Sebuah kota yang ditimpa tragedi. Seseorang baru saja membakar habis gedung pengadilan di Withechaple, Inggris. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Seorang detektif hebat ditugaskan menangkap sang pencuri Lupin. Waktu yang dimiliki Wang yi semakin terbuang sia-sia. Semakin ia merasa bisa menangkap pencuri Lupin, semakin ia terjebak dalam permainan menyebalkan yang dibuat oleh musuh. Beruntungnya gadis cantik bernama Freya, yang bekerja menyajikan bir untuk para polisi di kedai setempat selalu memberinya motifasi yang unik.
Selama beberapa Minggu, Wang yi menyusun rencana untuk menangkap sang Lupin. Hingga sebuah tugas melindungi mahkota Atlantis tiba di kota itu. Wang yi akhirnya berhasil mengetahui siapa sosok sang Lupin. Namun, ketika sosok itu menunjukan wajahnya, sebuah rahasia gelap ikut terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Bayangan Dibalik Kaca
Dan ketika akhirnya mereka berbaring dalam diam, hanya suara napas yang terdengar. Zhou Shiyu membuka mata, menatap langit-langit yang retak, lalu berbisik, "Apakah ini juga bagian dosa?"
Wang Yi memejamkan mata, menatap kegelapan dalam pikirannya. "Entah dosa atau tidak," jawabnya pelan, "tapi untuk pertama kalinya, aku tidak ingin menyesalinya."
Zhou Shiyu berganti posisi tidur, gadis itu menaikan selimut setengah dadanya, itu membuatnya cukup hangat. Dia membelikan badan menghadap Wang Yi yang masih menatap langit-langit. Jari lentik Zhou Shiyu bermain-main di dada bidang Wang Yi, sementara kepalanya ia letakkan diatas lengan Wang Yi.
"Apa kau pernah melakukan sesuatu dalam hidupmu, yang membuatmu menyesal sampai sekarang?" Tanya Zhou Shiyu.
"Ada?" Jawab Wang Yi. "Saat aku hampir mendapatkan orang itu. Setiap kali aku gagal menangkapnya, aku tidak tau kenapa sangat menyesal. Aku menyesal kenapa aku sangat lemah."
"Yang kau maksud itu-Lupin?"
"Ya, di ibu kota-aku berulang kali hampir menangkapnya. Tapi entah kenapa aku selalu gagal. Kadang aku berpikir kalau dia bukan manusia. Dia terlalu cepat dan pintar untuk disebut sebagai kriminal. Saat aku dengar kalau dia beraksi kembali di kota kecil ini, aku memohon kepada atasan untuk mengijinkanku menangkapnya. Aku mempertaruhkan semuanya untuk datang kesini, termasuk harga diriku. Jika aku tidak bisa menangkapnya lagi kali ini, semua yang ku pertaruhan akan berakhir."
"Apa menurutmu pelaku pembakaran gedung pengadilan, dan pelaku pencurian di museum adalah orang yang sama?" Tanya Zhou Shiyu.
"Aku pikir-tidak, atau bisa juga iya. Waktu dua kejadian itu terlalu berdekatan. Tapi-bisa juga dia sengaja menyalakan api, membakar gedung pengadilan, untuk membuat orang-orang hanya berfokus pada satu tempat."
"Sebuah pengalihan?" Ujar Zhou Shiyu. Wang Yi mengangguk.
Zhou Shiyu menghela nafas lembut, saking dekatnya, Wang Yi bisa mencium aroma nafas Zhou Shiyu yang beberapa menit lalu, dia rasakan begitu manis. Itu akan membuatnya begitu candu untuk meminta lagi. Ini pertama kalinya bagi Wang Yi untuk terlalu mudah meniduri seorang gadis. Di ibukota, ia tidak harus membuat terlalu banyak pesona untuk memancing, para gadis selalu melemparkan diri padanya. Tapi setiap satu dari mereka, bagi Wang Yi hanya sekedar barang bekas.
Tapi Zhou Shiyu tidak begitu. Gadis ini terlihat nakal tapi sebenarnya tidak berpengalaman soal memuaskan hasrat pria. Ia bukan seorang profesional tapi entah kenapa Wang Yi menyukai caranya bercumbu. Terlalu candu untuk dilewatkan. Satu ciuman saja tidak akan bisa membasahi dahaganya. Ia ingin melakukan itu setiap hari. Tapi ia yakin, Zhou Shiyu tidak akan mau untuk melakukan itu setiap saat. Ia akan dianggap seorang anjing hina yang hanya bisa meniduri perempuan.
"Aku beritahu sebuah rahasia yang mungkin semua orang di Whitechaple tidak ingin mengatakannya. Terutama kepada seorang pendatang baru sepertimu."
"Apa itu tentang para Fosicker yang tidur di jalanan, atau banyaknya penganggur di kota ini?" Ucap Wang Yi sedikit membuat lelucon, dan ia harap Zhou Shiyu menyukainya. Tapi sepertinya tidak. Terbukti dari cara gadis itu menampilkan ekspresi diam.
"Sebagian orang sebenarnya berharap bisa pergi dari kota ini. Pergi ke kota yang lebih besar. Ada beberapa yang terkadang sengaja membuat kejahatan, agar penjara di kota ini penuh. Dan jika itu terjadi, secara otomatis para tahanan akan di pindahkan ke ibu kota yang memiliki ruang yang lebih luas. Tapi berapa kali pun mereka melakukan itu, seolah kota ini kembali menarik mereka untuk tinggal di dalamnya." Jelas Zhou Shiyu.
"Apa kau juga bagian dari orang-orang itu?" Tanya Wang Yi.
"Bagaimana jika aku berkata 'iya'. Apa kau akan percaya dan lalu memasukanku kedalam penjara?" Zhou Shiyu balas bertanya.
"Gadis sepertimu terlalu indah untuk terlibat dalam hal yang kotor." Balas Wang Yi.
"Kau terlalu banyak menyanjungku, tuan. Apa kau akan membayarku malam ini, karena aku sudah membuatmu puas?"
"Bagaimana jika melakukannya sekali lagi, dan aku akan memikirkannya." Ucap Wang Yi.
"Tidak ada ronde lainnya kecuali membuat kepastian terlebih dahulu." Balas Zhou Shiyu.
"Aku tidak suka menggantung perempuan."
"Dan, kebetulan sekali, aku tidak suka di gantung." Balas Zhou Shiyu.
Wang Yi bangun dari atas ranjang. Mengambil kembali pakaiannya. Zhou Shiyu memperhatikannya. Tubuh tegap dan wajah tampan Wang Yi. Semuanya telah menjadi narkotika yang membuatnya candu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menatap wajah laki-laki seintens ini.
"Aku akan membayarmu lain kali, entah dengan sebuah ciuman atau apapun." Wang mendekati Zhou Shiyu dan mencium keningnya.
"Aku pikir ciumanmu tidak semahal itu."
"Percayalah, Gadis. Ciumanku jauh lebih mahal dibandingkan batangan emas."
"Aku suka emas." Ucap Zhou Shiyu.
"Aku lebih suka permata yang ada di hadapanku saat ini." Wang Yi berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu.
"Kau mau kemana? Berpatroli?" Tanya Zhou Shiyu.
"Berburu bayangan. Beristirahatlah, aku akan mampir lagi nanti." Kata Wangi Yi. Setelah itu dia menghilang di balik pintu.
Hujan sudah berhenti sepenuhnya sejak tiga jam lalu, terlihat dari tidak adanya rintik dalam cahaya jam tua di menara museum yang berdentang dua kali. Suara itu menggema di antara dinding batu dan lorong marmer, menandai datangnya jam dua belas lewat tiga puluh satu. Whitechapel Museum tampak sepi dari luar, tapi di dalamnya, kegelapan sedang bernafas pelan.
Sosok bertopeng berdiri di depan etalase besar berisi permata biru pucat-The Saint's Tear, batu langka yang konon pernah menjadi milik seorang bangsawan gila pada abad ke-18. Ia mengenakan jas hitam panjang, sarung tangan kulit, dan topi fedora yang menutupi sebagian besar wajahnya. Sang lupin kembali melancarkan aksinya, tapi malam itu, ia bukan pencuri dalam arti sederhana. Ia lebih mirip bayangan yang memilih menari di antara celah waktu.
Jarum jam di tangannya berdetak seirama dengan napasnya. "Empat puluh lima detik lagi," gumamnya, suaranya datar namun halus, seperti seseorang yang sudah hafal bagaimana dunia bekerja.
Di pergelangan tangannya, sebuah alat kecil memancarkan cahaya hijau. Ia menunduk, membuka panel di bawah etalase, dan mengeluarkan kabel tipis yang disambungkannya dengan hati-hati. Suara klik kecil terdengar-nyaris tak terdengar. Alarm museum yang dirancang oleh ahli keamanan terbaik London kini tak lebih dari hembusan napas.
Sang Lupin tersenyum tipis. "Begitu mudah," bisiknya. Langkahnya ringan, nyaris tanpa bunyi di lantai marmer. Ia bergerak seperti seseorang yang tidak sepenuhnya hidup, melainkan kenangan yang sedang bekerja. Di balik topengnya, matanya memantulkan cahaya biru dari permata itu. Namun sebelum ia menyentuhnya, sesuatu di ruangan itu bergetar-lampu gantung di atas bergoyang perlahan. Sang Lupin berhenti. Mengangkat wajahnya.
Suara langkah, seseorang sedang berjalan di koridor sebelah timur. Ia menoleh sekilas ke arah pintu besar berbingkai besi. Kamera keamanan di pojok sudah ia lumpuhkan dua menit lalu, tapi ia tahu penjaga malam selalu melakukan patroli di jam yang tak menentu. Dengan cepat, Lupin menekan tombol kecil di saku jasnya. Cahaya padam seluruhnya-museum tenggelam dalam gelap total.
Suara langkah mendekat. Penjaga itu menyorotkan senter ke arah etalase, tapi yang dilihatnya hanyalah refleksi kaca dan ruang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Ia menunduk, memastikan sistem keamanan masih aktif. Semuanya tampak baik-baik saja. Namun saat penjaga itu berbalik, Lupin sudah berdiri tepat di belakangnya. "Maaf," bisiknya pelan, sebelum menepuk pundak pria itu dengan sarung tangan berlapis serbuk bius.
Penjaga itu jatuh perlahan, seolah tertidur. Lupin menahan tubuhnya agar tidak menimbulkan suara, lalu membaringkannya di dekat patung marmer dewi Yunani. "Tidurlah, Hermes," ujarnya dengan nada sinis.
Ia kembali ke etalase. Sekarang waktunya sudah hampir habis. Ia tahu bahwa musuh bebuyutannya ada di kota ini. Ia tidak bisa selalu santai seperti biasanya. Lupin menarik napas panjang, lalu menekan bagian bawah bingkai kaca. Mekanisme tersembunyi terbuka, dan permata biru itu jatuh lembut ke telapak tangannya. Untuk sesaat, ia menatap batu itu di bawah cahaya senter kecil-kilau dinginnya menembus pupil mata seperti potongan malam yang membeku.
"Indah," katanya, "tapi tidak seindah dosa." Ia menyelipkan permata itu ke dalam saku dalam jasnya. Namun tanpa di sadarinya, sesuatu yang kecil jatuh dari sakunya, entah sebuah kesengajaan atau memang sebuah kecelakaan. Kemudian ia menghilang ke dalam gelap.
Beberapa menit kemudian, tepat ketika jam berdentang lagi, sebuah Jeep hitam berhenti di depan museum. Wang Yi turun dengan santai. Sebelum masuk ia mengamati bagian luar museum. Tidak ada yang aneh selain gelap. Wang Yi menyalakan senter, kemudian berjalan masuk. Awalnya tidak ada yang aneh baginya, sampai ia menemukan penjaga museum yang tergeletak di depan patung Dewi Yunani.
"Shit!" Wang Yi berlari menghampiri penjaga itu. Memastikan ia masih hidup atau sudah mati. "Obat bius." Gumam Wang Yi. Ia membiarkan penjaga tersebut tergeletak. Wang Yi berjalan ke sekitar, dugaannya benar, ada sesuatu yang di curi. Ia terlambat selangkah. Hal tersebut membuatnya geram.
Tidak jauh dari lokasinya berdiri, Wang Yi menemukan sesuatu, sebuah benda hitam kecil mirip seperti pin di bawah patung porselen. Wang Yi tersenyum tipis. Bukti itu mungkin berguna suatu saat nanti. "Lupin..." bisiknya.
Belum selesai sampai di situ, dari kejauhan tiba-tiba terdengar sirine polisi yang mengaum riuh. Wang Yi berlari keluar museum. Di kejauhan, arah selatan kota-cahaya Orange tergambar jelas. Wang Yi tahu cahaya apa itu, sebuah kebakaran. Wang Yi segera bergegas masuk kedalam mobilnya, melaju ke arah TKP.