Terpasung Gairah 3 Cogan

Akhirnya yang dinanti datang juga. Dia langsung menghampiri diriku yang tengah santai duduk. Tingkah yang biasa saja jika berdekatan dan tidak ada malu lagi kami menunjukkan kemesraan.

"Maaf ya reyhan, kamu menunggu lama 'kah barusan?" ujar Dilla menghampiriku.

"Enggak juga."

"Gimana kerjaan kamu? Apakah lancar-lancar saja? Kulihat nama kamu semakin lama semakin naik daun saja?" Dilla ingin tahu.

Wajah cantiknya selalu awet. Umur kami sama dan sudah bertahun pacaran, namun belum juga ada niatan untuk sekedar melamar ataupun tunangan. Kami berdua sepakat menikmati masa lajang dulu.

"Alhamdulillah, selama ini baik-baik saja. Semua ini 'kan berkat kamu juga, kalau dulu kamu tak menyemangatiku dalam bercita-cita menjadi artis, mungkin aku tak tahu lagi sekarang ini akan menjadi apa? Terima kasih Dilla," ucapku yang mencium tangannya mesra.

"Iya Rey, sama-sama."

"Kamu yang terbaik."

"Apa sih yang tak buat kamu! Kekasih tersayang yang selalu terukir dalam hati," ungkapnya yang sudah mengelus-elus pipiku.

Entah mengapa wanita didepanku yang begitu menarik atas kecantikannya, ingin sekali kudaratkan sebuah kehangatan ciuman dibibir mungilnya. Efek rindu yang begitu bergelora, tak bisa menahan hasratku untuk ******* bibirnya segera. Dilla kelihatan hanya diam, seakan-akan tahu apa yang menjadi keinginanku sekarang. Wajah kamipun kian detik demi detik semakin dekat saja, sehingga tak ada jarak lagi diantara tatapan netra yang sama-sama telah dikuasai nafsu.

"Uhhuk .. huuuk ... uhuuk," Suara batuk si pengawal yang tiba-tiba datang.

"Haaaiiiist, sial. Kenapa pengawal itu muncul lagi," Kekesalanku berguman dalam hati.

Seketika terlihat Dilla telah menjauh dari tempat dudukku, dan akupun tak suka atas sikapnya itu.

"Awas kamu pengawal, aku akan benar-benar buat perhitungan padamu. Kamu itu benar-benar hama, yang telah menggangu hubungan kami, maka aku harus segera membasmi kamu dengan racun. Tunggu saatnya tiba, akan kubuat kamu benar-benar jauh dari Dilla," Janjiku dalam hati geram atas kelakuan si pengawal.

Kalau aku punya ilmu bela diri saja pasti bisa mengalahkan si pengawal itu. Wajahnya tak akan kubiarkan utuh.

"Kamu telah mengagalkan ciuman kami yan ke dua kali, maka aku akan membuat kamu menerima akibatnya atas semua ini," guman hati yang menatap si pengawal penuh kebencian.

"Kalian jangan aneh-aneh dirumah ini! Apakah kalian tak ingat siapakah aku? Jadi jangan penah buat macam-macam denganku," Kemarahan si pengawal.

"Kamu itu apaan sih, Dio! jangan sok berkuasa dirumahku, seharusnya kamu itu ngaca siapa kamu itu sebenarnya?" balik kemarahan Dilla.

"Benar itu Dilla, baru jadi pengawal aja sok jagoan plus ngelunjak, dasar pengawal tak tahu diri," hinaku.

Walau tidak bisa menaboknya tapi cukuplah melontarkan kata pedas agar dia tahu diri.

"Kamu-?" suaranya tertahan.

"Sudah ... sudah, kalian tidak usah berdebat lagi. Pusing aku mendengarnya," simbatan Dilla tak suka.

"Sekarang kamu pergi dari sini saja Dio, sebab aku ada hal penting sama Reyhan," perintah Dilla.

"ENGGAK! Yang seharusnya pergi itu adalah pacar artis kamu ini, sebab ini sudah malam, jadi aku minta kamu pergilah dari sini," suruhnya mengusir.

"Kamu apa-apaan sih, Dio!" Kekagetan tak suka Dilla.

"Gak usah banyak membantah, atau aku akan telepon tuan dan nyonya besar, bahwa kalian sedang bermesum ria dirumah?" ancamnya yang menjengkelkan.

"Iiiich, dasar pengawal sialan. Awas saja kamu!" geramnya Dilla menjawab.

"Kamu mau pergi baik-baik, atau mau secara kasar," cakapnya memberi penawaran.

"Maaf Rey, kamu lihat sendiri 'kan betapa mengesalkan pengawal bocilku itu, maaf ... maaf ya," nada suara Dilla lesu.

"Iya, gak pa-pa sayang. Aku paham kok, kalau kamu sedang diawasi sama pengawal kurang kerjaan itu. Kita lain kali bisa ketemu lagi, jadi kamu gak usah sedih!" jawabku sambil mengelus pipinya, membelai secara lembut.

"Hhhhh. Ya, sudah aku akan pergi sekarang!" Hembusan nafasku pasrah, yang akan pulang tanpa membawa kenangan indah.

Mengalah juga sama keadaan. Mau memaksa kehendak, takut akan berimbas buruk sama Dilla. Tidak mau jika si oengawal itu beneran akan lapor pada orangtua Dilla. Bisa gawat kalau ketahuan, pasti bukan hanya dilarang tapi dipisahkan sampai tidak bisa berjumpa lagi.

"Maaf ya, Rey."

"Iya sayang."

Dillapun sudah mengantarku didepan pintu, dan terlihat pengawalnya hanya memperhatikan kami dari berdirinya didekat sofa tadi. Sebab kesal atas acara tadi yang sempat tertunda, tanpa ragu-ragu dan aba-aba langsung saja bibir Dilla kukuasai.

Cuuuuup, bibir mungilnya kini telah kucium mesra, dan kulirik si pengawal hanya memalingkan wajah kekanan. Detik demi menit bibir kami masih saja bertaut, tanpa peduli lagi saat si pengawal kelihatan geram sekali menahan emosi.

"Rasain kamu pengawal, akhirnya majikan kamu yang cantik ini masih saja tetap aku kuasai, walau kamu sudah menjaganya dengan ketat," cakapku dalam hati, masih memandang wajah si pengawal yang kian gelisah dengan perlakuanku dengan majikannya.

Lama sekali bibir kami saling bercumbu, dan si pengawal tak bisa berbuat apa-apa, saat ciuman kami begitu ganasnya masih saling bertaut.

"Lihat pengawalmu, cukup gelisah. Thanks atas kenangan indah dari bibirmu," bisikku ditelinga Dilla.

Dilla hanya menanggapi dengan wajah kesemuan merah. Tidak ada sepatah kata yang keluar.

"Bye ... bye ya sayang. Jangan emosi lagi ya menghadapi orang yang kurang kerjaan itu. Sudah dapat hadiah spesial hari ini, jadi tetap jadi wanita cantik dalam hatiku, ok!" Jari jempol kulekatkan dibibir, sebagai tanda pamit saat kami selesai melakukan hal romantis.

"Bye ... bye juga, Rey."

Langsung melambaikan tangan. Dalam mobil tertawa sinis namun penuh kemenangan. Tidak bisa menggunakan keke

uatan untuk mengalahkan pqengawal itu, namun tindakan yang gesit akhirnya bisa memenangkan.