Zhiyuan, menantu keluarga Liu yang dulu dicap tak berguna dan hanya membawa aib, pernah dipenjara tiga tahun atas tuduhan yang tidak pernah ia lakukan. Selama itu, dunia menganggapnya sampah yang layak dilupakan. Namun, ketika ia kembali, yang pulang bukanlah pria lemah yang dulu diinjak-injak. Di balik langkahnya yang tenang tersembunyi kekuatan, rahasia, dan tekad yang mampu mengguncang keluarga Liu—dan seluruh kota.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 Markas militer
Hujan mengguyur deras, begitu lebat hingga menembus kulit meski wajah sudah berkali-kali ia usap. Setiap tetes membawa rasa perih, seolah langit menjatuhkan bebannya tepat ke tubuhnya.
Zhiyuan mengusap lumpur yang bercampur air hujan di wajahnya. Napas panjang lolos dari bibir.
Langit seakan runtuh. Meski baru pukul sembilan pagi, awan pekat menjadikan dunia seperti malam dini hari. Pakaiannya kuyup, berat oleh air, sementara tanah liat melekat dari ujung kaki hingga lutut.
Mengangkat kepala, ia berusaha mengenali arah. Jalur menuju lembah artefak kuno seharusnya ada di sisi timur perbukitan, tidak jauh dari tempatnya sekarang berada.
Namun, saat hendak melintasi bebatuan basah, matanya menangkap gerakan samar. Spontan ia menahan napas, menyelipkan tubuh ke balik batu besar.
“Bos, cuaca hari ini sangat buruk. Mustahil kita bisa latihan sekarang. Kenapa para petinggi sangat keras kepala dan tidak menunda latihan?" keluh seorang prajurit militer.
“Latihan ini bukan latihan biasa!” suara tegas membalas. “Kalau nanti di kompetisi internasional cuaca buruk, apa kita juga mau berhenti? Mau dicemooh negara lain sebagai prajurit lembek?”
Prajurit yang mengeluh langsung kena tonjok. Sisanya bungkam, wajah mereka mengeras, tatapan tajam, kewaspadaan meningkat.
Zhiyuan menahan desahannya. 'Sial… Pak Tua Long benar-benar menjebakku. Artefak itu ternyata ada di tengah-tengah area pelatihan militer.'
Ia diam, menunggu rombongan itu menjauh. Namun suara deru baling-baling tiba-tiba menggema di atas kepala. Sebuah helikopter kecil melintas, sorot lampunya menembus hujan.
Mata tajam Zhiyuan—yang sudah menembus tahap Penyempurnaan—langsung menangkap detail kamera pengintai di bawah badan helikopter.
Alisnya berkerut. 'Kalau sampai terekam, tamatlah sudah. tidak ada cara menjelaskan kenapa aku ada di sini. Bisa-bisa langsung diseret ke Kantor Pengawas.'
Belum sempat ia bergerak, langkah-langkah lain terdengar. Dua tim lain muncul dari sisi berbeda.
“Hahaha, Tim 1 bego banget. Kita udah dari tadi di samping mereka, tapi mereka nggak sadar sama sekali.” Salah satu anggota Tim 2 menyeringai puas.
Zhiyuan menyipitkan mata. Jalur menuju artefak semakin rumit—bukan hanya hujan, tapi juga latihan militer penuh pengawasan. Namun ia tak punya pilihan. Istrinya menunggu. Artefak itu satu-satunya harapan untuk menyembuhkannya.
Zhiyuan akhirnya mengambil batu dan melemparnya ke sisi lain untuk mengalihkan perhatian.
“Suara apa itu?”
Tim 2 mulai terpecah, tapi kapten mereka tiba-tiba curiga. Matanya menyapu sekitar, lalu berhenti tepat ke arah Zhiyuan.
“Siapa di sana!?”
Tubuh Zhiyuan menegang. Ia sudah ketahuan, dan tidak ada lagi jalan mundur. Begitu kapten Tim 2 berteriak, tubuhnya melesat bagai kilatan petir.
Boom!
Tinju Zhiyuan menghantam dada kapten, membuat tubuh itu terlempar menabrak pohon basah, lalu pingsan seketika. Namun sisa anggota tim langsung bereaksi.
“Penyusup!”
Empat bayangan hitam menyerbu bersamaan. Satu mengayunkan tongkat baja ke arah kepalanya, dua lagi menebas dengan pisau militer, sementara yang terakhir mencoba menembaknya dengan peluru karet.
Zhiyuan berputar, mengangkat lutut, menghantam dada si pemegang tongkat hingga pria itu terhempas mundur. Saat pisau mendekat, ia menunduk rendah, membiarkan bilah logam hanya menyapu rambutnya, lalu menyambar pergelangan lawan dan memelintirnya.
Krek!
Jeritan keras pecah. Pisau terlepas, dan Zhiyuan menendang perut pria itu hingga tubuhnya terpelanting ke lumpur.
Ting! Ting!
Peluru karet menghantam tanah tepat di sampingnya. Zhiyuan berputar, menendang batu kecil ke arah si penembak. Batu itu meluncur bagai peluru sungguhan, menghantam pelipis lawan dan membuatnya ambruk dengan darah bercampur hujan.
Yang terakhir datang dari belakang, mencoba mengaitkan leher Zhiyuan dengan kabel kawat.
Zhiyuan tersedak sesaat. Wajahnya memerah. Tapi kemudian energi spiritual meledak dari tubuhnya, membuat otot-ototnya mengeras. Dengan hentakan bahu, kawat itu terlepas, dan sikunya menghantam rahang lawan.
Crack!
Giginya patah, pria itu jatuh tak sadarkan diri.
“Hah… hah…” Zhiyuan berdiri tegak, napasnya berat. Butuh kurang dari satu menit, tapi tubuhnya mulai terasa tegang. Ia tidak bisa membuang energi terlalu banyak—artefak kuno masih menunggu.
Namun baru ia melangkah, suara teriakan lain terdengar.
“Tim 1, maju! Tangkap dia!”
Lima prajurit lagi datang, kali ini lebih terlatih. Dua orang maju dengan perisai baja, menutup jarak, sementara tiga lainnya menembak dengan kecepatan terukur.
Zhiyuan mendesah. “Kalianlah yang memaksa…”
Bam! Bam!
Ia melompat, menendang perisai pertama hingga sang prajurit terhuyung. Dengan cepat, ia menapak perisai itu sebagai landasan, lalu melompat ke atas, menendang helm prajurit kedua.
Crack!
Helm itu penyok, orangnya jatuh terkapar.
Peluru karet menghantam udara kosong, hanya meninggalkan percikan lumpur. Zhiyuan berputar di udara, mendarat di depan penembak, dan menghantam perutnya dengan telapak tangan.
Tubuh itu melengkung ke belakang, memuntahkan darah bercampur air hujan.
Dua sisa anggota menyerang dengan koordinasi rapi—satu menusuk dengan bayonet, satunya lagi mencoba melumpuhkan kaki Zhiyuan.
Zhiyuan menghindar tipis, menangkis dengan telapak tangan kosong, lalu mengunci senjata lawan dan memutarnya balik. Bayonet menembus pahanya sendiri, membuat prajurit itu menjerit. Sementara satu lagi ia tendang hingga jatuh pingsan.
“Hhh…” Zhiyuan mengusap wajahnya yang kuyup, matanya menyapu sekitar. Dua tim elite tumbang begitu saja, namun hujan deras menelan semua suara.
Wuuummm…
Tiba-tiba sorotan cahaya putih menyilaukan menembus hujan. Helikopter—tidak hanya satu, tapi tiga—muncul dari balik kabut, berputar mengelilinginya. Kamera dan senapan mesin otomatis sudah mengarah ke tubuhnya.
“Penyusup! Segera menyerah atau kami akan menembak!”
Suara pengeras terdengar, menggema di langit. Sorot lampu memaku tubuh Zhiyuan di tengah lumpur, seperti panggung eksekusi.
Zhiyuan mendongak, cahaya putih membutakan matanya. Tangannya mengepal, dadanya naik turun. Ia tahu, melawan pasukan negaranya sendiri adalah dosa besar.
Sementara itu, di ruang kontrol pelatihan, layar-layar menampilkan sosok asing yang sendirian menumbangkan satu tim elit.
“Apa-apaan orang ini!?”
“Kecepatannya sungguh gila! Darimana dia datang?”
“Cepat tangkap dia!”
Belum sempat mereka memerintahkan seluruh prajurit, tiba-tiba seorang pria yang tampak baru saja menerima telepon menghentikan mereka.
“Tunggu!" teriaknya membuat semua orang terdiam. " Ketua menyuruh kita untuk mengundangnya!"
“Hah!? Apa yang dipikirkan Ketua? Dia jelas orang asing yang menerobos area terlarang! Kenapa…”
Ruang rapat geger. Tapi perintah sang pemimpin adalah absolute di dunia kemiliteran.
Sementara disisi lain, Zhiyuan tengah dikepung helikopter. Kamera udara makin banyak, helikopter menyorotinya dari segala arah. Lampu-lampu putih menyilaukan, menelanjangi keberadaannya.
"Sial!" decaknya.
“Penyusup! Segera menyerah dan ikut kami ke markas untuk penyelidikan!”
Zhiyuan mengangkat kepalanya, menatap cahaya yang menusuk mata. Ia tahu, melawan pasukan negaranya sendiri adalah sesuatu yang tidak bijak.
Tak peduli sehebat apa dirinya, ia tidak akan mengangkat pedang melawan tanah air.
Tepat ketika ia ingin menyerahkan diri, di kejauhan, matanya menangkap sebuah batu besar berukir naga. Tepat di bawahnya, sebuah cahaya aneh berkilat.
"Di situ…" gumamnya.
Tanpa ragu, tubuhnya melesat. Sesaat sebelum helikopter mengepungnya, sosoknya menghilang begitu saja dari pandangan.
“Eh?!” Para pengawas mengucek mata. Sosok yang tadi ditelan cahaya mendadak lenyap.