NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 1

Suara pintu besi tergeser kasar memecah siang yang panas. Seorang pria paruh baya tampak membungkuk-bungkuk, memohon dengan suara lirih yang gemetar.

“Juragan… saya mohon, beri saya waktu dua minggu lagi. Saya pasti bayar hutangnya.”

Di depannya, berdiri sosok gemuk berperut buncit dengan senyum angkuh yang membuat bulu kuduk merinding. Di belakangnya, dua lelaki kekar berkaos hitam menyilangkan tangan di dada—menatap tajam bak anjing penjaga yang siap menerkam.

“Ardiano…” suara berat pria itu menggema pelan tapi mengintimidasi, “ini bukan pasar. Hutang tidak bisa ditawar-tawar.”

Ardi menunduk, wajahnya berkeringat meski angin semilir meniupkan udara.

Dari kejauhan, seorang gadis remaja berjalan pulang dari sekolah. Rambutnya terurai, matanya bening dan polos. Dia melambatkan langkah saat melihat pamannya yang berjongkok seperti pengemis.

“Paman… dia siapa?” tanya Zia lembut, langkahnya tertahan beberapa meter di belakang.

Juragan Tono menoleh. Pandangannya langsung tertuju pada Letizia Izora Emilia naik dari kaki yang bersarung rok seragam, naik ke wajah cantik dengan mata bulat penuh cahaya. Tanpa sopan santun, ia berjalan mendekat dan mencolek dagu gadis itu.

“Ardi, hutangmu bisa lunas,” ucapnya dengan suara jijik penuh nafsu, “asalkan gadis ini… jadi istriku.”

Zia terbelalak. Tapi yang lebih mengejutkan, pamannya—Ardi-langsung mengangguk.

“Iya, juragan. Ambil saja dia. Daripada dia jadi beban saya setiap hari."

“Paman?!” suara Zia gemetar, tubuhnya mundur satu langkah. “Zia gak mau! Zia gak mau nikah sama dia!”

“Turutin aja, Zia!” bentak Ardi. “Itu juragan! Kita gak punya pilihan!”

Zia menggeleng keras, air matanya menetes. “Zia bukan barang. Zia juga manusia, pam—!”

Tono menyentak, “Tangkap dia.”

Dua preman mulai bergerak, tapi Zia mundur dan menepis tangan mereka dengan panik.

“Kasih aku waktu… kasih Zia waktu buat bayar hutang Paman. Jangan bawa aku pergi!” serunya terbata.

Juragan Tono tertawa sinis. “Dari mana kamu bakal dapet uang, hah?”

“Zia akan cari kerja… Zia janji…” bisiknya.

Tono menatap tajam, lalu mengangguk malas. “Dua minggu. Kalau belum lunas, saya jemput kamu dan bawa kerumah saya.”

Tanpa basa-basi, Ardi menarik tangan Zia dengan kasar. “Saya pamit, Juragan. Anak kurang ajar ini harus dikasih pelajaran!”

Zia meringis, tangannya terasa perih. “Paman… lepas… sakit…”

“Diam! Bisa gak sih kamu nurut?!” hardik Ardi marah.

“Zia gak mau nikah. Zia bakal cari kerja, Zia janji…”

“Cari kerja ke mana?! Hidup ini keras, Zia!”

Di depan rumah kayu sederhana itu, seorang wanita bertubuh gempal dengan rambut diikat asal-asalan berdiri dengan ekspresi kesal. Wajahnya langsung masam saat melihat Ardi menyeret Zia masuk.

“Apa lagi ini ribut-ribut, Mas?!” tanya Bibi Lina, tangannya bersedekap di dada.

Ardi melempar tas Zia ke lantai dengan geram. “Anak ini nyusahin terus! Juragan Tono udah nawarin lunasin semua hutang, asal dia mau nikah sama dia. Tapi dia malah nolak mentah-mentah!”

Zia menatap bibinya penuh harap, “Bibi... Zia masih sekolah. Zia nggak mau, Zia bukan barang yang bisa dijual...”

Tapi bukan pembelaan yang ia dapatkan.

Bibi Lina mendelik. “Justru karena kamu sekolah terus, kita makin berat hidupnya! Kamu pikir nasi dateng sendiri ke dapur?!”

Zia terdiam, hatinya mencelos. Ia tahu hidup mereka susah, tapi...

“Kalau emang bisa lunasin semua masalah, ya nurut aja, Zia!” hardik Bibi Lina. “Juragan Tono itu baik! Dia mau tanggung semua biaya hidup kamu, masa kamu nggak tau terima kasih?!”

“Terima kasih? Buat dijualin?!” Zia tak tahan lagi. “Bibi nggak punya hati ya?!”

PLAK!

Tamparan keras dari Bibi Lina mendarat di pipinya.

“Jangan kurang ajar kamu! Udah numpang hidup di sini, masih banyak omong!”

Paman Ardi hanya mendengus puas di belakang, lalu masuk ke kamarnya. Sementara Zia berdiri terpaku, air mata menetes di pipi yang memerah.

Bibi Lina mendekat dengan wajah dingin. “Kalau dua minggu ke depan kamu nggak bawa uang buat lunasin hutang pamanmu, kamu harus siap-siap jadi istri Juragan Tono.”

Zia menggigit bibirnya. Dunia serasa runtuh di atas kepalanya.

______

Malam itu, Zia duduk di depan meja rias kecil di kamarnya. Cermin tua yang retaknya menyilang di sudut kanan atas memantulkan wajahnya yang letih. Dengan perlahan, ia menyisir rambut panjangnya yang halus.

“Zia harus cari kerja... kemana ya?” gumamnya lirih, tatapan kosong menatap bayangannya sendiri.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

“Zia gak boleh nyerah... Zia gak mau nikah sama Juragan Tono...” katanya lagi, kali ini lebih tegas meski suaranya masih bergetar. “Besok... sepulang sekolah Zia harus cari kerja…”

Tok tok tok.

Suara ketukan kasar di pintu membuyarkan pikirannya.

“Zia, keluar kamu! Bikinin kita makan malam!” seru suara nyaring Bibi Lina dari luar kamar.

“Iya, Bi...” jawab Zia pelan sambil menyingkir dari meja rias.

Dengan langkah lesu, ia keluar kamar dan menuju dapur. Saat membuka lemari dapur, matanya menatap dua butir telur. Hanya dua.

“Bi... telurnya tinggal dua. Kita dadar aja, ya? Biar bisa dibagi,” usul Zia hati-hati.

Tapi Bibi Lina bahkan tak menoleh dari HP jadul di tangannya.

“Saya gak mau telor dadar. Saya maunya diceplok.”

Zia menelan ludah. “Kalau diceplok dua-duanya... Zia gak kebagian, Bi.”

“Ya itu urusan kamu! Yang penting saya sama suami saya bisa makan enak malam ini.”

Zia diam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan. ia masak dua telur ceplok seperti yang diminta. Disiapkannya dua piring: satu untuk Bibi Lina, satu untuk Pamannya. Untuk dirinya?

Nasi, dan garam.

Ia duduk di pojok dapur, makan perlahan tanpa suara, menahan rasa perih di dada,Kalau bisa milih, dia juga mau makan telur malam ini...Tapi yang lebih penting sekarang—dia harus tetap kuat.

____

Di pojok dapur yang remang, Zia duduk diam sambil memeluk lututnya. Suara-suara dari ruang tengah terdengar jelas ke telinganya.

“Bosan aku, tiap hari makan beginian terus...” gerutu Paman Ardi dengan nada kesal.

“Sudahlah, Mas. Bersyukur aja,” sahut Bibi Lina malas sambil tetap sibuk menatap layar HP jadulnya.

“Bersyukur kamu bilang?! Tiap hari cuma makan telur, itu pun kadang nggak cukup!”

“Kalau si Zia nurut sama kemauan Juragan Tono, kita pasti udah enak sekarang... Hidup tenang, duit ngalir terus,” keluh Paman Ardi.

“Biarin aja dulu. Lama-lama dia juga nyerah. Mana ada anak sekolah bisa cari duit segampang itu. Dunia sekarang susah, Mas... Cari kerja kayak cari jarum di tumpukan jerami,” jawab Bibi Lina santai, seolah hidup Zia adalah taruhan murah yang bisa mereka tentukan semau hati.

“Hemmm...” suara berat Paman Ardi jadi penutup percakapan mereka.

Zia menggigit bibirnya kuat-kuat agar isaknya tak terdengar. Tapi air mata tetap tumpah pelan di pipinya.

Ia tahu, paman dan bibinya kasar. Tapi mereka satu-satunya keluarga yang ia punya. Meskipun sering menyakitinya, mereka juga yang menampungnya sejak kedua orangtuanya tiada.

“Aku nggak akan nyerah...”

Zia menyeka air matanya dan menatap tembok dapur yang mulai retak di beberapa bagian.

"zia akan cari kerja. Aku akan lunasi semua hutang mereka. Aku akan buktiin, kalau aku bisa berdiri sendiri tanpa harus jual harga diri."

Malam itu, Zia tak hanya makan nasi dan garam—ia juga menelan luka, dendam, dan tekad yang mulai tumbuh dalam diam.

Besok, semuanya harus mulai berubah.

...Aku pindah ke aplikasi noveltoon yang awalnya buat novel difizzo ★...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!