Putri Ceria gadis cantik yang harus menyandang status janda di usia muda. Saat berumur 19 tahun Putri menikah dengan pemuda dikampung tempat tinggalnya. Namun pernikahan yang baru seminggu itu harus kandas.
Setahun menjanda tidak mudah baginya. akhirnya Putri merantau ke kota. Di kota pun hidupnya penuh lika-liku.
"Bagaimana kalau aku yang membayarmu 1M," ucap kakek yang baru saja menolongnya.
Bagaimana kisah si janda muda hidup di Kota? Siapa kakek yang akan membayarnya 1 M?
Penasaran bagaimana kisah si janda muda, yuk langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom yara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Aku malu
Putri mengelus bokongnya yang mencium lantai taman.
Mendengar perkataan Putri, membuat Hardian terkejut hingga melepas pegangan tangannya, hingga Putri jatuh.
Sementara Sayla lebih fokus pada perkataan Putri, ia tidak peduli pada Putri yang terjatuh.
"Jadi, kalian sudah tidur bersama?" tanya Sayla tak percaya dan juga rasa takut jika itu benar. Selama menjalin hubungan dengannya, Hardian tidak pernah menyentuhnya.
Hardian yang baru sadar, jika dirinya menjatuhkan istrinya seketika duduk jongkok mensejajarkan tubuhnya dengan wanita itu, lalu mengangkat Putri ke dalam gendongannya.
"Maaf," ucapnya menyesal, pasti sakit sekali pikirnya.
"Tunggu, sejauh mana hubungan kalian?" tanya Sayla kembali karena pertanyaannya yang pertama tidak mendapat jawaban.
Hardian mengabaikannya, ia berlalu pergi menuju mobil.
"Beb, tunggu!"
Hardian menghentikan langkahnya. "Pergilah!"
Kau akan menyesal melakukan ini padaku. Wanita itu harus kuberi pelajaran.
Sayla juga pergi dari sana, berjalan cepat ke arah yang berbeda.
*
*
"Apa masih sakit?" tanya Hardian sembari mendudukkan wanitanya di atas sofa setelah mereka sampai di apartemen.
"Paman, tega sekali menjatuhkanku," rajuk Putri sembari mengerucutkan bibirnya.
"Maaf... " Hardian menatap Putri sendu, membuat wanita itu tak tega.
Hardian berdiri lalu berjalan ke arah kotak obat. Setelah mendapatkan obat yang dicarinya, ia kembali lagi ke sofa.
"Berbaringlah!"
Putri menatap salep yang dipegang Hardian.
Berbaring lalu m**engoleskan salep ke bokongku, yang benar saja, akan sangat memalukan.
"Tidak perlu, aku bisa mengobatinya sendiri," tolak Putri.
Tanpa banyak bicara, Hardian membaringkan tubuh wanita itu lalu duduk di samping wanita itu. Hardian menarik celana wanita itu sedikit kebawah. Lalu mengoleskan salep ke bokong wanita itu. Putri malu sekali, untung saja Hardian tidak bisa melihat wajahnya yang sudah seperti makan mie ayam super pedas.
Dia melihat bokongku dengan jelas. Emmm... apa dia akan tergoda lalu kami akan melakukannya lagi. Berdekatan dengan Hardian membuat Putri selalu berpikir mesum.
"Sudah," ucap Hardian sambil menarik celana Putri ke atas. Setelah itu meletakkan kembali obat salep ke tempat semula.
Hardian masuk ke ruang kerjanya. Sementara Putri masih terpaku di tempatnya.
"Hanya begini? Tidak ada kelanjutannya? Apa aku yang tidak normal yang menginginkan lebih dari hanya sekedar mengoles salep? Atau Paman yang tidak normal? Dia tidak tergoda dengan bokong setengah montokku ini." Berbagai pertanyaan muncul di kepala Putri setelah suaminya masuk ke ruang kerja.
Putri merogoh ponselnya yang ada di dalam saku. " Di saat seperti ini, aku membutuhkan kak Ratna. Tapi dia... " Putri menepuk jidatnya.
"Aku lupa bertanya pada Paman, bagaimana perkembangan pencarian, kak Ratna. Aku harus menemui, paman."
Putri bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam ruang kerja Hardian, tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
Setelah pintu ruangan terbuka.
Astaga...
Putri menutup kedua matanya sedikit. Setelah cukup puas melihat sesuatu di depan matanya, dengan cepat Putri menarik pintu lalu keluar.
Putri berlari ke arah kamar lalu mengunci pintu. Ia memegang dadanya yang berdegup kencang.
"Oh, bagaimana ini? Aku melihat sesuatu yang tidak boleh aku lihat."
"Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang." Putri berjalan kesana kemari. "Paman memegang penggaris, benarkah dia mengukur miliknya?"
"Jika itu benar, aku harus bagaimana? Pura-pura lupa atau bertanya, 'Jadi, berapa ukurannya, Paman?' oh, tidak, itu sangat memalukan."
*
*
Sementara di ruang kerja. Hardian terpaku di tempatnya berdiri. Dengan gerakan perlahan, Hardian menaikkan celana panjangnya ke atas dengan mimik wajah datarnya. Lalu berjalan ke arah sofa.
"Aku malu," pekiknya sembari menelungkupkan kepalanya ke sofa. Jelas Hardian malu, siapa yang tidak akan malu jika ketahuan melakukan sesuatu yang hot.
Ya, atas permintaan sahabatnya yang tak lain adalah dokter Vino, Hardian hendak mengukur miliknya. Gairahnya memburu, setelah mengoles salep di bagian tubuh sang istri, tapi sekuat tenaga Hardian menahannya karena rasa kurang percaya diri.
Hardian segera masuk ke ruang kerjanya setelah miliknya on, dengan tujuan mengukur miliknya. Ia menarik celananya ke bawah lalu mengambil penggaris sebelum membuka bungkus terakhir miliknya. Hal konyol yang sayangnya ia lakukan.
Saat akan membuka segitiganya, pintu tiba-tiba terbuka dari luar membuat Hardian diam terpaku.
Setelah puas menyalurkan rasa malunya, akhirnya Hardian keluar dari ruang kerjanya dengan mengendap-endap, ia seperti maling saja.
Hardian mengucap syukur, setelah berhasil keluar dari apartemennya. Segera ia masuk ke dalam mobilnya, lalu mengemudikan mobilnya menuju kantor.
Sakti terkejut melihat penampilan sang bos. Hardian berangkat ke kantor dengan memakai baju olahraga. Tidak hanya Sakti, tapi semua karyawan menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Entah kenapa penampilan sang bos terlihat cute di mata semua karyawan, kecuali Sakti tentunya, dia masih normal, meskipun belum punya pasangan.
"Bos, Anda... " Sakti menghentikan ucapannya setelah mendapat kode dari Hardian. Segera Hardian masuk ke ruangannya lalu masuk ke ruang pribadinya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai ia keluar lalu duduk di kursi kebesarannya.
Ponselnya berdering, terlihat nama Vino di layar ponselnya. Hardian hanya meliriknya sekilas, malas untuk berbicara dengan sahabatnya itu.
Ini semua karena dokter sialan itu.
Hardian mengusap wajahnya kasar.
"Bagaimana caraku menghadapinya, kenapa aku bodoh sekali, aku lupa untuk mengunci pintu." Hardian mendesah lalu menarik napas panjang.
"Kenapa tidak mengangkat telponku? Kau sangat merepotkan?" tanya Vino yang masuk begitu saja ke ruangan Hardian.
"Kau sudah berani masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu dulu?" tanya Hardian dengan tatapan tajam.
Vino terkekeh kecil, ia lupa siapa yang ada di depannya. Meskipun mereka bersahabat, tapi hubungan mereka sebenarnya tidak terlalu dekat, itu karena sifat Hardian yang begitu dingin.
"Aku sekarang doktermu, dan kau pasienku. Jadi, kau sudah tahu berapa ukuran milikmu?" tanya Vino santai. Dia tidak tahu saja apa yang dialami Hardian pagi ini.
Hardian tak menjawab, tapi dari bahasa wajah dan tubuhnya seperti mengatakan sesuatu, lebih tepatnya ia mengumpat dokter itu di dalam hati.
Vino tersenyum smirk. "Apa kau ketahuan saat mengukur milikmu?" Tebakan yang tepat sasaran membuat Hardian yang diam menjadi lebih diam lagi.
Vino terbahak setelah melihat respon sahabatnya itu. "Tenanglah, banyak yang sudah mengalaminya, kau laki-laki ke 97 yang ketahuan saat mengukur burung perkutut."
"Aku penasaran bagaimana respon wanitamu?" tanya Vino menggoda Hardian.
"Ck... "
Untuk permasalahan seperti ini, sebenarnya ini bukan bidang Vino, dia adalah dokter bedah. Tapi demi sahabatnya itu, lautan pun akan ia sebrangi.
"Baiklah, jika kau gagal maka cobalah cara kedua." Mereka saling menatap. "Malam ini juga, cobalah untuk melakukannya lagi." Saran terbaik yang Vino berikan. "Semoga berhasil." Vino memberi semangat sambil tersenyum.
Vino meninggalkan ruangan Hardian setelah mengatakannya.
👇👇👇
Terjebak Dalam Cinta Hitam