"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 | KELUARGAKU
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Halaman belakang tampak ramai malam ini. Yah, walau hanya diisi keluargaku, tapi tetap terhitung ramai dibanding biasanya – yang bahkan jarang dihampiri selain untuk menjemur pakaian.
Lusa, kan, mulai memasuki waktu ujian tengah semester, dan mama – papa selalu meluangkan waktu sehari sebelum ujian untuk berkumpul bersama.
Orang tuaku akan membelikan makanan atau minuman apapun sesuai permintaanku dan adikku, katanya untuk penyegaran kepala agar besoknya semangat belajar, sehingga lusa bisa totalitas menghadapi ujian karena segala kebutuhan sudah terpenuhi.
Mereka memang yang terbaik!
Sebelum-sebelumnya aku akan banyak mengganggu kemesraan Mama-Papa di saat-saat seperti ini, tapi sekarang aku lebih banyak duduk diam termenung, bersandar ke belakang pada kursi santai yang tengah kududuki.
Mataku mengamati bulan malam, tanganku menggenggam gelas, mulutku mengulum sedotan, dan kepalaku memikirkan kejadian tadi sore, di sekolah.
Terhitung empat jam sudah, sejak aku mengetahui kenyataan bahwa Zofan dan Sora adalah sepupu. Empat jam pula aku tahu kalau ternyata yang dimaksud Zofan dengan Sora sakit adalah, dia sedang berada di bawah pengaruh kekuatan nenek Zofan, dan … neneknya?
Astaga, aku masih tak menyangka mereka dalam satu keluarga yang sama. Sekarang aku mengerti kenapa saat itu nenek malah menggandeng Sora dan bukannya Zofan, itu karena mereka berdua cucunya nenek.
Kuembuskan napas panjang, lalu kuusak rambutku ke belakang sambil sedikit meremasnya. Padahal besok aku sudah harus belajar intens untuk ujian, tapi aku malah dipusingkan dengan masalah yang padahal bukan urusanku.
Lalu, bagaimana dengan komitmen yang sedang kupertahankan? Komitmen untuk tidak berhubungan dengan yang berbau si tiga serangkai. Bagaimana aku melakukannya, kalau ternyata mereka sebenarnya empat serangkai? Ada Sora di dalamnya, kan?
Ah, tidak, tidak. Walaupun Sora sepupu Zofan, bukan berarti mereka satu geng, kan? Buktinya, Sora jarang bergabung dan berkumpul dengan si tiga serangkai. Sora juga bukan bintang sekolah yang memiliki banyak penggemar seperti Zofan, Nero, dan Bian.
Walau sebenarnya itu justru aneh.
∞
Setelah mempertimbangkan beberapa hal, malam ini kuputuskan bahwa aku harus mengirim Zofan pesan untuk segera menuntaskan semuanya, maksudku soal gulungan kertas kedua itu, kali saja kali ini bisa dibereskan tanpa harus bertatap muka, kan?
Aku harus kosongkan pikiranku supaya besok bisa belajar dengan tenang.
“Kakak ada masalah apa akhir-akhir ini?”
“Eh?” Aku tersentak kecil dan menoleh pada Papa, dan interaksi kami mengundang perhatian Mama yang sedang memanggang daging, serta adikku yang tadinya sibuk bermain ponsel, untuk ikut menyimak dengan mimik bertanya-tanya.
Bagus, Papa menjadikanku bahan pembuka percakapan. Betapa tidak beruntungnya aku seharian ini.
“Tak ada masalah apa-apa kok, Pa,” jawabku sehati-hati mungkin, perlahan menegakkan posisi duduk.
Bibirku menyinggung senyum riang dengan harapan mampu mengelabui Mama dan Papa, lalu dengan sesantai mungkin kuseruput lagi minuman kesukaan yang sudah sejak tadi ada di tanganku; cokelat dingin.
“Apa laki-laki yang Kakak sukai membuat kekacauan pada hati Kakak?”
“Uhuk!”
Hampir saja aku tersedak cokelat! Buru-buru kuambil tisu untuk mengusap bibirku. Debaran-debaran jantung mulai menyeruak di dada. “L-laki-laki mana, Pa? Tidak ada, kok!”
“Kakak cuma pusing memikirkan pelajaran. Sejak kemarin ada saja ulangan dadakan, padahal sebentar lagi ujian. Jadi, rasanya seperti ditekan dan diperas habis-habisan, Pa.”
Terima kasih pada Klara yang sempat bercerita bahwa hari ini di kelasnya ada ulangan dadakan, aku jadi punya referensi untuk karanganku—
“Hm, tidak biasanya. Lagipula, Papa lihat nilai Kakak tidak ada yang buruk. Papa juga belum pernah lihat Kakak cemas masalah pelajaran, kecuali saat olimpiade.”
—yang ternyata tidak mempan.
“Apa laki-laki itu yang mengantar Kakak malam-malam?” tanya Papa lagi.
“Sepertinya bukan, sih, Pa,” dan malah Mama yang menjawab.
Mama dan Papa bersahut-sahutan menginterogasi, sementara adikku memandangi diriku penuh rasa penasaran, senyumnya mengembang lebar.
“Mama dan Papa tahu dari mana kalau yang mengantarku itu seorang laki-laki?!”
“Aduh, Kak, Mama kan bisa dengar,” jawab Mama. “Anak laki-laki yang antar Arin, kan, sudah punya pacar, Pa. Mama sih dengarnya seperti itu. Kalau tidak salah, justru, yang Kakak sukai itu namanya Sara, kan? Sira? Sera?”
Mata besarku semakin membulat mendengar pengakuan mama, “Mama menguping pembicaraan kami saat di depan gerbang rumah?!”
“Tentu saja~ jadi, yang mana yang namanya SaraSora? Kakak ada fotonya?”
Panik, aku sungguh panik.
∞
Kepalaku menggeleng tak percaya, hatiku merutuki otakku yang sering melupakan fakta bahwa aku bukan satu-satunya yang punya kekuatan di sini, di keluarga ini, di dunia ini. Aku seharusnya lebih menjaga mulut ketika masih di sekitar rumah, ada mama yang bisa mendengar banyak suara.
“Baru ini, loh, Papa lihat ada cahaya cahaya merah muda yang terang benderang memancar dari Kakak.”
Dan papa yang bisa mampu membaca suasana hati.
“Sudah berapa lama, ya? Sekitar awal kenaikan kelas, kan?” lanjut Papa, bertanya.
Astaga, kenapa hari-hariku selalu berjalan tidak tenang seperti ini?! Kalau hari ini saja berjalan tidak baik, bagaimana kedepannya? Perasaanku jadi tidak enak.
“Kakak, makin sering saja, sih, melamunnya?” tegur Mama. Aku mengerjap dan refleks menoleh ke arah Mama. Meski begitu, aku hanya diam mengapit bibir, bingung harus bereaksi bagaimana. Mama sampai menghela napas dan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
“Sudah lah, Pa. Arin sepertinya memang sedang banyak pikiran. Nanti kita tanyakan lagi setelah masa ujian selesai. Sekarang biarkan saja dia, mungkin dengan merenung bisa membuatnya lebih baik untuk hadapi hari esok.”
Napasku menderu lega, dalam hati berterima kasih pada Mama yang sudah bersedia memahami dan membebaskanku dari proses interogasi, dan membiarkanku memiliki waktu sendiri.
Kembali kusandarkan punggung pada kain kepala kursi.
“Kakak, ponsel Kakak berdering,” kata Mama.
Tak perlu alasan lagi, kan, kenapa Mama bisa tahu ponselku berbunyi, padahal benda kecil itu ada di kamar, sementara sekarang kami sedang berkumpul di halaman belakang.
“Tak apa, Ma. Biarkan saja.”
“Kakak yakin? Mana tahu penting. Bagaimana kalau si … siapa namanya? Serasora?”
Sora, Ma! Namanya Sora! Nama Sora jadi berubah-ubah di lidah Mama.
“Maaa!” rengekku, menutupi wajahku dengan salah satu tangan yang bebas.
“Aduh, Kakak berisik! Duduk di bawah pohon saja sana!” gerutu adikku, tangannya bergerak mengusirku sambil menunjukkan pohon mangga yang posisinya berada pas di ujung halaman belakang kami.
Aku mendesis dan mengangkat kepalan tangan padanya, hanya menggertak. “Kamu yang berisik!”
Tanpa membalas lagi, adikku menggerakkan mulut mencibir tanpa suara, sengaja meledekku. Adik yang menyebalkan! Memperburuk suasana saja, huh!
Selanjutnya, obrolan-obrolan kembali aman terkendali tanpa mengungkitku lagi. Tentunya aku lebih banyak berperan sebagai penggemar saja di sini.
Tak jarang juga aku tiba-tiba melamun sambil memainkan sedotan di bibir, sampai tiba-tiba sesuatu yang hampir terlupakan, padahal cukup penting, terlintas di kepalaku.
“Oh, iya, Ma! Pa! Kakak mau tanya sesuatu.”
...
Bersambung