Jihan Hadid, seorang EO profesional, menjadi korban kesalahan identitas di rumah sakit yang membuatnya disuntik spermatozoa dari tiga pria berbeda—Adrian, David, dan Yusuf—CEO berkuasa sekaligus mafia. Tiga bulan kemudian, Jihan pingsan saat bekerja dan diketahui tengah mengandung kembar dari tiga ayah berbeda. David dan Yusuf siap bertanggung jawab, namun Adrian menolak mentah-mentah dan memaksa Jihan untuk menggugurkan kandungannya. Di tengah intrik, tekanan, dan ancaman, Jihan harus memperjuangkan hidupnya dan ketiga anak yang ia kandung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Lima tahun kemudian dimana pagi itu udara masih sejuk, cahaya matahari masuk lembut melalui tirai tipis rumah kayu sederhana yang mereka tempati.
Jihan tersenyum hangat, meletakkan roti panggang dan susu di atas meja makan.
Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya tampak matang, tetapi matanya tetap menyimpan cahaya lembut seorang ibu.
“Ayo, jangan malas. Kalau tidak sarapan nanti sakit perut,” ucap Jihan sambil mengusap kepala Hakan.
Onur sudah lebih dulu duduk dengan rapi, memegang sendok dan garpu sambil berkata,
“Mama, aku mau tambah telur, ya?”
“Boleh, tapi habiskan dulu yang ada di piringmu,” jawab Jihan lembut.
Sementara itu Dilara, si bungsu, menarik kursinya dengan wajah masih cemberut. “Mama, aku mau susu cokelat, bukan susu putih.”
“Baiklah, Nona kecil. Mama buatkan sekarang.” Ia bangkit dan menuangkan bubuk cokelat ke dalam segelas susu hangat.
Ketiganya pun mulai makan dengan lahap. Jihan memperhatikan mereka satu per satu, hatinya hangat sekaligus pedih.
Namun setiap kali melihat wajah anak-anak itu, Jihan selalu merasakan kekuatan baru.
Mereka bertiga alasan Jihan masih hidup bersama dengan mereka.
Ia ingat betul bagaimana lima tahun yang lalu dia kabur dari Selim.
Saat lelaki itu menghentikan mobilnya dirumah, ia sangat terkejut ketika melihat Jihan keluar dari mobilnya.
Jihan menceritakan semuanya kepada lelaki yang bernama Kabir.
Kabir yang kasihan melihat Jihan berada di negara asing.
Akhirnya Kabir mengantarkan Jihan pulang ke Negaranya.
Jihan memutuskan untuk tinggal di kota lain agar Selim dan mereka bertiga tidak menemukannya.
"Maafkan aku Adrian, Davd, Yusuf. Aku masih belum bisa menemui kalian." gumam Jihan.
Onur menepuk bahu Jihan dan meminta tambah susu.
"Mama, sedang melamun apa?" tanya Onur yang selalu ingin tahu.
"Mama sedang melamun kenapa Onur suka minum susu coklat seperti Mama," jawab Jihan.
Hakam dan Dilara tertawa kecil mendengar perkataan dari Jihan.
"Onur kan anak mama, jadi Onur suka minum susu coklat," jawab Onur yang wajahnya mirip sekali dengan David.
Setelah selesai sarapan, Jihan mengantarkan mereka bertiga pergi ke sekolah.
Didalam mobil mereka bertiga bernyanyi dan tertawa kecil.
"Mama Jihan, apakah kita tidak punya Papa?" tanya Dilara.
Jihan meminggirkan mobilnya dan memandang wajah mereka bertiga.
"Apakah kalian tidak menyayangi mama lagi?"
Dilara, Hakan dan Onur memeluk Jihan dan meminta maaf.
"Maafkan Dilara, Ma. Dilara janji nggak mau bikin mama Jihan sedih lagi." ucap Dilara.
"Iya sayang, mama juga minta maaf karena tidak bisa menjawab pertanyaan kalian." ucap Jihan.
Mereka saling berpelukan dan setelah itu Jihan kembali melajukan mobilnya.
Beberapa menit kemudian Jihan menghentikan mobilnya di depan sekolah mereka bertiga.
"Nanti bekalnya jangan lupa dimakan ya,"
Mereka bertiga menganggukkan kepalanya dan segera masuk ke dalam kelas.
Setelah mengantarkan mereka, Jihan segera menuju ke toko kue yang ia dirikan.
Toko kue mungil itu berdiri di sudut jalan kota kecil yang tenang.
Bangunannya sederhana, bercat putih dengan jendela kaca besar yang dihiasi tirai renda.
Di atas pintu masuk tergantung papan kayu bertuliskan “Dilara’s Bakery” nama putrinya yang sengaja ia jadikan sebagai pengingat bahwa hidupnya kini hanya untuk anak-anak.
Begitu membuka pintu, aroma manis vanilla dan roti panggang langsung menyambut.
Jihan menggulung lengan bajunya, merapikan apron, lalu menyalakan oven yang sudah ia siapkan sejak subuh.
“Alhamdulillah, rezeki hari ini semoga lancar,” bisiknya sambil menata adonan croissant di atas loyang.
Toko itu bukan sekadar tempat usaha, melainkan juga tempat Jihan menyalurkan luka hatinya.
Setiap kue yang ia buat terasa seperti doa untuk ketiga buah hatinya agar mereka tumbuh bahagia meski tanpa seorang ayah di sisi.
Belll kecil di pintu berbunyi dimana seorang pelanggan masuk, ibu-ibu paruh baya yang sudah sering membeli.
“Pagi, Bu Jihan! Seperti biasa, saya pesan dua lusin donat cokelat ya. Anak-anak di rumah suka sekali.”
“Tentu, Bu. Tunggu sebentar ya, saya siapkan.”
Selesai melayani pelanggan, Jihan duduk sebentar di kursi dekat jendela, menatap jalanan yang perlahan mulai ramai.
Ia menghela napas panjang sambil membayangkan jika ketiga suaminya ada disini.
"Aku rindu kalian bertiga," gumam Jihan.
Sementara itu di kota lain dimana mereka bertiga masih belum berhasil mencari keberadaan Jihan.
"Made, apakah kamu sudah menempuh keberadaan Jihan di Bali?" tanya David yang sedang menghubungi Made.
"Aku belum bisa menemukan, Jihan. Bagaimana dengan kalian bertiga?"
David mengatakan kalau mereka bertiga juga belum menemukan keberadaan Jihan.
"Nanti aku akan menghubungimu lagi, Made." ucap David yang kemudian menutup ponselnya.
Mia dan Jose baru saja datang dan mengatakan kalau mereka tidak menemukan keberadaan Jihan.
"Sudah lima tahun kita mencari Jihan, tapi sampai sekarang kita belum menemukannya." ucap Mia.
"Kita mafia yang tidak becus mencari keberadaan istri kita sendiri," ucap Adrian.
Adrian menundukkan kepalanya, kedua tangannya mengepal di atas meja. Raut wajahnya terlihat letih, jenggot tipis menambah kesan kusam pada wajahnya. David menatapnya prihatin, sementara Yusuf hanya duduk diam dengan sorot mata sendu.
“Kita sudah menyisir Turki, Italia, bahkan sampai Bali. Tapi hasilnya nihil,” ucap Yusuf lirih, suara yang biasanya tegas kini terdengar rapuh.
David menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku kadang berpikir… mungkin Jihan benar-benar sudah pergi. Ledakan itu—”
“JANGAN KATAKAN ITU!” potong Adrian lantang, menghantam meja dengan kepalan tangannya hingga membuat cangkir di atasnya bergetar.
Ruangan mendadak hening. Adrian menarik napas kasar, matanya memerah.
“Kalau kalian ingin menyerah, silakan. Tapi aku tidak akan pernah berhenti mencari Jihan. Aku bisa merasakan dia masih hidup. Aku tahu istriku… aku tahu wanita kita tidak mati.”
Mia yang sejak tadi mendengarkan akhirnya angkat bicara.
"Bagaimana kalau kita berpura-pura mencari seseorang yang mau bekerja menjadi EO? Jihan pasti akan keluar dari kandangya."
Adrian mendekat ke arah Mia dan langsung memeluknya.
"Mia, kenapa kamu baru bilang sekarang? Kenapa tidak lima tahun yang lalu?"
David mengernyitkan dahi, menatap Mia dengan rasa penasaran.
“Maksudmu EO? Event Organizer? Apa hubungannya dengan Jihan?”
“Kalian lupa ya? Jihan itu orang yang nggak bisa diam. Dia pasti butuh sesuatu untuk menyalurkan pikirannya. Kalau dia benar-benar hidup di luar sana, aku yakin dia akan mencari cara untuk tetap dekat dengan dunia sosial, entah lewat usaha kecil, toko, atau pekerjaan yang menghubungkannya dengan banyak orang.
Dengan kita bikin lowongan besar-besaran, peluang dia muncul lebih besar. Mungkin bukan dia langsung, tapi orang yang mengenalnya bisa saja tersentuh.”
“Itu masuk akal. Kita nggak bisa terus menunggu keajaiban. Kita perlu membuat jebakan halus sesuatu yang bisa memancing Jihan keluar tanpa merasa terancam.”
Adrian melepaskan pelukannya, menatap Mia dengan mata berbinar untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Kamu benar. Kita buat jaringan EO palsu, seolah-olah sedang butuh tenaga kerja di beberapa kota. Kalau Jihan melihat, minimal dia akan tertarik atau sekadar memperhatikan. Dari situ, kita bisa mulai mencari jejaknya.”
Yusuf yang sedari tadi diam, akhirnya mengangguk mantap.
“Tapi kita harus hati-hati. Kalau Selim juga masih mencarinya, jebakan ini bisa jadi malah membahayakan Jihan.”
“Betul. Jadi kita harus bikin dua skenario untuk mencari Jihan, dan satu lagi untuk menyesatkan Selim. Kalau Selim ikut terjebak, kita bisa sekalian menghabisinya.”
Adrian mengepalkan tangannya dengan penuh tekad.
“Mulai hari ini, kita jalankan rencana itu. Aku tidak peduli berapa lama dan berapa banyak uang yang harus keluar. Yang jelas, aku akan menemukan istriku." ucap Adrian
Jose memeluk tubuh Mia yang sekarang sudah menjadi istrinya.
"Aku rindu Jihan, Jose." ucap Mia yang merupakan sahabat karib Jihan.
tapi baru kali ini baca tentang 3 mafia besar tapi selalu kalah cepat/Awkward/
karena pengorbanan seorang andrian dan ikatan yg kuat dr seorang andrian dan jihan. hanya ide thir