" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Hening menyelimuti ruang kerja Ria. Meski suara jam di dinding berdetak pelan, hati Ria berdentum kencang. Surat gugatan yang dikirim ke kantornya tiga hari lalu masih tergeletak di mejanya—tertulis atas nama seseorang yang tak dikenal: Yunita D. Arsyad.
“Siapa dia? Dan kenapa menggugat aku secara perdata atas tuduhan wanprestasi?” gumam Ria, menatap Julio yang berdiri dengan tangan terlipat di dada.
Julio menarik napas panjang. “Gue udah selidiki, Ri. Nama itu fiktif. Tapi alamat pengacaranya... itu kantor hukum yang pernah dipakai... Putri.”
Darah Ria terasa dingin seketika.
“Dia benar-benar gak kapok,” gumam Ria lirih. “Dia mau main kotor lagi.”
Julio mengangguk. “Dan sayangnya, kali ini dia nyerang lo lewat jalur hukum. Dia tahu lo udah bukan Ria yang sembunyi-sembunyi di balik identitas gadis desa. Dia mau menghancurkan lo dari sisi yang paling lo jaga—integritas lo sebagai pengusaha.”
---
Sementara itu, di rumah besar keluarga Pranata, suasana tidak kalah panas. Winda tengah duduk di depan cermin, memainkan rambutnya dengan tatapan kosong. Perutnya yang membuncit kini jadi perisai terakhirnya—pengikat terakhir yang bisa membuat Riyan tetap tinggal.
“Dia udah gak tidur sekamar lagi sama aku, Put... Kau harus bantu aku,” keluh Winda pada Putri yang duduk santai di sofa, menggulung rambutnya.
Putri menatapnya sekilas. “Kau terlalu lembek, Win. Kalau kau mau menang, kau harus bikin dia gak punya pilihan lain selain bertahan.”
Winda mengernyit. “Maksudmu?”
Putri tersenyum miring. “Kau tahu, pria seperti Riyan hanya takut pada dua hal: kehilangan reputasi dan kehilangan kendali. Buat dia merasa dua-duanya terancam, dan dia bakal balik—entah dengan cinta atau paksaan.”
Winda terdiam, lalu tersenyum pelan. Ada api menyala di matanya.
---
Di tempat lain, Andre dan Ria baru saja pulang dari kunjungan bisnis ke cabang perusahaannya di Bandung. Nayla yang semula menolak ikut, kini mulai menunjukkan rasa ingin tahu terhadap wanita yang akan jadi ibu barunya. Namun tetap saja, dinding kecil masih terpasang di hati gadis kecil itu.
“Ayah, Bu Ria itu kerjaannya apa sih? Kok banyak orang takut sama dia?” tanya Nayla polos, sambil memainkan es krimnya.
Andre tersenyum. “Bu Ria itu orang yang hebat. Dia punya perusahaan sendiri. Tapi dia juga orang yang lembut dan sayang sama orang yang dia cintai.”
Ria hanya tersenyum mendengar itu. Tapi hatinya tak setenang wajahnya. Pikirannya masih dihantui oleh surat gugatan itu, juga pesan-pesan anonim yang masuk ke email kantornya berisi ancaman dan kata-kata kotor.
Julio sempat memperingatkan, “Lo harus waspada, Ri. Ini bukan sekadar serangan bisnis. Ini personal. Dan seseorang... benar-benar benci sama lo.”
---
Malam harinya, Winda melancarkan skenario yang dia dan Putri rancang. Ia menyelinap ke kamar Riyan, menunggu hingga lelaki itu pulang. Ia duduk di ranjang dengan wajah pucat dan mata sembab.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Riyan dingin.
Winda menatapnya pilu. “Aku... pendarahan ringan. Aku takut terjadi apa-apa sama kandunganku.”
Sekilas, ada getaran di wajah Riyan. Ia mendekat dan memeriksa. “Kamu udah ke dokter?”
Winda menggeleng. “Gak sempat. Aku nunggu kamu. Aku takut sendirian.”
Riyan menghela napas. “Besok pagi kita ke dokter. Sekarang tidur.”
Tapi saat ia berbalik, Winda memegang tangannya.
“Riyan... Aku tahu kamu gak cinta lagi sama aku. Tapi... bisakah kamu pura-pura cinta sampai anak ini lahir? Hanya itu. Setelahnya... kalau kamu tetap mau pergi, aku gak akan tahan.”
Kata-kata itu berhasil menusuk. Riyan terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Oke.”
Winda tersenyum samar—senyum penuh kemenangan.
---
Keesokan harinya, Julio datang dengan kabar buruk. “Ri, lo harus lihat ini.”
Ia menyodorkan tablet ke Ria, menampilkan berita di salah satu media gosip online:
"Pengusaha Wanita R terkenal digugat atas dugaan penipuan—terlibat cinta segitiga dengan pria beristri?"
Ria membeku.
Andre yang duduk tak jauh langsung berdiri. “Apa-apaan ini?”
“Fitnah,” desis Ria lirih. “Dan ini bukan sekadar gosip. Ini serangan yang terorganisir.”
Julio menambahkan, “Gue udah cek, berita ini muncul bersamaan di lima portal. Semua pakai narasumber anonim, tapi polanya mirip: menjatuhkan reputasi lo secara personal dan profesional.”
Andre memeluk Ria. “Kita akan lawan mereka. Aku gak akan tinggal diam.”
Tapi Ria hanya mengangguk lemah. Dalam hatinya, badai sudah mulai menyerang. Dan ia harus berdiri lebih kuat dari sebelumnya.
---
Di balik semua kekacauan itu, seseorang tersenyum sambil menutup laptopnya. Tangannya menggenggam segelas anggur, matanya menatap tajam ke layar yang menampilkan wajah Ria di salah satu berita gosip.
“Game dimulai, Ria. Kita lihat, seberapa tangguh kamu sebenarnya.”
Seseorang yang tak pernah disangka... mantan suami dari sahabat Ria dulu. Sosok dari masa lalu yang menyimpan dendam karena pernah dihancurkan oleh keputusan Ria di masa lalu—dan kini ia kembali, bukan hanya untuk balas dendam, tapi untuk mengambil semua yang pernah Ria rebut dari hidupnya.
Ria menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Di ruang rapat utama, beberapa staf senior perusahaannya duduk dengan wajah cemas. Gosip online yang menyerangnya mulai berdampak pada kepercayaan publik terhadap perusahaannya, bahkan beberapa klien luar negeri meminta klarifikasi resmi.
“Bu Ria,” ucap salah satu staf, “beberapa investor bertanya apakah perusahaan ini sedang dalam masalah hukum. Kami... butuh arahan. Apakah kami perlu mengeluarkan pernyataan resmi?”
Ria menatap Julio yang duduk di ujung meja. Ia mengangguk pelan. “Kita keluarkan pernyataan resmi. Tapi jangan defensif. Kita tetap tenang dan profesional. Sampaikan bahwa tuduhan itu tidak berdasar, dan proses hukum akan kita tempuh jika berita fitnah ini terus menyebar.”
Seketika itu juga, seorang wanita muda—sekretaris baru Ria yang ditunjuk oleh salah satu direktur—berdiri dan menyela dengan suara ragu.
“Maaf Bu... tapi menurut saya... kita mungkin harus pertimbangkan cuti sementara untuk Ibu, sampai semua ini selesai...”
Ruangan seketika hening.
Julio menatap tajam sekretaris itu. “Siapa kamu? Baru juga dua minggu kerja di sini, udah berani kasih saran copot bos sendiri?”
Wajah wanita itu memerah, tapi ia tetap berdiri dengan percaya diri. “Saya hanya menyampaikan yang beredar di dalam. Banyak karyawan takut nama perusahaan rusak karena urusan pribadi Bu Ria.”
Ria menarik napas dalam. Ia mengangguk pelan. “Terima kasih atas masukannya. Tapi perusahaan ini berdiri di atas kerja keras dan integritas. Saya tidak akan lari hanya karena diserang dari belakang.”
Sekretaris itu terdiam, lalu duduk. Tapi sorot matanya dingin, dan saat ia melirik ponselnya, ada notifikasi pesan masuk dari nama yang tak asing: Putri.
---
Sementara itu, Winda duduk di ruang tamu rumah besar itu, sedang membungkus sebuah kotak berwarna biru langit. Di dalamnya, ada baju bayi mungil dan secarik surat tulisan tangan.
“Kau yakin mau kirim ini ke kantor Andre?” tanya Putri sambil memeriksa surat itu.
Winda mengangguk. “Aku ingin dia tahu, bahwa aku dan bayi ini tidak akan pergi. Bahkan jika dia menikahi Ria, aku akan tetap menjadi bagian dari hidupnya. Surat ini akan dibuka oleh staf kantornya. Biar semua orang tahu... Andre bukan pria sempurna seperti yang dikira.”
Putri tersenyum licik. “Langkah yang bagus. Sekarang kita buat Ria kehilangan semuanya... satu per satu.”
Winda menatap surat itu. Hatinya seperti batu. Ia tak peduli lagi apakah Riyan benar-benar mencintainya. Yang penting, dia tetap di sisinya sampai anak ini lahir. Dan Ria? Dia akan merasakan perihnya diremehkan.
---
Di malam yang sama, Julio menelepon Ria.
“Gue dapat info dari orang dalam,” ucapnya cepat. “Ada seseorang di bagian keuangan yang akses datanya gak wajar. Dia kelihatan nyari dokumen pribadi lo—termasuk kontrak lama dan berkas internal.”
“Siapa?” tanya Ria tegas.
“Belum jelas. Tapi yang pasti, orang ini gerak atas perintah. Dan gue curiga, ini terkait gugatan fiktif itu. Mereka gak cuma mau lo jatuh secara personal, tapi juga secara hukum. Lo harus bersiap buat hal yang lebih besar, Ri.”
Ria menatap ke jendela, melihat pantulan wajahnya di balik kaca.
“Kalau ini perang... aku gak akan mundur. Mereka pikir aku wanita lemah yang akan bersembunyi. Tapi aku akan buktikan... aku bukan Ria yang dulu.”