Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGATUR STRATEGI
Ketiga orang itu terpental, sementara togkat yang baru saja dicabut dari dinding berada di tangan Leontes dan mengeluarkan sinar keemasan. Tongkat ramping dengan kepala naga bermahkota di ujungnya. Mata naga itu terbuat dari batu merah menyala yang tampak hidup.
Leontes memandangi tongkat itu dengan kagum. "Kita telah mendapatkan pusaka tongkat naga!" serunya dengan mata berbinar.
Kirana dan Raka saling pandang. "Pusaka tongkat naga?"
"Ya! Ini adalah salah satu harta berharga yang jadi rebutan banyak bangsa! Aku akan beri tahu kalian kegunaan nya nanti. Sekarang mari kita lanjutkan dulu perjalanan ini." Leontes menyimpan benda itu di pinggangnya. Diam-diam ia mengakui bahwa Kirana adalah utusan langit untuk kekaisaran.
Raka dan Kirana mengangguk menyetujui. Kirana mengeluarkan peta yang tidak basah meski mereka telah menyelam di arus sungai ajaib tadi.
“Kau hampir kehilangan peta itu,” ujar Raka pelan.
Kirana tersenyum tipis. “Kalau sampai hilang, kita semua tersesat.”
Mereka bertiga mulai berjalan di tepi genangan, mencari tanda yang sesuai dengan peta. Di sinilah momen yang membuat Leontes mulai memperhatikan Kirana lebih dalam. Ia mengamati cara Kirana mengurai simbol kuno di peta, jarinya menyusuri guratan dengan penuh percaya diri, dan sesekali keningnya berkerut ketika menemukan perbedaan kecil antara peta dan jalur nyata di depan mereka.
“Kau menghafal simbol ini seolah sudah mempelajarinya bertahun-tahun,” puji Leontes, separuh kagum.
Kirana menoleh sebentar, matanya bertemu dengan tatapan sang pangeran. “Aku hanya berusaha memahami. Dan… aku memiliki benda pusaka juga yang membuat ku mudah memahami tempat ini. Seperti pernah kulihat sebelumnya.”
Raka memperhatikan interaksi itu dari belakang, merasakan ada sesuatu yang berbeda di tatapan Leontes. Namun ia memilih diam. Mereka masih dalam misi, dan gangguan sekecil apa pun bisa berbahaya.
Tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah pintu batu besar di sisi timur gua. Di tengah pintu itu terukir naga yang sama seperti di lorong sebelumnya, tapi kali ini matanya diisi dengan batu biru yang berkilau seirama dengan cahaya cincin Leontes.
“Ini pasti jalannya,” ujar Leontes.
Kirana melangkah maju, tetapi ketika jarinya menyentuh batu itu, sesuatu berdenyut di dalam pikirannya. Sekilas ia melihat gambaran: lautan luas, pulau dengan gunung tinggi, dan langit merah saat senja. Pandangan itu membuatnya tersentak mundur.
“Kau baik-baik saja?” Raka memegang lengannya.
“Aku… melihat sesuatu. Mungkin… itu tujuan kita.”
Leontes menatapnya dengan serius, lalu memegang cincin di tangannya. “Kalau begitu, kita buka gerbang ini. Bersiaplah. Setelah ini, tak ada jalan kembali.”
Suara langkah dari belakang lorong kembali terdengar—suku Al-Khazar rupanya masih memburu mereka. Tak ada waktu lagi. Leontes menekan cincin ke mata naga, dan pintu batu itu bergetar, bergeser perlahan, membuka jalan ke koridor bercahaya yang mengarah jauh ke depan.
Mereka bertiga masuk, dan pintu tertutup kembali di belakang. Saat itu, Kirana merasakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan—kehangatan aneh yang menyelimuti dirinya. Ia menoleh, mendapati Leontes berjalan sedikit lebih dekat dari biasanya, matanya tidak lagi sekadar pangeran yang memimpin ekspedisi… tapi seperti seseorang yang baru saja menemukan alasan lain untuk melanjutkan perjalanan.
Raka, yang berjalan di sisi lain, merasakannya juga. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di dimensi ini, ia merasa ada sesuatu yang harus ia jaga—bukan hanya misi, tapi juga Kirana.
Koridor itu semakin menyempit, namun dindingnya memancarkan cahaya lembut berwarna keemasan, seperti sinar matahari yang terperangkap di dalam batu. Suara langkah mereka bergema, dan udara mulai terasa lebih hangat dibanding gua sebelumnya.
Di ujung lorong, cahaya semakin terang hingga membuat mereka menutup mata sejenak. Saat kelopak mata Kirana terbuka lagi, ia ternganga melihat pemandangan di depan. Mereka kini berdiri di tepi tebing tinggi, menghadap lembah luas yang dipenuhi padang rumput bergelombang, hutan hijau, dan sungai berkelok yang memantulkan cahaya mentari. Angin membawa aroma segar yang berbeda—tanah ini terasa hidup, liar, dan belum terjamah.
“Wilayah timur…” Leontes menghela napas panjang. “Kita berhasil.”
Namun, tidak semua terlihat damai. Di kejauhan, kepulan asap tipis naik dari antara pepohonan. Raka menatapnya tajam. “Sepertinya bukan kabut biasa. Itu api perkemahan… atau mungkin, tanda pertempuran.”
Leontes mengangguk. “Kita sudah sampai di suku lain penghuni kawasan Timur. Kita harus hati-hati.”
Mereka mulai menuruni jalan setapak yang berliku. Kirana berjalan di tengah, Raka di depan, dan Leontes di belakang. Tapi sesekali, langkah Leontes mendekat, dan suaranya terdengar rendah di telinga Kirana.
“Kau benar-benar berbeda dari yang kuduga,” ujarnya sambil menatap punggung Kirana.
Kirana meliriknya singkat. “Maksudmu?”
“Aku mengira kau hanya akan menjadi pengikut dalam ekspedisi ini. Tapi kau… kau memimpin dengan caramu sendiri. Bahkan aku, seorang pangeran, harus mengakuinya.” Ada nada hangat di suaranya, membuat Kirana sedikit salah tingkah.
Raka, yang mendengar percakapan itu samar-samar, merasakan dadanya mengeras. Ia mencoba memfokuskan diri pada jalur di depan, tapi matanya terus mencuri pandang ke arah mereka. Ada sesuatu yang ia tak suka dari nada suara Leontes—terlalu akrab, terlalu pribadi.
Matahari mulai condong ke barat saat mereka mencapai dasar lembah. Sungai jernih mengalir di hadapan mereka, dan sebuah jembatan kayu tua membentang melintasinya.
“Jembatan ini tidak terlihat aman,” Raka memperingatkan.
Leontes menguji pijakan pertama, kayu itu berderit, tapi tidak patah. “Kalau kita cepat, kita bisa menyeberang sebelum malam.”
Kirana melangkah, namun saat ia berada di tengah, angin kencang tiba-tiba berhembus. Papan kayu bergoyang, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, dua tangan bereaksi sekaligus—Raka menariknya dari depan, Leontes menahannya dari belakang.
Tubuh Kirana terhenti di antara keduanya, napasnya memburu. Matanya bertemu dengan Raka, lalu beralih ke Leontes. Dan di momen singkat itu, ia merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan—dua tatapan yang sama-sama ingin melindunginya, tapi dengan cara yang berbeda.
Setelah berhasil menyeberang, mereka duduk sejenak di bawah pohon besar untuk beristirahat. Senja mulai turun, membungkus lembah dengan cahaya tembaga.
“Kita bermalam di sini saja,” usul Raka. “Lebih aman daripada memaksa berjalan di kegelapan.”
Leontes setuju, tapi saat mereka menyalakan api unggun kecil, ia duduk di samping Kirana, berbicara pelan tentang peta dan jalur esok hari. Raka hanya mengamati dari seberang api, diam… namun di matanya tersimpan tekad yang semakin kuat. Ia tahu, perjalanan ini tidak hanya menguji nyali dan kekuatan mereka—tetapi juga hati.
***