Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
[Slow Burn]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Tubuh yang sama*
Selina masih belum membalas ciuman Leonhard, dia sedang memproses semua ini. Pikirannya buntu saat benda basah menjilat bibirnya. Seperti tombol otomatis, Selina membuka mulutnya dan saat itu juga, dia bisa merasakan senyuman Leonhard.
Ciuman itu semakin dalam, pelan tapi mendominasi. Tangan Leonhard berpindah dari lengan ke pinggangnya, menahan Selina agar tidak mundur. Nafasnya semakin berat dan oksigen tubuhnya semakin menipis.
Saat akhirnya Selina mulai sadar apa yang sedang terjadi, tangannya terangkat, menempel di dada Leonhard. Bukan mendorong, tapi menahan—antara ingin menolak atau justru ingin lebih dekat.
Leonhard munutus ciuman itu, kepalanya sedikit menunduk untuk menatap matanya. Nafas beratnya menabrak wajah Selina.
“I said… don’t stop me, Selina.” Suaranya berat, serak, dan basah. Gadis di depannya sampai tidak berkutik lagi ketika lengan besarnya memeluknya dengan erat sehingga mereka bisa merasakan detak jantung satu sama lain. Tanpa menunggi jawaban dari Selina, dia buru-buru menyambung pagutan mereka.
Kali ini, tidak ada jeda. Tidak ada ruang untuk berpikir. Ciuman itu semakin dalam, semakin liar, seolah Leonhard benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Selina merasakan detak jantung pria itu, detak jantung yang menghantam cepat dan kasar.
Tangannya yang tadi kaku, kini terangkat pelan, mencengkram sisi kaos yang dikenakan Leonhard. Rasanya seperti terjebak di antara dia hal yang saling bertolak belakang: logika yang berteriak untuk pergi dan tubuh yang menolak untuk menjauh.
Saat bibir mereka akhirnya terlepas, Leonhard tetap tidak melepaskannya. Dia malah mendorong gadis itu hingga mentok di meja kerjanya. Selina tersentak ketika paha belakangnya menyentuh meja, dahi mereka saling menempel.
“Tell me to stop,” ujar Leonhard dengan suaranya yang berangin karena nafasnya masih tersengal.
“You said not to stop you. Kenapa sekarang minta stop?”
Leonhard tersenyum simpul. “Good. Kerena malam ini… you’re mine.”
Tangannya naik ke rahang Selina, mengusap pelan sisi wajah yang memerah itu. Dia mendekat ke telinganya membuat Selina refleks memiringkan kepalanya—memberi akses kepada Leonhard.
“Tepuk aku, kalau aku terlalu kasar,” bisiknya.
Selina menghela nafas pendek, sekujur tubuhnya merinding—bukan karena takut, tapi antusias yang memuncak.
Leonhard mengecup pipinya, kemudian turun ke lehernya. Selina memejamkan mata karena sensasi asing di tubuhnya.
“Leon…” lirih Selina ditengah desahan ketika Leonhard mengigit kecil di titip sensitifnya.
“Hmm?” gumam Leonhard yang menghasilkan getaran pada lehernya. Selina meremas kaos lengan pria itu. Matanya masih tepejam nikmat dan Leonhard pun mengambil kesempatan itu untuk mengangkat sedikit baju yang dikenakan Selina.
Selina sedikit tersentak ketika tangan dingin Leonhard menyentuh kulit pinggangnya—telapak tangannya terasa sedikit kasar, mungkin karena dia sering olahraga angkat beban berat.
Nafas Leonhard masih berhembus di dekat lehernya, hangat dan berat. Di antara keheningan itu, yang terdengar hanya ritme napas keduanya yang makin kacau.
Selina membuka mata, menatap kosong ke ruangan ini. Pandangannya sedikit buram karena kenikmatan yang ditasakannya saat ini.
“Leonhard…” suaranya hampir tak terdengar.
Pria itu berhenti sejenak, menatap gadis itu dengan rahang yang mengeras. “Don’t say my name like that,” gumamnya pelan, nyaris menyakitkan. “Or I won’t stop.”
Selina menelan ludah. “Then don’t.”
Keheningan kembali jatuh di antara mereka—berat, padat, dan berbahaya. Tapi kali ini, keduanya tidak mundur.
Tangan Leonhard menjalar ke kain kaos Selina, dalam hitungan detik, terdengar suara koyakan kain. Selina tekesiap, matanya langsung menunduk, melihat pinggir kaosnya yang sudah robek.
“Leonhard!”
Pria itu terkekeh kecil. “Nanti aku ganti. Sekarang… nikmati dulu malam ini.” Dia merobek sisa kain yang masih menyatu, seketika kaosnya sudah terlepas dari badannya, hanya menyisakan dalaman yang menitup tubuh indahnya.
Selina menggeleng, tapi tidak mundur. “You can’t just do things like that… and expect me to stay quiet.”
Napas Leonhard masih berat, tapi kali ini, bukan karena dorongan fisik—lebih karena perasaan yang terlalu campur aduk.
“Aku gak bisa berhenti kalau udah menyentuh kamu,” katanya akhirnya, suaranya serak.
Tiba-tiba Selina merasa malu dan mencoba menutupi dengan kedua tangan yang memeluk tubuhnya. Leonhard tertawa kecil.
“You’re still the same. You also did that last time…”
Selina meringis mendengarnya. Dia tidak mau mendengar ceritanya yang memohon disentuh itu. Dia setengah sadar, pikirannya tidak lurus. Beda dengan kali ini dengan kesadaran seratus persen.
“Let me see… kamu cantik.” Kalimat itu terngiang di telinganya seperti sebuah mantra. Pelahan dia melepas dekapan lengannya, menunjukkan semua kepada Leonhard. Pria itu tersenyum dan mulai merabanya. Dari atas sampai perutnya, sedangkan yang sedang dieksekusi hanya bisa melempar kepalnya kebelakang—menggangung dengan mulutnya terbuka sedikit.
“May I…?” tanya Leonhard hati-hati. Ternyata dia masih sama—selalu menanyakan persetujuan sebelum menjelajah lebih dalam.
Leonhard menatapnya lama, seolah berusaha memastikan sesuatu—bukan sekadar keinginan, tapi keyakinan. Tatapannya dalam, seperti sedang menelusuri semua memori yang belum selesai di antara mereka.
Selina mengangkat kepalanya, merasakan tangan dingin Leonhard sudah berada di punggungnya dan memegang sisa lapisan di tubuhnya. Mengerti kemauan pria itu, Selina mengangguk pelan—dia sudah positif menyerahkan segalanya pada Leonhard.
Begitu Selina mengangguk, Leonhard menarik napas pelan, seolah melepaskan beban yang selama ini dia tahan. Ujung jarinya bergerak perlahan, menyentuh kulitnya dengan kelembutan yang membuat Selina merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar.
Tidak ada lagi suara selain detak jantung mereka yang saling bersahut. Setiap sentuhan Leonhard bukan sekadar menuntut, tapi mengingat—seperti seseorang yang menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang.
“Sudah lama…” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
Selina menatapnya, matanya bergetar. “Terlalu lama.”
Leonhard buru-buru menghempas map dokumen yang bertumpuk di atas mejanya, membuka lahan kosong untuk menidurkan Selina di atas meja. Selina meringis saat punggungnya bersentuhan dengan dinginnya meja dan Leonhard menatapnya seperti santapan pertama dalam hidupnya.
Pria itu sedikit membuka kaki Selina untuk dia berdiri di dekapannya. Tangannya mengelus, kanan dan kiri, luar dan dalam.
“You’re so soft… I can’t wait to devour this body of yours,” suaranya semakin serak, membuat Selina menggeliat—sentuhannya yang menjalar di tuhuh mungil itu.
“Please…” mohon Selina. Suaranya sedikit berbisik.
“Hm? Please what?”
Selina berdecak frustasi. “Do me.”
Pria itu tersenyum menang dan tanpa basa-basi langsung menyibakkan rok miliknya. Putih, halus, dan kenyal—pemandangan yang Leonhard rindukan. Dia bisa melihat spot kecil basah di bawah sana, senyumnya tidak bisa disembunyikan lagi.
“Jangan goda aku!” tukas Selina sambil menutupi diri karena malu.
“Tsk… tsk… tsk…” Leonhard mengeklik lidahnya tiga kali sambil bergeleng pelan. Tangannya menyentuh tangan Selina. “Aku bilang, kamu cantik. Jangan tutupi dirimu.”
Perlahan tangan besar itu memandu menyingkirkan dari pandangan indahnya. Nafas Selina tercekat ketika Leonhard mendekatkan wajahnya pada mahkota segitiga miliknya. Deru nafas panas dan getaran antisipasi dalam tubuhnya tidak bisa terbendung lagi membuat tangannya meremas angin.
Leonhard menatapnya dari bawah. Posisi ini bisa membuatnya gila. Tatapannya tajam dan menantang. Selina sangat suka… dia jatuh pada tatapan itu seperti setiap oksigen yang diambilnya langsung hilang.
Tubuh Selina hampir terjatuh ketika merasakan sentuhan lembut di atas penutuh mahkota segitiganya. Dia mengatupkan bibirnya sambil memejamkan mata. Dia sudah siap diambil.
Nafas Leonhard panas. Dari atas, tengah, sampai bawah bagiannya dia kecup. Tangannya melebarkan posisi kaki Selina untuk akses yang leluasa. Lalu dia menyingkirkan sedikit penutup itu, menampirkan mahkota yang indah. Pria itu menelan ludahnya, tidak sabar menyantap late-night supper di depannya.
Jangung Selina berdetak kencang, tubuhnya menegang ketika sesuatu yang lembab dan dingin itu bersentuhan langsung dengan mahkotanya. Tangannya refleks menjambak rambut Leonhard. Sesekali melihat ke bawah, tatapan mereka bertemu, membuat sensasi itu bertambah. Sedangkan Leonhard sebagai komando, terus memainkan satu-satunya permainan yang bisa mengalahkan Selina.
Selina mengerang keras, nafasnya tersengal, dan pandanganya mulai kabur dengan air mata kenikmatan. “God…” lirihnya.
Leonhard berdehem, menimbulkan getaran yang menjalar seperti sengatan listrik dalam tubuhnya.
“Suka?”
Selina tidak bisa menjawab karena suaranya tercekat dan hanya bisa memberikan jawaban lewat suara yang tidak bisa. Leonhard menjulurkan sesuatu yang lembab dan menjelajahinya lebih dalam. Gadis itu tidak bisa diam. Kini ruangan itu penuh dengan suara rintihannya.
Selina tidak lagi tahu di mana batas antara sadar dan kehilangan kendali. Tubuhnya menegang, lalu melemas, terbawa ritme yang ditentukan oleh Leonhard. Setiap gerakannya seolah berbicara bahasa yang hanya mereka berdua pahami.
Leonhard menatapnya lama, ekspresinya bukan sekadar hasrat—ada rasa sayang, ada sesuatu yang nyaris menyakitkan di matanya. Seolah dia menyesali semua waktu yang telah mereka buang, semua malam yang berlalu tanpa kesempatan seperti ini.
“Selina…” suaranya berat, menahan napas yang bergetar.
Dia hanya bisa menatap balik, dengan mata berkaca, menggigit bibir bawahnya agar tidak benar-benar hancur di hadapan pria itu.
Udara di ruangan itu menghangat; detak jantungnya beradu dengan napas Leonhard yang kian cepat. Mereka tak lagi butuh kata-kata. Setiap tatapan, setiap sentuhan, sudah menjelaskan semuanya—kerinduan, amarah, cinta, dan keinginan yang menahun.
Dan ketika semuanya mencapai puncaknya, waktu berhenti sejenak. Yang tersisa hanya diam—panjang, berat, dan menenangkan, seperti dua jiwa yang akhirnya berhenti berlari.