NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 23

Malam itu hujan turun pelan, membasahi kaca balkon apartemen. Raisa berdiri lama di sana, memeluk tubuhnya sendiri meski jaket hangat sudah melekat di bahunya. Dingin yang menggigit kulit tak seberapa dibandingkan dingin yang menjalar di dadanya. Kata-kata Bu Ratna terus terngiang, berbaur dengan bisik-bisik orang kampus yang menusuk telinga, juga tatapan-tatapan sinis yang tak bisa ia hapus dari kepalanya.

“Kalau benar sayang, lepaskan.”

Kalimat itu seperti mantra jahat yang terus mengganggu pikirannya.

Pintu balkon bergeser pelan, menandakan Ardan datang menghampiri. Suaminya itu berdiri di belakangnya, tanpa bicara, hanya menatap kota yang berkilau di bawah sana. Mereka lama diam, hanya mendengar suara hujan yang jatuh di kanopi.

“Kamu nggak masuk?” suara Ardan akhirnya pecah, dalam dan lelah.

Raisa menggeleng. “Aku nggak bisa tidur.”

Ardan mendekat, lalu memeluknya dari belakang. Pelukannya hangat, tapi Raisa bisa merasakan tubuh itu tegang. Ia tahu Ardan mencoba terlihat tenang, padahal hatinya juga sedang bergejolak.

“Kamu mikirin kata-kata orang lagi?” tanya Ardan lirih.

“Kalau aku bilang nggak, Om pasti nggak percaya.”

Ardan menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Raisa. “Rai… aku pernah bilang, yang penting cuma kita berdua. Yang lain? Nggak penting.”

“Tapi mereka bikin semuanya jadi berubah, Om. Kerjaan Om, hubungan kita… bahkan aku nggak bisa ke kampus tanpa jadi bahan omongan.”

“Biarlah,” jawab Ardan tegas. “Kalau dunia mau ngomong apa pun, biar saja. Aku tetap sama. Aku tetap suami kamu.”

Raisa menunduk. “Tapi aku nggak kuat kalau terus-terusan begini.”

Ardan berbalik, menatapnya. Mata itu, yang biasanya teduh, kini terlihat berkaca-kaca. “Jadi kamu mau apa? Ninggalin aku?”

Pertanyaan itu menohok seperti pukulan. Raisa tercekat, bibirnya bergetar. “Aku… nggak tahu.”

Ardan terdiam, tapi genggamannya di tangan Raisa mengencang. “Jangan ngomong kayak gitu. Jangan.”

---

Keesokan harinya, Ardan menghadiri pertemuan darurat dengan para kliennya. Ruangan itu terasa lebih dingin daripada biasanya, bukan karena AC, tapi karena sikap orang-orang di dalamnya.

“Ardan,” kata salah satu pria paruh baya berjas abu-abu, “kami menghargai kerja sama ini. Tapi… perusahaan kami harus menjaga citra. Dengan semua kontroversi di luar sana, kami—”

“—memutuskan menarik diri,” potong Ardan dengan suara datar.

Pria itu mengangguk, sedikit lega karena Ardan mengatakannya untuknya.

Ardan duduk diam, hanya mendengar. Tak ada gunanya berdebat. Ia tahu semua ini alasan yang dibungkus rapi. Mereka tak benar-benar peduli soal bisnis. Mereka hanya tidak suka Ardan menikahi Raisa—gadis muda yang dianggap “pengganggu” di mata mereka.

Saat pertemuan selesai, Ardan berdiri di depan jendela tinggi ruang rapat itu. Tangannya mengepal di saku jas.

Kalau semua ini demi citra, demi gengsi… lalu apa artinya kerja keras selama ini?

Teleponnya berdering. Nama Raisa muncul di layar.

Ardan terdiam sejenak sebelum mengangkat. “Sayang?”

Suara Raisa terdengar ragu. “Om… Om pulang cepat, ya? Aku… masak kesukaan Om.”

Ardan memejamkan mata. Sekuat apa pun ia mencoba terdengar tenang, Raisa pasti tahu ada sesuatu yang salah. “Iya. Aku pulang cepat.”

---

Di apartemen, Raisa berusaha membuat malam itu lebih ringan. Meja makan ditata rapi, sup ayam kesukaan Ardan mengepul di meja. Ia bahkan memakai baju kasual yang selalu dibilang Ardan “imut.”

Tapi begitu Ardan masuk, suasana tetap terasa berat. Pria itu melepaskan jasnya, duduk tanpa bicara.

“Om nggak suka masakanku?” Raisa mencoba memulai.

Ardan menggeleng. “Aku cuma… capek.”

“Kantor?”

“Ya.”

Keheningan kembali jatuh di antara mereka. Raisa menatap sup di mangkuknya, kehilangan selera.

“Om,” Raisa memberanikan diri. “Kalau semua ini bikin Om makin berat… mungkin aku harus—”

“Berhenti di situ.” Suara Ardan meninggi, membuat Raisa kaget.

“Tapi Om—”

“Aku bilang berhenti, Raisa!”

Air mata langsung menggenang di mata Raisa. Ardan buru-buru meraih tangannya, menyesal. “Maaf… aku nggak bermaksud marah. Aku cuma nggak mau denger kamu ngomong kayak gitu. Jangan pernah berpikir ninggalin aku. Jangan.”

Raisa menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi Om, kalau aku yang bikin semua ini jadi berantakan… apa aku nggak egois kalau tetap di sini?”

Ardan mengusap wajahnya, menghela napas panjang. “Kalau kamu pergi… itu yang benar-benar akan hancurin aku.”

---

Beberapa hari kemudian, Raisa kembali mendapat pesan dari Bu Ratna. Kali ini bukan ajakan, tapi perintah.

“Kamu datang ke rumah sekarang. Kita bicara baik-baik.”

Dan seperti yang diduga, percakapan itu tak ada bedanya. Bu Ratna tetap pada pendiriannya: Raisa harus meninggalkan Ardan demi “masa depan yang lebih baik.”

“Kamu masih muda,” kata Bu Ratna dingin. “Kamu masih bisa punya hidup yang layak tanpa harus menyeret Ardan dalam semua masalah ini.”

“Saya nggak mau ninggalin Ardan, Bu,” suara Raisa bergetar.

“Jadi kamu lebih mementingkan egomu daripada masa depan Ardan?”

Raisa tercekat. Ia tak bisa menjawab.

“Kalau benar sayang, lepaskan. Itu yang terbaik untuknya.”

Kalimat itu kembali menghantui Raisa saat ia pulang ke apartemen.

---

Malam itu, ia berdiri lagi di balkon. Hujan telah reda, tapi gemericik air masih terdengar dari pipa di sudut bangunan. Ardan mendekat, seperti biasa memeluknya dari belakang.

“Kenapa kamu sering banget di sini akhir-akhir ini?” bisiknya.

“Karena di sini… aku bisa berpikir,” jawab Raisa pelan.

Ardan mengecup kepalanya. “Jangan terlalu banyak mikir. Kamu cuma perlu satu hal: percaya sama aku.”

Tapi Raisa tahu, ia tak bisa berhenti berpikir.

Karena untuk pertama kalinya sejak menikah, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri:

Kalau aku benar-benar mencintainya… apa aku harus tetap tinggal? Atau justru pergi, demi kebaikannya?

Dan pertanyaan itu, lebih dari apa pun, membuatnya takut.

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Julia and'Marian: Ya kak, apalagi jaman sekarang sudah hal wajar seperti itu. miris banget.
total 1 replies
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!