Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam telah turun sepenuhnya di Kota Linhai. Namun meski kegelapan menyelimuti langit, jalan-jalan utama masih ramai oleh hiruk pikuk manusia. Lampion-lampion merah menggantung di setiap sudut, menyinari pedagang kaki lima yang berteriak menawarkan dagangan mereka. Aroma sate daging, kuah sup panas, dan roti panggang bercampur dengan bau keringat orang banyak.
Xuanyan berjalan perlahan, langkahnya tenang namun matanya tajam. Ia menyusuri keramaian dengan penuh perhatian, telinganya menangkap suara-suara lirih yang terlontar di antara percakapan warga.
“Katanya ada korban lagi semalam…” bisik seorang wanita tua sambil memeluk erat cucu perempuannya.
“Sudah hampir lima puluh orang, dan semuanya gadis muda! Apa gunanya punya Asosiasi kalau tidak bisa menjaga keamanan kota?” kata seorang pria paruh baya, nada suaranya penuh amarah.
“Benar. Sekarang aku takut membiarkan anakku keluar rumah. Kalau terus begini, kota ini akan mati perlahan…”
Xuanyan menunduk sedikit, mendengarkan dengan seksama. Kata-kata itu menusuk hatinya. Bayangan wajah-wajah pucat yang ia lihat di ruangan Meiyun tadi kembali terlintas di benaknya. Tangannya mengepal di balik lengan bajunya.
‘Yan Mo…,’ pikirnya dalam hati. ‘Kau benar-benar sampah. Tenanglah… waktumu sudah dekat.’
Ia terus berjalan hingga akhirnya kakinya membawanya ke sebuah jalan sempit yang tampak berbeda dari yang lain. Jalan itu redup, hanya beberapa lampion kusam yang menggantung dengan cahaya temaram. Papan kayu tua bertuliskan samar Gang Yanshui menggantung di pintu masuknya.
Xuanyan berhenti sejenak. Ia tahu tempat ini. Orang-orang menyebutnya gang terlarang. Rumah bordil, perjudian, dan berbagai kesenangan duniawi berkumpul di sini.
Ia menarik napas panjang.
‘Murnikan pikiran dan hati. Aku datang ke sini untuk mencari petunjuk, bukan untuk hal lain. Ya, hanya mencari petunjuk.’
Dengan langkah santai, ia masuk ke dalam gang itu.
Begitu melangkah lebih jauh, aroma harum bercampur dengan bau alkohol menyeruak. Di kanan-kiri, rumah-rumah bordil berjejer, pintu-pintu kayu terbuka memperlihatkan cahaya lampu merah dan suara tawa perempuan.
Wanita-wanita berparas cantik berdiri di depan pintu, mengenakan pakaian terbuka yang nyaris tak menutupi tubuh mereka. Senyum genit, lirikan menggoda, suara manja—semua dilontarkan pada setiap pria yang lewat.
Dan tentu saja, wajah Xuanyan yang tampan langsung menarik perhatian.
“Oh, tampan sekali… sini sayang, biar aku hangatkan malam dinginmu.”
“Wah, anak muda… kau pasti kesepian. Masuklah, hanya sebentar saja…”
Salah satu wanita bahkan langsung meraih lengannya, menempelkan tubuhnya pada Xuanyan. Aroma parfum menusuk hidungnya, membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Namun dengan gerakan lincah, Xuanyan menghindar, bibirnya kaku.
“Maaf… bukan itu tujuanku.”
Ia terus melangkah, menahan diri agar tidak tergoda. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba merasakan Qi. Namun… kosong. Tidak ada aura iblis. Hanya hawa nafsu manusia biasa.
Akhirnya, ia keluar dari gang itu dengan napas lega.
“Huft…” ia mengusap wajahnya, “itu tadi… berbahaya. Sangat berbahaya. Wanita… benar-benar mengerikan.”
Perutnya tiba-tiba berbunyi keras.
“Um… aku belum makan sejak meninggalkan sekte. Harusnya aku mendengarkan kata ibu…” gumamnya, senyum getir terlukis di bibirnya.
Ia berjalan sebentar hingga menemukan sebuah kedai makan sederhana. Tidak terlalu besar, namun cukup ramai. Aroma mie pedas yang mengepul dari dalam langsung membuat perutnya semakin ribut.
Xuanyan masuk dan duduk di meja kosong dekat jendela. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda menghampirinya dengan senyum ramah.
“Mau pesan apa, tuan muda?” suaranya lembut.
Xuanyan menoleh, menatap wajah jernih gadis itu. Ia tersenyum tipis.
“Semangkuk mie pedas… dan teh hijau, tolong.”
Gadis itu sedikit tertegun, lalu tersenyum manis. Wajahnya merona samar. “Baik. Ah, maaf sebelumnya… aku tidak pernah melihatmu di kota ini. Apakah kau pelancong?”
Xuanyan menyesap napas ringan. “Ya. Aku cuma pelancong.”
Gadis itu mengangguk. “Perkenalkan, namaku Lian Rou.”
“Xuanyan.”
Lian Rou tersenyum riang, seakan nama itu mudah teringat. Ia segera pergi ke dapur, lalu tak lama kembali membawa semangkuk mie pedas mengepul dan secangkir teh hijau hangat.
“Semangkuk mie pedas dan teh hijau datang~” katanya dengan nada ceria.
Xuanyan tersenyum. “Terima kasih.”
Namun Lian Rou tampak ragu. Wajahnya memerah, dan ia akhirnya memberanikan diri berkata, “Um… bolehkah aku duduk di seberangmu? Bukan bermaksud lancang… aku hanya penasaran. Dunia luar… pasti indah sekali, bukan?”
Xuanyan menatapnya, sedikit terkejut. “Kau belum pernah keluar dari kota ini?”
Lian Rou menggeleng pelan, senyumnya getir. “Aku harus membantu ayahku mengurus kedai keluarga. Jadi… aku hanya bisa mengubur mimpi untuk berkelana.”
Xuanyan terdiam sejenak, lalu tersenyum ramah. Ia mengisyaratkan agar gadis itu duduk. “Kalau begitu, biar aku ceritakan sedikit.”
Mata Lian Rou berbinar. Ia duduk dengan penuh semangat. Xuanyan lalu mulai bercerita—tentang gunung megah yang puncaknya menyentuh awan, laut biru yang luas tanpa batas, hutan purba tempat binatang buas berkeliaran. Semua itu ia ketahui hanya dari buku-buku di sekte, namun ia menceritakannya seakan pernah melihat dengan mata kepala sendiri.
Lian Rou mendengarkan dengan mata berbinar, seolah sedang mendengar dongeng. “Indah sekali… aku tidak menyangka dunia di luar begitu luas.”
Xuanyan tersenyum lembut. “Suatu hari nanti, kau juga pasti bisa berkelana. Membuka restoran mie keliling pun tidak buruk, kan? Kau bisa bertemu banyak orang baru, membagikan rasa masakanmu ke seluruh penjuru.”
Mata Lian Rou melebar. Senyumnya merekah. “Kau benar! Aku bisa membawa usaha keluarga ini sambil berkeliling dunia… itu pasti menyenangkan!”
Xuanyan ikut tersenyum melihat semangat gadis itu. Hatinya sedikit hangat.
Namun tiba-tiba—
“Rou! Cepat ke sini! Ada pelanggan baru!” suara lantang seorang pria tua dari arah dapur, mungkin ayah Lian Rou.
“Oh! Baik, Ayah!” Lian Rou berdiri tergesa, wajahnya masih merah merona. Ia menoleh sebentar pada Xuanyan. “Terima kasih… Xuanyan. Aku benar-benar berterima kasih…”
Ia lalu berlari kecil ke meja lain.
Xuanyan melanjutkan makan mie pedasnya dengan tenang, namun matanya mengikuti langkah Lian Rou. Ia tersenyum samar.
Namun senyum itu perlahan memudar ketika matanya menangkap sosok di meja yang baru saja dimaksud ayah Lian Rou.
Seorang pria duduk santai di kursi, rambut panjangnya berwarna merah menyala, seperti kobaran api. Matanya tajam, bibirnya melengkung tipis. Ada aura samar… entah apa, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Xuanyan meremang.
Xuanyan berhenti mengunyah. Jantungnya berdegup pelan, namun keras.