Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Yang Tak Pernah Ada
Dalam sunyi pagi sebuah kota, ketika aroma kopi arabika menyelinap dari jendela-jendela kecil butik tua yang terselip di gang sempit. Seorang perempuan berdiri di depan cermin, bukan untuk mematut diri, tetapi untuk mengingat siapa dirinya dulu.
Xanara Hazel…
Orang-orang mengenalnya kini sebagai ‘The phantom Needle’. Sosok misterius yang desainnya membius pentas mode di beberapa negara bahkan hingga ke negara asalnya. Tapi jauh sebelum cahaya sorot runway dan pujian dari para kritikus mode, ia hanya gadis asing dengan dua koper, selembar sketsa yang lusuh, dan tekad yang terlalu keras untuk dunia yang terlalu sunyi.
Usianya dua puluh dua tahun ketika pertama kali menginjakkan kaki di negara asing. Tak ada keluarga, taka da modal kecuali keyakinan bahwa kain bukan sekedar bahan, tapi bahasa. Ia bekerja serabutan menjahit baju tidur untuk butik kecil di distrik artisan, menyambung hidup sambil menyimpan mimpi dalam laci terkunci.
Dunia mode tidak ramah pada yang tak punya nama. Tapi Xanara tak butuh nama, ia hanya butuh kesempatan. Dan ketika itu datang dalam bentuk pesanan tak terduga dari istri seorang duta besar, hidupnya berubah. Satu gaun, satu pesta, satu foto di majalah gaya hidup kelas atas… sisanya menjadi sejarah yang ia rajut dengan benang kesabaran dan jarum keberanian.
Kini, Xanara bukan lagi gadis yang mengendap-endap tidur di ruang penyimpanan butik demi menghemat uang sewa. Ia adalah seorang CEO lini fesyen multinasional, pemilik label yang menghiasi etalase kota-kota besar.
Namun, dibalik gemerlap prestasi dan desain haute couturenya yang mempesaona, Xanara tetap perempuan yang percaya : Setiap potongan kain menyimpan cerita.
Dibalik panggung Fashion Week yang megah, ketika blitz kamera meledak seperti kembang api dan tamu-tamu VVIP menyebut namanya dengan lidah bercampur kagum dan aksen, Xanara hanya diam.
Gaun terakhir barisan koleksinya telah berjalan, tepuk tangan bergema, orang-orang berdiri. Nama ‘XANARA’ terpampang dalam huruf kapital di layar belakang runway, tapi dadanya justru terasa sesak.
Ini bukan pertama kalinya ia sukses, bukan pula yang terbesar. Ia telah menaklukan beberapa negara dan menguasainya. Brandnya telah menjadi simbol kelas, kemewahan, dan kecerdasan.
Namun malam ini berbeda, dibalik sorot lampu gemerlap tepuk tangan, pikirannya melayang pada satu kata yang belakangan terus menghantuinya, yaitu ‘pulang’.
Seseorang menepuk pundaknya, yang tidak lain adalah manajernya. Xanara tersenyum seadanya, kemudian menyalami para tamu, menjawab beberapa pertanyaan media dengan kalimat terlatih dan senyum mekanis.
Tapi jiwanya sedang berjalan jauh, melewati waktu, melewati benua. Menuju sebuah kota kecil di belahan dunia yang dulu memutuskan untuk menyingkirkan anak yatim piatu tanpa nama, yang kini berdiri sebagai ikon mode dunia.
“Kesuksesan ternyata tidak pernah bisa mengusir rasa kehilangan” Batin Xanara.
Dan saat ini Xanara sudah bulat dengan tekadnya, jika sudah waktunya kembali. Bukan untuk mencari rumah, tapi untuk menciptakannya sendiri.
Xanara menuju ke belakang panggung, menuju ke tempat yang sudah panitia siapkan sebagai ruangan istirahat untuk Xanara.
Tatapan mata Xanara begitu kosong, membuat Lucy merasa hawatir akan kondisi Xanara saat ini.
“Xanara, are you okay?” Tanya Lucy.
“Tiketku?”
Bukan menjawab pertanyaan dari manajernya, Xanara justru menanyakan hal lain, yang tentunya tanpa itu Xanara tidak akan pernah bisa kembali.
“Sudah. Penerbangan pagi” Jawab Lucy.
Xanara bisa bernafas lega setelah Lucy mengatakan jika persiapannya untuk pulang sudah siap. Dia menatap Lucy yang masih setia menatapnya dengan lekat.
“Lucy, tetaplah disini. Aku pasti akan sering berkunjung”
Mulut Lucy seolah ingin mengatakan banyak hal, tapi dia tidak mampu. Hanya air mata yang menjelaskan kepada Xanara saat ini.
Xanara memeluk Lucy dengan erat, dia mengingat bagaimana dulu dia dengan Lucy berjuang di negara ini. Dan, jika bukan karena bantuan dari Ibu Lucy, mungkin Xanara tidak akan di kenal oleh Dunia.
Ibu Lucy merupakan seseorang yang turut serta membantu Xanara, membawa hasil jahitan Xana ke butik-butik kecil yang berada di kota tersebut, dari butik kecil itu lah Xanara tumbuh hingga sebesar sekarang.