Selama tiga tahun ini, Hilda Mahira selalu merasa tertekan oleh ibu mertuanya dengan desakan harus segera memiliki anak. Jika tidak segera hamil, maka ia harus menerima begitu saja suaminya untuk menikah lagi dan memiliki keturunan.
Dimas sebagai suami Hilda tentunya juga keberatan dengan saran sang ibu karena ia begitu mencintai istrinya.
Namun seiring berjalannya waktu, Ia dipertemukan lagi dengan seorang wanita yang pernah menjadi kekasihnya dulu. Dan kini wanita itu menjadi sekretaris pribadinya.
Cinta Lama Bersemi Kembali. Begitu lebih tepatnya. Karena diam diam, Dimas mulai menjalin hubungan lagi dengan Novia mantan kekasihnya. Bahkan hubungan mereka sudah melampaui batas.
Disaat semua permasalahan terjadi, rahim Hilda justru mulai tumbuh sebuah kehidupan. Bersamaan dengan itu juga, Novia juga tengah mengandung anak Dimas.
Senang bercampur sedih. Apa yang akan terjadi di kehidupan Hilda selanjutnya?
Yuk ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan
Hari berlalu seperti biasa. Satu minggu ini Hilda gunakan untuk menemani Reva jalan jalan, tentunya atas ijin Dimas. Dan hari ini adalah hari terakhir Reva di Indonesia.
"Va, besok kamu sudah berangkat ke Australia ya?."
"Yupz. Kenapa?."
"Kok rasanya aku masih kangen banget deh sama kamu"
"Yaelah, satu minggu ini kita juga ketemu tiap hari kan?"
"Iya sih, tapi rinduku belum terobati."
"Sama... Oh ya, aku punya ide bagus."
"Ide apaan?."
"Gimana kalau kamu ikut aku ke Australia aja? Kan kita bisa sama sama terus disana."
"Gila. Iya kalau masih lajang sih oke oke aja. Lah ini aku punya suami, siapa yang mau ngurus? Diurus aja mau diambil orang, apalagi di telantarin?."
"Hahah.... bercanda kali say. Aku juga ogah ngajak kamu."
"Kenapa?."
"Kamu tuh sama kayak adek aku tau gak? Kalau pesen makanan dan gak cocok sama lidah kalian, kalian tuh bakal nyicipin makanan aku. Tar kalau kerasa enak, di tuker deh sama punya kalian. Dan akhirnya apa? Aku yang harus makan makanan yang kalian pesan tadi."
"Masak sih?."
"Hemm."
"Haha.. Baru nyadar aku."
"Kadang aku tuh heran deh, jangan jangan kalian berdua ini berjodoh deh!."
"Sembarangan kalau ngomong!"
"Dih, kenapa? Adek aku ganteng tau."
"Sepertinya kamu harus di bawa ke psikiater deh, bicaramu ini sudah ngelantur parah!."
"Hahaha... Nah, tuh pipinya merah."
"Mana ada? Kamu tuh yang merah, kebanyakan makan cuka sih, makanya tuh mulut asem banget."
"Hahaha.." Reva tertawa lebar melihat sahabatnya marah. Menurutnya itu terlihat sangat lucu ketimbang melihat sahabatnya yang bermuka sedih dan galau.
"Udah hampir sore, pulang yuk! Aku mau nyiapin barang bawaan buat besok nih!"
"baiklah"
Hilda dan Reva segera berdiri. Namun baru saja ia maju satu langkah tiba tiba saja Hilda jatuh pingsan. Beruntunglah Reva sigap menangkap tubuh Hilda sehingga tak langsung ambruk tanah.
"Reyhan cepat bantuin kakak" Seru Reva yang melihat adiknya sudah datang.
Ya, Reyhan memang sengaja datang karena tadi Reva mengirimkan pesan untuk dijemput. Karena pas hampir sampai di resto tadi mobil Reva tiba tiba saja mogok. Reva pun juga sudah menghubungi bengkel langganannya guna menjemput mobil itu untuk di perbaiki.
"Hilda kenapa kak?."
"Kakak juga gak tau. Tiba tiba aja dia pingsan. Untung kamu datang tepat waktu. Sekarang ayo kita bawa Hilda ke rumah sakit."
Reyhan pun langsung membopong tubuh mungil Hilda masuk ke mobil. Reyhan mengendarai mobilnya dengan cepat. Ia nampak begitu hawatir dengan kondisi Hilda dan ingin cepat sampai ke rumah sakit. Dan semua gerak gerik laki laki itu tak luput dari pandangan Reva.
Setelah sampai rumah sakit, Hilda pun segera dilarikan ke IGD. Sementara itu, Kakak beradik ini masih menunggu dengan cemas di depan ruang IGD tersebut.
"Dek, kakak perhatiin kamu hawatir banget sama Hilda."
"Ah, gak kok kak. Biasa aja."
"Gak. Gak. Kakak belum pernah loh lihat kamu se hawatir ini sama orang lain. Apalagi sama cewek."
"Kakak gak usah berlebihan deh! Hawatir itu wajar. Namanya juga lihat orang pingsan. Emangnya kakak gak hawatir?"
"Tentu saja kakak hawatir. Tapi kasusnya ini beda dek."
"Beda darimana nya sih kak? sama aja kok!"
"Kamu suka ya sama Hilda?"
"Apa sih kak? Jangan asal bicara deh!"
"Dih.. jujur aja sama kakak. Kamu suka kan sama Hilda? Hayo ngaku!"
"Pertanyaan kakak ini aneh!"
"Tinggal jawab jujur aja susah banget. Iya apa gak?."
"Gak"
"Bohong!"
"Enggak kak"
"Bohong!"
"Udah di bilang enggak ya enggak. Maksa banget deh!"
"Tinggal jawab iya apa susahnya sih?"
"Iya iya iya. Aku suka sama dia. PUAS!"
"Nah, gitu aja kok susah banget"
"WHhhattt??? kamu suka sama Hilda?" Teriak Reva spontan yang membuat banyak orang di ruang tunggu menatapnya heran.
Reyhan yang merasa malu dan tak enak hati pada orang sekitar pun segera menutup mulut kakaknya dengan cepat.
"Kakak bisa diem gak?"
"Mmmm.. mmmbbff.."
"Jangan am em doang juga. Ngomong dong Kak!"
"mm.. mmm.." Reva mengisyaratkan untuk Reyhan segera mengangkat tangannya yang menutupi mulut kakaknya.
"Ups!" Reyhan segera menarik tangannya.
"Buiih! Asem banget tuh tangan! abis apa sih!"
"Abis cebok!"
"Sialan ni bocah!"
"Sukurin! siapa suruh teriak teriak."
"Ya abisnya, kakak kan syok denger pengakuan kamu."
"Heleh, lebay."
"Oh ya dek, kakak mau tanya satu kali lagi. Jawab jujur ya."
"Ogah!"
"Ihh... sekali doang kok. Janji deh gak bakal teriak lagi."
"Apa?"
"Sejak kapan kamu suka sama Hilda?"
"7 tahun."
"Ma.. maksut kamu 7 tahun yang lalu?."
"Hmm.."
"Hhhhaaaaaa????" Reva terbengong dan membuka mulutnya lebar. Tapi kali ini memang tak mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan ia pun juga tak bergerak, benar benar seperti patung.
Reva yang masih terpaku tak menyadari kalau pintu ruang IGD sudah terbuka. Reyhan segera mendekati sang dokter.
"Dokter, bagaimana keadaan teman kami?."
"Teman anda baik-baik saja. Sebab ia jatuh pingsan adalah karena tubuhnya lemah kekurangan asupan makanan."
"Hah? Maksut dokter, teman saya kelaparan?."
"Bisa di bilang begitu. Lebih baik anda berikan teman anda makan terlebih dulu. Jika tidak mau, belikan saja susu khusus ibu hamil."
"Ja.. jadi, teman saya sedang hamil?."
"Ya, usia kandungannya sudah memasuki minggu ke 9"
Reyhan terdiam.
"Baiklah, kalau begitu, saya tinggal dulu. Teman anda sudah bisa pulang hati ini. Silahkan urus administrasinya dulu."
"Baik dokter. Terimakasih."
Setelah dokter itu pergi, Reyhan menyadarkan kakaknya yang masih terdiam membeku.
"Kak" Reyhan menghilang tubuh kakaknya pelan.
Karena tak ada pergerakan, Reyhan menggalang tubuh kakaknya lebih kencang hingga hampir terhubung dari kursi.
"Apaan sih?."
"Kakak ini gimana sih! Seharian ngajak Hilda pergi gak di kasih makan? Pelit bin medit banget sih kak!"
"Maksut kamu tuh apa? Kakak ngajak dia makan kok. Dua kali malah"
"Nah itu, kata dokter, Hilda pingsan karena kelaparan."
"Masak sih? Gak logis banget deh alasannya."
"Kakak meragukan dokter?"
"Gak gitu juga sih. Tapi mungkin ada benarnya juga deh. Soalnya Sejak pagi pas aku ajak makan tuh Hilda nggak mau makan. Katanya perutnya mual dan pengen muntah kalau makan. Terus dia bilang, asam lambungnya mungkin lagi naik."
"Terus Kakak percaya gitu aja?"
"Ya iyalah. Emang salahnya di mana?."
"Udah sarjana, tapi masih nggak pinter-pinter juga. Heran deh kenapa bisa punya bisnis di Australia."
"Terus????? masalah buat lo?"
"Denger ya kakakku yang gak begitu cantik dan gak begitu pintar. Jelas jelas itu tanda tanda orang hamil. Masak gak tahu sih?"
"Hah? Hamil? Maksutnya Hilda hamil?"
"Hmm.."
"OMG! OMG! Kita harus cepat masuk ke dalam. Ayo!"
Reva menarik tangan Reyhan dan di bawa masuk ke dalam ruang IGD untuk menemui sahabatnya.
.
.
.
kasian...