"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
*
“Sudah lega? Kamu datang sendiri kesini meskipun pakai pengacara.” Tanya Biantara setelah mereka keluar dari kantor pengadilan.
Ajeng yang sejak tadi banyak diam, hanya mengangguk dengan senyum kecil.
“Baiklah, kamu mau makan apa? Kamu sudah lapar kan?” Biantara berbicara lagi.
“Em, Mas. Boleh nggak kalau aku pulang sendiri aja?”
Biantara mengerutkan keningnya bingung.
“Kenapa memangnya?” lelaki itu nampak tak suka.
“Aku mau mampir di rumah Ibu dulu.” sekali lagi, Ajeng tersenyum aneh, untuk menutupi kesalahannya.
“Oh, rumah ibumu dekat dari sini?”
“Lumayan. Nggak sampai satu jam kalau lancar.”
“Kalau begitu, aku antar.”
“Tapi aku mau nginep. Kamu pulang aja sama Pak Wisnu. Pasti kerjaanmu banyak kan?”
Biantara tersenyum miring. “Kenapa, hem? Kamu takut ditanya macam-macam sama ibu dan Ayahmu?”
“Ayah udah nggak ada, Mas. Tinggal ibu sendiri sama adek.”
“Maafkan aku." Biantara terlihat menyesal. "Kamu punya adik?”
Ajeng mengangguk. “Adikku cowok. Baru masuk kuliah tahun ini.”
“Wah, enak dong. Nanti, aku mau kenalan sama adikmu. Aku akan ajari adikmu banyak hal."
“Tapi, Mas—”
“Kalau kamu melarangku, aku akan nekat. Ya kan, Nu?”
Wisnu hanya terdiam dengan lirikan entah apa artinya.
“Memangnya, kalian nggak ada pekerjaan?”
“Kan bisa dikerjakan dari mana saja. Kecuali lagi sidak.” Biantara menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu menatap Ajeng dengan curiga. “Pelit sekali kamu nggak ngizinin aku ke rumah orang tuamu.”
Menghela nafas panjang, Ajeng terpaksa mengalah.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Tapi, kalau nggak nyaman, kamu boleh pulang, Mas. Rumah ibu kecil soalnya.”
“Nggak masalah. Cuma perkara itu saja, aku pernah tidur di tenda waktu camping.”
Ajeng menatap Wisnu untuk sejenak. Dia tahu, pasti Wisnu menyalahkan dirinya lagi sampai Biantara ngeyel seperti itu.
“Em, kalau Pak Wisnu sibuk, biar Mas Bian aja sendiri. Kami bisa naik taksi dari sini.”
“Wah, kamu mau kita bebas ngapa-ngapain tanpa Wisnu, Sayang?” Biantara salah paham dengan pikiran tengilnya.
“Eh, enggak, Mas. Bukan itu maksudnya.”
“Aku nggak nyangka, kamu punya pikiran sejauh itu.” Biantara masih menggoda.
“Ish, udah dibilangin nggak kayak gitu. Aku cuma nggak enak aja. Kamu membantuku sampai mengabaikan pekerjaanmu.”
“Siapa bilang? Aku tetap bekerja kok.”
Sekali lagi, Ajeng menghela nafas panjang. “Ya udah kalau gitu. Kita ke rumah ibuku sekarang. Kita makan disana aja. Biasanya, jam segini warung Ibu masih buka.”
“Warung?”
Ajeng mengangguk. “Ibu punya warung soto di depan rumah.”
“Oh…”
Setelah keputusan itu, mereka benar-benar menuju rumah Ajeng yang tak terlalu jauh dari sana. Bukan kota besar, tapi roda perekonomian sudah cukup berkembang di tempat itu.
Selama perjalanan, Biantara selalu mencari kesempatan untuk merangkul atau memeluk Ajeng. Ajeng sering berkilah sehingga Biantara selalu protes.
“Cuma gini doang, Baby.”
“Ya tapi nggak enak, Mas, ada Pak Wisnu.” Ajeng beralasan.
Padahal, selain karena malu, ada alasan lain yang lebih utama. Yaitu, pikirannya sendiri.
“Wisnu nggak bakalan protes. Lagian, kalau dia pengen, dia tinggal cari tempat karaoke.” Karena Ajeng terus mengelak, akhirnya Biantara hanya memainkan rambutnya saja.
“Tapi aku nggak nyaman, Mas. Bisa nggak kita wajar-wajar aja?"
Biantara mulai menyadari perbedaan sikap Ajeng.
“Kenapa sih, Baby? Kamu aneh hari ini. Aku perhatikan, kamu diem sejak di pengadilan tadi.”
Ajeng dan Wisnu saling berpandangan melalui spion tengah, untuk sesaat.
“Kamu menyesal mendaftar gugatan cerai?”
Ajeng menggeleng secara spontan karena pertanyaan selanjutnya Biantara.
Ya memang benar. Entah kenapa, setelah pembicaraannya dengan Wisnu tadi, masalah Rendy terasa tak berarti untuk wanita itu.
“Kalau begitu, kenapa?”
Ajeng tersenyum aneh. “Nggak apa-apa. Aku cuma agak grogi aja mau ketemu ibu. Aku bingung kalau ibu tanya-tanya nanti.”
“Jangan khawatir! Aku akan membantumu menjawab pertanyaan.”
Ajeng hanya tersenyum saja.
Benar kata Ajeng. Tak sampai satu jam mereka sudah sampai di rumah Ajeng. Rumah sederhana itu ada di pinggir jalan utama dengan halaman cukup luas.
Di depannya ada warung soto, yang berdampingan dengan kios-kios usaha kecil di samping kanan kiri rumah Ajeng. Sepertinya, masyarakat disana memanfaatkan lokasi strategis itu untuk mencoba berbagai peruntungan meskipun hanya di perkampungan.
“Ini rumah kamu?” Tanya Biantara mengamati rumah di depannya.
“Iya. Ayo turun. Kayaknya ibu lagi ada pembeli.”
Biantara mengangguk ringan. Dia mengikuti Ajeng keluar dari mobil, begitupun dengan Wisnu.
“Bu,”
“Ya, Mbak, masuk aja. Masih ada— Ya ampun, Nduk. Ini beneran kamu?” Wanita paruh baya yang terlihat masih segar itu terkejut karena yang masuk ke warungnya adalah anaknya sendiri.
Benar dugaan Ajeng yang dia simpan sendiri. Ibunya pasti mengira dia adalah pembeli karena dia tidak mengabari sebelumnya.
“Ajeng, anak Ibu.” Wanita itu langsung memeluk Ajeng, tak peduli ada beberapa pembeli di warungnya.
Pekerjaannya yang tadi akan mengantarkan es teh pesanan pembeli, langsung diambil alih oleh rekannya.
“Kok nggak bilang-bilang kalau mau pulang? Kamu sama Nak Rendy?” Bu Marini—Ibu Ajeng bertanya setelah pelukan mereka berakhir.
“Enggak, Bu. Ajeng sama teman-teman Ajeng.”
“Oh…” entah kenapa, raut wajah wanita itu mendadak berubah. “Ya sudah, kita masuk yuk! Ajak temanmu masuk juga.” Wanita itu beralih kepada seseorang yang membantunya. “Wi, tolong layanin dulu ya. Aku masuk dulu.”
“Ya, Mbak.”
Setelah keluar dari warung, mereka bertemu dengan Biantara dan Wisnu yang masih berdiri di samping mobil.
“Loh, temenmu laki-laki, Nduk?” Tanya Bu Marini heran. “Ini bukan yang dulu sering kesini kan?” maksud beliau adalah karyawan-karyawan Ajeng dan Rendy.
Belum sempat Ajeng menjawab, Biantara sudah mengulurkan tangannya.
“Saya Biantara, Bu. Dan ini teman saya Wisnu.”
Bu Marini mengangguk meskipun terlihat masih bingung. Wanita itu juga menyambut jabatan tangan Biantara dan Wisnu ala kadarnya.
“Oh ya sudah, sana masuk dulu. Biar ibu bilang ke Dewi suruh siapin soto. Pada mau kan?”
“Kebetulan kami belum makan, Bu.” Celetuk Wisnu yang membuat Ajeng cukup tercengang.
Entah sindiran atau apa, tapi yang pasti, ini kali pertama dia melihat Wisnu sedikit konyol.
“Yang bener aja lo, Nu.” Bisik Biantara menyikut perut temannya.
“Gue serius, Bi. Gue laper."
Melihat tingkah kedua laki-laki dewasa itu, Bu Marini tersenyum.
“Nggak apa-apa, Nak Biantara. Ibu malah seneng kalau teman-teman Ajeng akrab.”
Biantara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dan Ajeng, baru kali ini melihat Biantara terlihat tak punya nyali di depan orang.
Sungguh, dua lelaki itu benar-benar menunjukkan sikap berbeda untuk pertama kalinya di rumah Ajeng.
Singkat cerita, mereka sudah masuk. Meskipun kecil, tapi rumah Ajeng terlihat seperti bangunan baru.
Ya memang, bangunan itu direnovasi total setelah Ajeng sukses menjadi konten kreator. Termasuk warung soto yang dulunya hanya berasal dari kalsiboard dan asbes itu, kini sudah menjadi bangunan permanen.
Memang, warung soto itu bukan warung dengan omset banyak. Hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari saja. Sedangkan biaya kuliah adik Ajeng, tentu saja dari Ajeng.
“Oh ya, Bu. Arka belum pulang? Dia tetap pulang tiap hari kan, Bu?” Tanya Ajeng mulai pembicaraan selama menunggu soto datang.
“Adikmu pulang pergi. Tapi, kalau lagi ada tugas sampai malem, ibu suruh nginep di rumah Budemu aja. Kasihan jauh.”
“Memangnya, adikmu kuliah dimana?” Biantara nimbrung obrolan.
“Di deket tempat yang tadi, Mas. Sengaja nggak ambil universitas bagus karena jauh. Aku kasihan sama ibu kalau ditinggal sendiri. Yang penting ijazah dan kemampuannya kan?”
Biantara mengangguk setuju.
“Oh ya, Nduk. Nak-nak ganteng ini, apa karyawan kalian juga? Kok suamimu malah nggak ikut?” Bu Marini baru mulai fokus ke mereka.
Ajeng tersenyum kecil. “Mereka bukan orang sembarangan, Bu. Justru, Mas Bian ini pemilik perusahaan maklon parfum kami. Aku sama Mas Rendy ambil parfum dari dia.”
“Oh…” Bu Marini nampak paham. Namun, terlihat guratan curiga di wajah beliau. “Emangnya, kalian mau bikin usaha parfum disini? Kok ikut kesini?”
Ajeng menatap Biantara yang juga sedang menatapnya dalam diam.
“Em, Ajeng…” wanita itu nampak begitu ragu berbicara jujur kepada ibunya.
Bu Marini pun, mendesak anaknya dengan tatapan sendu yang sulit diartikan.
“Maaf, Bu. Ajeng baru saja dari pengadilan agama.” Akhirnya, Kalimat itu keluar juga.
Wanita paruh baya melahirkannya itu, langsung memeluk Ajeng erat-erat.
“Ibu nggak marah, Nduk. Ibu tahu gimana perasaanmu. Kamu sudah sangat kuat bertahan sampai sekarang.”
Kedua wanita itu mulai menangis karena haru.
“Ibu benar. Aku nggak kuat, Bu. Maaf karena Ajeng udah nggak perhatiin nasehat ibu waktu itu.”
“Ya sudah, jangan dipikirkan. Semua sudah terjadi. Ambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi. Ibu nggak akan memaksamu, dan ibu jugA nggak akan menyalahkanmu.”
“Makasih, Bu. Makasih karena udah mengerti Ajeng.”
*
*
“Kita serius terdampar di kampung begini, Bi?” Tanya Wisnu sambil seraya membuang puntung rokoknya.
Mereka sedang bersantai di teras rumah Ibu Ajeng, sementara Ajeng membantu ibunya menutup warung.
Jam 8 malam sekarang. Tapi, kondisi jalanan utama kampung Ajeng sudah mulai sepi, tak seperti tadi siang.
“Halah! Sok-sokan bilang terdampar, tapi lo abis soto tiga mangkuk, Nu.” Cibir Biantara, mengingatkan.
“Ya kan laper. Lo nggak ngasih gue makan dari pagi. Gue cuma makan roti doang pas sarapan.”
“Kayak lo nggak bisa beli makan sendiri. Kan tadi lama pas nungguin Ajeng daftar cerai.”
“Males. Nggak asyik makan sendiri.”
Brmm…
Obrolan mereka terjeda saat sebuah motor matic kekinian masuk ke halaman rumah. Mereka berdua memperhatikan orang yang dari caranya memarkirkan motor, seperti sudah sangat terbiasa di tempat itu.
Dan benar saja dugaan Biantara dan Wisnu, lelaki itu langsung disambut oleh Ajeng yang berlari dari dalam warung.
“Arka!”
Ajeng seperti anak kecil yang menyambut Ayahnya pulang kerja. Bahkan, saat lelaki muda itu baru memperhatikan Ajeng, wanita itu sudah menubruk adiknya.
“Mbak kangen sama kamu. Kenapa sekarang nggak pernah ajak ibu ke rumah Mbak lagi?”
Arka membalas pelukan Ajeng.
“Ibu nggak mau, Mbak. Katanya nggak tega lihat Mbak Ajeng dipoligami.”
Ajeng melerai pelukan. Memasang wajah cemberut di depan adiknya.
“Sebentar lagi, Mbak nggak akan dipoligami lagi, Ar.”
“Oh ya? Mas Rendy sudah sadar dari kesurupan?”
“Pffttt.”
Perhatian Ajeng dan Arka sontak tertuju kepada dua pengganggu yang sedang menahan tawa itu.
“Siapa mereka, Mbak?” Tanya Arka penasaran.
Lelaki itu juga menatap mobil yang terparkir di samping motornya, seperti baru diingatkan.
“Mobil Mbak Ajeng baru?” Padahal, pertanyaan pertama belum dijawab, tapi pertanyaan kedua sudah muncul lagi.
“Itu bukan mobil Mbak, Dek. Itu mobil Mas Bian.” Ajeng menunjuk dengan dagunya sebagai isyarat.
“Mereka karyawan Mbak Ajeng ya? Tapi, kok mobilnya bagus?”
Biantara dan Wisnu memutar bola matanya malas. Itu lagi itu lagi dugaan orang-orang, pikir mereka.
“Bukan, Dek. Mereka itu teman-teman Mbak. Mas Bian ini yang punya perusahaan parfum yang nyuplai parfum ke Mbak. Dan itu, Pak Wisnu asistennya.”
Dari raut wajahnya, Arka tak puas dengan jawaban Ajeng.
“Terus, ngapain mereka kesini? Mana Mas Rendy?” Arka sudah menunjukkan sikap posesifnya.
“Mas Rendy nggak ikut, dan jangan dikasih tahu dia ya, Dek. Mbak sengaja nggak bilang-bilang sama dia.”
“Loh, gimana sih? Katanya nggak akan dipoligami lagi. Kok malah umpet-umpetan gini?”
“Mbak sama Mas Rendy mau cerai, Dek. Mbak baru aja daftar di pengadilan agama. Makanya, Mbak mampir kesini nggak bilang-bilang ibu dulu.”
Arka paham. Tapi, dia mendadak menatap dua orang yang sedang duduk di teras rumah tak jauh dari tempatnya saat ini.
“Jangan-jangan, salah satu dari mereka, selingkuhan Mbak Ajeng ya?” tuduh Arka sedikit meledek.
“Apa?!”
Sayangnya, tidak demikian dengan tanggapan wanita yang baru keluar dari warung itu.
“Ibu?"