NovelToon NovelToon
Wanita Istimewa

Wanita Istimewa

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Mafia / Single Mom / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dunia yang Rasanya Runtuh

Hujan gerimis sore hari membasahi jalanan Jakarta, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Misha berjalan gontai, menenteng tas belanjaan dari pasar. Pikirannya melayang, mengingat kejadian-kejadian yang menimpanya. Ia menghela napas panjang, mencoba membuang semua pikiran buruk.

Tiba-tiba, suara nyaring mengagetkannya. "Jambret! Jambret!"

Misha mendongak, melihat seorang pria berlari kencang, diikuti seorang pria lain yang berteriak. Misha menatap si penjambret. Gerakannya cepat dan lincah. Tanpa berpikir panjang, Misha meletakkan tas belanjaannya di jalan, lalu menyelengkat kaki si penjambret.

"Brukk!"

Si penjambret jatuh tersungkur. Misha segera mengambil kembali tasnya, lalu memukul si penjambret dengan tas belanjaannya. Isinya sayuran, tahu, dan tempe, namun pukulan itu cukup kuat.

"Berani-beraninya kamu menjambret! Cari uang yang halal!" bentak Misha, matanya menatap tajam si penjambret.

Si penjambret tidak melawan. Ia hanya bisa meringis kesakitan. Pria yang tadi berteriak, kini sudah sampai di dekat Misha. Ia menatap Misha dengan tatapan penuh terima kasih.

"Terima kasih, Nona! Terima kasih banyak!" katanya, suaranya terengah-engah.

Misha menoleh. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengenali suara itu, suara yang sangat ia rindukan. Pria itu menatap Misha. Ekspresi wajahnya berubah. Dari yang tadinya penuh rasa terima kasih, kini menjadi syok, kaget, dan bingung.

"Misha?" bisik pria itu, suaranya bergetar.

Misha tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis. Ia yakin, ia tidak salah lihat. Pria itu... dia adalah Radit, suaminya.

"Mas... Mas Radit..." isak Misha.

Radit mematung. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Misha, yang seharusnya berada di Padang, kini berada di depannya, di Jakarta, di sebuah gang kecil, di bawah guyuran hujan.

"Misha... kamu... kenapa kamu di sini?" tanya Radit, suaranya nyaris tak terdengar.

Ia tidak peduli dengan penjambret yang sudah melarikan diri, ia tidak peduli dengan tas belanjaannya yang berserakan di jalan. Ia hanya ingin memeluk Radit. Ia ingin memastikan bahwa Radit benar-benar nyata, bukan hanya ilusi.

Ia melangkah maju, lalu memeluk Radit erat. Radit terkejut. Ia mencoba melepaskan pelukan Misha, namun Misha tidak mau melepaskannya. Ia memeluk Radit dengan erat, seolah takut Radit akan menghilang lagi.

"Mas... kenapa kamu tinggalkan aku?" bisik Misha di dada Radit. "Kenapa kamu lari dariku?"

Radit tidak menjawab. Ia hanya diam, membiarkan Misha memeluknya. Ia merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan. Hatinya terasa sakit, namun juga bahagia. Ia bahagia karena Misha ada di depannya, namun ia juga takut. Takut Misha akan membongkar rahasianya.

"Misha... kita tidak bisa begini," kata Radit, mencoba melepaskan pelukan Misha. "Kita... kita harus bicara."

Misha melepaskan pelukannya, menatap Radit. Air mata membasahi wajahnya. "Aku sudah menunggumu, Mas. Tujuh tahun aku menunggumu. Kenapa kamu tega meninggalkanku?"

****

Sakit dan lelah. Itu yang Misha rasakan saat mengikuti Radit masuk ke dalam mobilnya. Suara hujan yang berjatuhan di kaca mobil menambah pilu suasana di dalam sana. Misha menatap Radit yang kini duduk di balik kemudi. Wajahnya yang dulu selalu memancarkan kehangatan, kini terlihat tegang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati.

"Mas... kenapa kamu lari?" Misha memulai, suaranya serak. "Kenapa kamu tinggalkan aku?"

Radit tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, ke arah kaca mobil yang buram. "Misha, ada banyak hal yang harus aku jelaskan. Aku minta maaf..."

"Maaf? Maaf apa?!" Misha berteriak, air matanya kembali mengalir. "Kamu tahu betapa menderitanya aku, Mas?! Tujuh tahun aku di penjara karena perbuatanmu! Tujuh tahun aku harus menanggung malu! Dan kamu... kamu hidup bahagia?!"

Radit menunduk, tak sanggup menatap mata Misha. "Aku tahu, Misha. Aku tahu aku salah. Aku pengecut. Aku lari dari tanggung jawab. Aku tahu kamu pasti membenciku."

"Aku tidak membencimu, Mas!" Misha menggelengkan kepalanya, air matanya membasahi pipinya. "Aku hanya... aku hanya ingin tahu kenapa. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?"

Radit menghela napas panjang. Ia menoleh, menatap Misha dengan tatapan penuh penyesalan. "Misha, aku tidak ingin kamu menderita lagi. Aku ingin kamu hidup bahagia. Makanya aku tidak pernah menghubungimu."

"Bahagia? Bagaimana aku bisa bahagia?!" Misha berteriak, suaranya dipenuhi keputusasaan. "Aku sudah kehilangan anakku! Aku sudah kehilangan suamiku! Aku tidak punya siapa-siapa lagi!"

Radit memejamkan mata. Hatinya terasa sakit. Ia tahu, semua penderitaan Misha adalah kesalahannya. Ia tahu, ia adalah penyebab semua ini.

"Misha... aku... aku sudah punya keluarga baru," Radit memulai, suaranya bergetar. "Aku... aku sudah menikah lagi. Dan aku... aku sudah punya anak perempuan."

Misha terdiam. Kata-kata itu bagai belati yang menusuk ulu hatinya. Ia merasakan dadanya sesak, napasnya tercekat. Ia menatap Radit, mencoba mencari kebohongan di matanya. Namun, yang ia lihat hanyalah kejujuran.

Air mata Misha mengalir deras. Ia tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Ia menangis, membiarkan semua rasa sakit itu keluar. Ia tidak bisa membayangkan, Radit, suaminya, kini sudah menjadi milik orang lain.

"Kamu... kamu tega, Mas," bisik Misha, suaranya parau. "Kamu tega... setelah semua yang kita lalui."

"Aku tahu, Misha. Aku tahu aku sangat jahat," kata Radit, air matanya juga mengalir. "Tapi... kami sudah terlanjur saling mencintai. Dan anakku... dia sangat membutuhkan sosok ayah."

Misha menunduk, membiarkan air matanya membasahi bajunya. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia merasa, seluruh perjuangannya selama ini sia-sia. Ia membiarkan dirinya dihukum, hanya untuk menemukan Radit sudah bahagia dengan orang lain.

"Misha... aku minta maaf," Radit melanjutkan, suaranya penuh penyesalan. "Aku akan menceraikanmu. Kita... kita harus berpisah. Aku ingin kamu bebas. Aku ingin kamu memulai hidup baru. Aku... aku tidak ingin kamu terikat denganku lagi."

Dunia Misha hancur seketika. Ia datang ke Jakarta dengan harapan bisa kembali bersama Radit, namun yang ia dapatkan adalah perpisahan. Misha hanya bisa menangis. Ia tidak tahu, kapan penderitaan ini akan berakhir. Ia merasa, ia tidak akan pernah bisa bahagia.

****

Rinai hujan membasahi jalanan Jakarta, membasahi Misha yang berjalan gontai, tak peduli pada dingin yang menusuk tulang. Tas belanjaannya basah kuyup, sama seperti pakaian yang membalut tubuhnya. Air mata Misha mengalir, bercampur dengan air hujan. Ia tidak lagi bisa menahan kesedihan yang menghancurkan hatinya.

"Kenapa? Kenapa harus begini?" teriak Misha, suaranya parau. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Ia hanya ingin meluapkan semua emosinya. Ia sudah kehilangan segalanya: anak, suami, dan kini harga dirinya. Perjalanan ke Jakarta yang ia pikir akan membawa kebahagiaan, justru memberinya luka yang lebih dalam.

Langkah kaki Misha membawanya ke sebuah jembatan yang ramai. Ia berdiri di pinggir jembatan, menatap sungai di bawahnya yang gelap dan berarus deras. Ia merasa sangat lelah, lelah dengan hidup yang seolah tidak pernah memberinya kebahagiaan.

"Kenapa? Kenapa aku harus hidup?" teriak Misha, suaranya dipenuhi keputusasaan.

Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya. Misha terkejut, ia menoleh, dan melihat pria sombong yang pernah memakinya. Wajahnya yang biasanya dipenuhi amarah, kini terlihat panik. Ia menatap Misha dengan mata membulat.

"Apa yang lo lakuin?!" bentak pria itu. "Lo mau bunuh diri?!"

Misha menggelengkan kepalanya. "Lepaskan saya! Saya tidak mau bunuh diri!"

"Bohong!" Pria itu tidak percaya. "Kenapa lo teriak-teriak? Kenapa lo berdiri di pinggir jembatan?!"

"Itu bukan urusan Bapak! Lepaskan saya!" Misha berteriak, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman pria itu.

"Gue enggak akan lepasin lo! Gue enggak mau jadi saksi mata orang bunuh diri!" Pria itu terus menahan Misha, wajahnya panik.

"Saya tidak mau bunuh diri! Saya hanya ingin berteriak! Saya hanya ingin meluapkan emosi saya!" kata Misha, air matanya mengalir deras.

Pria itu terdiam sejenak, menatap Misha. Ia melihat kesedihan di mata Misha. Kesedihan yang sangat dalam. Ia akhirnya melepaskan genggaman tangannya. Misha segera terduduk di pinggir jembatan, menangis.

Pria itu ikut terduduk di samping Misha. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya diam, membiarkan Misha menangis. "Kenapa lo nangis?" tanyanya pelan.

"Saya... saya sudah lelah," jawab Misha, suaranya serak. "Saya sudah kehilangan semuanya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!