Lyra tak pernah menyangka bahwa orang yang paling ia percayai telah mengkhianatinya sebulan sebelum pernikahannya.
Alih-alih membelanya, ibu tirinya justru memilih untuk menikahkan tunangannya dengan kakaknya sendiri dan menjodohkannya dengan Adrian— seorang pria yang tak pernah ia tahu.
Namun, di tengah huru hara itu Adrian justru menawarkan padanya sebuah kontrak pernikahan yang menguntungkan keduanya. Apakah Lyra dan Adrian akan selamanya terjebak dalam kontrak pernikahan itu? Atau salah satunya akan luluh dan melanggar kontrak yang telah mereka setujui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rheaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Deg!
"Kenapa hal yang aku takutkan selalu saja terjadi?" batin Lyra, menutup mulutnya dengan satu tangan. Wanita itu berjongkok, berusaha menahan isakan tangis. Ia menempelkan punggungnya pada pintu kamar mandi, merasakan sensasi dingin yang perlahan menjalar ke tubuhnya.
Napasnya pendek-pendek seolah oksigen enggan mengisi paru-parunya. Air matanya perlahan luruh, membuatnya sesekali menarik ingus yang turun. Tangannya terulur, mengusap perutnya pelan. "Aku tidak mungkin menghilangkanmu, Nak. Tapi aku juga tidak ingin melihatmu tersiksa seperti mama dulu," batin Lyra sambil menahan isakan tangis.
"Tidak, mungkin saja alat ini salah. Aku–aku harus ke dokter sekarang." gumamnya seraya meraih ponsel dari dalam saku celananya. Ibu jarinya menggeser layar kecil itu dengan cepat, menekan sebuah nomor yang sering ia hubungi.
Tuut ... Tuut ... Tuut ... Klik!
Sena : Hai. Bagaimana akhir pekanmu?
Lyra : Kau sibuk hari ini?
Sena : Tidak. Apa kau ingin mengajakku berakhir pekan selama sekian lama?
Lyra : Bisa ... bisa temani aku ke dokter hari ini, Sena?
Sena : Kau sakit?! Apa suamimu sudah tahu?!
Lyra : Tidak dia belum tahu. Adrian masih tertidur, dia sangat kelelahan. Aku tidak ingin membangunkannya.
Sena : Baiklah. Aku akan siap dalam beberapa menit.
Lyra : Terima kasih, Sena. Aku akan menjemputmu.
Lyra memutuskan panggilan telepon, lalu segera bangkit dan keluar dari kamar mandi. Wanita itu berdiri di depan meja rias, melihat refleksi dirinya di cermin lalu sedikit merias wajahnya.
Sebelum pergi, Lyra terlebih dahulu memastikan Adrian masih tertidur. Ia menempelkan telinga pada pintu kamar suaminya dan mendengarnya selama beberapa detik. "Bagus! Dia masih tertidur," batinnya lalu mengendap-endap keluar dari apartemen.
*
*
*
"Maaf membuatmu menunggu lama," ujar Lyra seraya menoleh ke samping.
Sena sedikit menunduk kemudian menjatuhkan tubuhnya pada kursi penumpang depan. "Hei, kau seperti orang lain saja. Jangan khawatirkan hal yang tidak perlu," balas Sena memukul pelan lengan temannya.
"Tapi, apa ada poli yang buka pada hari sabtu?" tanya Sena, tangannya terulur meraih sabuk pengaman di sisi kirinya.
"Ya ada. Aku sudah mengecek sosial media rumah sakit X sebelum kemari." jawab Lyra lalu menjalankan mobilnya.
Di perjalanan, keduanya membicarakan banyak hal. Mulai dari hal sepele yang terjadi hari ini sampai masalah tentang Dion. Hingga tak terasa keduanya telah sampai pada tujuan mereka.
Kedua wanita itu bergegas menuju poli kandungan. Terlihat ada beberapa orang yang duduk sembari menunggu giliran untuk di panggil. Lyra dan Sena duduk beberapa saat sebelum akhirnya tiba giliran Lyra untuk masuk.
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dokter yang memeriksa Lyra menyatakan bahwa dirinya tengah mengandung. Tubuh Lyra membeku seketika, matanya terbelalak bagai tersambar petir di siang bolong. "Dokter, sejujurnya saya belum siap untuk menjadi seorang ibu," ucap Lyra, tangannya meremas erat ujung baju yang ia kenakan.
"Maaf, Ibu Lyra. Tapi kami tidak bisa melakukan apa yang ibu maksud. Itu bertentangan dengan profesi kami," jawab sang dokter seolah mengetahui maksud Lyra.
Lyra pulang dengan memikul kesedihan di pundaknya. Sena yang melihat ekspresi murung Lyra tidak berani menanyakan penyebab dari kesedihannya. Setelah mengantar Sena kembali ke kediamannya.
Sesampainya di rumah, Lyra duduk termenung di meja makan. "Maafkan mama, Nak." Wanita itu mengelus perutnya dengan lembut. Kristal bening kembali jatuh dari sudut matanya.
Ia kemudian meraih ponsel yang ada di dalam tas dengan terburu-buru. Ibu jarinya menari di atas layar kecil itu, mengetikkan cara untuk menggugurkan kandungan. Hatinya terasa berat, namun di sisi lain ia tak sanggup jika anak yang dikandungnya harus menjadi korban atas perbuatannya.
Tiba-tiba kepalanya mendongak dengan cepat, seolah baru saja mengingat sesuatu yang penting. "Test pack tadi! Harus ku singkirkan secepat mungkin!" batinnya lalu berlari ke kamar dan keluar untuk membuangnya.
Selang beberapa menit, saat ia mendorong pintu matanya langsung terpaku pada sosok Adrian yang berdiri di sana dengan memegang ponselnya. "Lyra ... kenapa kau tidak memberitahuku tentang hal ini?" tanya Adrian seraya meremas telepon genggam Lyra yang ada di tangannya.