kemaren, lalu menorehkan tipis di pipi dan dahinya.
"Lumayan, heheh. Jadi kelihatan agak kusam," gumamnya sambil tersenyum miris.
"Kalau kelihatan terlalu bersinar, orang pasti mikir aku nggak serius butuh kerja. Padahal aku benar-benar butuh."
Setelah puas dengan hasil kamuflase sederhana itu, Harin mengenakan kaus polos dan celana jeans yang sudah agak pudar. Awalnya dia beli pakaian murah itu karena kasian liat ibu-ibu yang jualan di depan jalan udah capek banget, eh ternyata kepake.
Rambut panjangnya ia ikat asal, meninggalkan kesan gadis sederhana, jauh dari kesan
putri orang kaya yang manja, yang selama ini menempel padanya.
Perutnya berbunyi pelan. Ia sudah lapar lagi. Padahal baru jak sebelas.
"Duh, aku harus makan dulu. Nanti pingsan di jalan malah makin repot."
Ia membuka kulkas apartemen, menemukan sisa roti tawar dan olesan selai kacang. Cepat-cepat ia membuat satu potong sandwich seadanya. Saat menggigit roti itu, Harin duduk di kursi dapur, menatap kosong ke arah jendela.
"Kerja apa ya yang bisa aku lakuin? Pelayan kafe? Cuci piring? Atau jadi SPG di minimarket?" pikirnya keras-keras.
"Yang penting halal, bisa digaji harian, udah cukup. Jangan mikir gengsi."
Setelah menghabiskan rotinya, ia meraih tas kecilnya. Di dalamnya ada dompet tipis, ponsel yang baterainya nyaris habis, dan kertas kecil berisi catatan alamat lowongan kerja yang sempat ia cari di internet.
"Baiklah, ayo semangat, Harin! Kamu pasti bisa," ucapnya sambil menepuk pipinya sendiri.
Di lokasi syuting, Hyun-jae masih duduk di kursi rias. Sementara penata rambut sibuk merapikan poni depannya, pikirannya justru melayang ke apartemen. Ia membayangkan Harin, apa yang sedang gadis itu lakukan sekarang, apakah dia ceroboh lagi?
Entah kenapa, perasaan cemas itu menghantam dadanya. Padahal, hubungan mereka jelas aneh. Harin hanyalah adik sahabatnya, gadis manja yang tiba-tiba saja membuat hari-harinya berantakan. Namun, bayangan wajah Harin yang selalu ceroboh itu justru menimbulkan rasa hangat yang sulit ia mengerti.
"Selesai." kata si penata rias. Wajahnya tampak puas.
"Anda sangat tampan
Hyun-jae ssie, tidak heran kenapa penggemar anda banyak sekali."
Hyun-jae membalasnya dengan senyum tipis, sangat tipis.
Hyun-jae berdiri, merapikan jas kostumnya sebelum menuju set. Senyum tipis yang tadi ia tunjukkan segera hilang, berganti ekspresi serius seorang aktor profesional.
Di sisi lain, Harin baru saja keluar dari gedung kecil di pinggir jalan. Lowongan pertama yang ia datangi ternyata sudah penuh. Gadis itu menarik napas panjang, lalu berjalan ke halte terdekat. Matahari siang makin terik, membuat keringat bercucuran di pelipisnya. Ia menyalakan ponsel sebentar, melihat catatan kecil yang ia tulis. Ada tiga alamat lagi yang bisa ia datangi hari ini.
"Semoga yang kedua ini masih buka," gumamnya sambil mengusap kening.
Harin melangkah masuk ke sebuah ruko kecil dengan papan nama sederhana: Express Eats Delivery. Ruangan itu penuh dengan aroma plastik dan kardus makanan. Beberapa kurir duduk di bangku panjang sambil mengecek ponsel mereka. Harin agak canggung, tapi ia segera menghampiri meja resepsionis.
"Permisi, saya lihat ada lowongan kurir di sini. Apa masih dibuka?" tanyanya pelan.
Seorang pria paruh baya dengan rompi bertuliskan logo perusahaan menoleh cepat. Tatapannya menyapu Harin dari atas ke bawah, lalu ia mengangguk.
"Masih. Bisa bawa motor?"
Harin tersenyum kikuk.
"Bisa, meskipun… ya, saya nggak terlalu jago. Tapi saya hati-hati kok pak."
Pria itu tertawa kecil, seolah sudah terbiasa mendengar jawaban serupa.
"Yang penting mau kerja keras. Kalau kau siap, hari ini bisa langsung kerja. Kebetulan ada banyak orderan hari ini. Gaji di bayar harian. Perhari seratus ribu."
"Beneran? Mau, mau pak!"
"Ya udah, ini jaket dan tas delivery. Kamu anterin pesanan ini ke alamat yang ada di sini. Bisa kan?"
Harin menerima jaket hijau terang dan tas delivery besar dengan mata berbinar. Rasanya jantungnya berdebar kencang, campuran antara gugup dan senang. Pria itu menyerahkan satu kantong plastik berisi kotak makanan serta secarik kertas alamat.
"Ini dekat kok, cuma dua kilometer. Jangan lupa kasih senyum sama pelanggan, itu juga penting, motornya ada di luar sana. Kamu bilang aja pekerja baru sama laki-laki di luar sana, nanti akan langsung dia kasih." kata lelaki paruh baya itu.
Harin mengangguk cepat dan mengikuti sesuai dengan instruksi pria itu. Nggak apa-apa deh jadi kurir pengantar makanan, yang penting dia sudah dapat kerja.
ketahuan kamu Luna ...😁😂😂
tunggu aja kalo udh ketauan semuanya lenyaplah kamu dari muka bumi 🤣🤣