Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 34
Malam itu, setelah semua kembali sunyi dan hanya suara jangkrik terdengar di luar jendela, Raka terbaring diam di ranjang. Tubuhnya masih lemah, sisa-sisa demam belum benar-benar pergi. Tapi pikirannya jauh lebih riuh dari malam yang mengelilinginya.
Ia menatap langit-langit kamarnya, lampu temaram memantulkan bayangan lembut di dinding. Kata-kata mamanya terus terngiang, seperti gema yang tak kunjung mereda.
Kamu masuk ke dalam rumah tangga mereka, begitu Raka?
Ia menutup mata sesaat. Menarik napas pelan.
Baginya, perasaan ini bukan sesuatu yang salah. Ia tak bisa memilih kepada siapa hati ini akan berlabuh. Dan jika hatinya memilih Aruna, apakah itu sebuah dosa?
Aruna... Wanita itu terlalu sempurna dalam segala keterbatasannya. Ia lembut. Sabar. Wibawanya memancar meski ia berbicara dengan nada pelan. Dan parasnya... aahh, Raka tersenyum tipis di balik lelahnya. Tanpa riasan apa pun, Aruna tetap tampak memikat. Kecantikannya alami, tulus, tanpa dibuat-buat.
Ia tidak seperti wanita lain yang pernah singgah di hidup Raka. Tidak seperti Rita. Tidak seperti siapapun.
Usia? Bagi Raka, itu hanyalah angka. Ia bahkan merasa, justru kedewasaan Aruna yang membuatnya jatuh hati. Ia bisa merasa nyaman. Dihargai. Didengarkan.
"Apa salahnya... kalau aku mencintai dia?" gumamnya lirih, hanya didengar oleh malam.
Raka tahu, saat ini belum saatnya memiliki. Mungkin ini hanya fase di mana ia harus mencintai dalam diam. Mencintai dari jauh. Tanpa tuntutan. Tanpa ekspektasi.
Tapi ia tahu satu hal jika suatu hari takdir benar-benar membawa Aruna berpisah dari suaminya, jika Aruna pada akhirnya menjadi wanita bebas... maka Raka ingin menjadi orang pertama yang berdiri di sisinya. Bukan sebagai pelarian. Tapi sebagai seseorang yang memang mencintainya sepenuh hati, sejak jauh sebelum Aruna sendiri menyadarinya.
Malam makin larut. Dan Raka akhirnya memejamkan mata, memeluk diam-diam harapan yang disimpannya rapat-rapat. Entah kapan bisa terwujud, tapi ia tahu, perasaannya pada Aruna bukanlah hal yang keliru.
___
Di sisi lain malam itu, Aruna berbaring diam di atas ranjangnya. Lampu kamar sengaja dibiarkan temaram, hanya menyisakan cahaya samar dari lampu meja yang memantul di dinding. Hening. Tapi pikirannya tidak pernah sepi sejak pulang dari rumah Raka.
Bayangan tadi masih begitu jelas di benaknya. Tatapan ibunya Raka yang seolah mencurigainya, cara Putri adik Raka memperhatikannya diam-diam dari sudut ruangan. Aruna menarik napas dalam, merasa agak canggung mengingat bagaimana situasi itu membuatnya seperti orang asing yang tak diinginkan.
Tapi yang paling membekas tentu saja... momen ketika Raka menahan tangannya, menatapnya dengan mata yang nyaris tak bisa disangkal. Kalimat yang meluncur dari bibir pria itu mengguncang jantungnya “Bu Aruna, bolehkah aku menciummu?”
Aruna menutup mata. Pipinya memanas lagi hanya karena mengingat detik-detik itu. Hampir saja... kalau saja tidak ada gangguan, mereka mungkin benar-benar menyatu dalam ciuman yang tertahan itu.
Pikirannya lalu melayang lebih jauh... kepada saat di rumah bilik itu di saat hujan turun dan angin malam membawa dingin yang menembus tulang. Ketika tubuh mereka saling mendekat, ketika Raka dengan lembut menyentuh pipinya, dan bibir mereka akhirnya saling menemukan. Tidak ada yang terburu-buru saat itu, hanya ada rasa yang mengalir begitu dalam. Ia masih ingat betul betapa hangatnya pelukan Raka, betapa tatapan matanya membuat dirinya tenggelam tanpa sempat berpikir. Dan Raka... pria itu yang justru lebih dulu menghentikan semuanya. Menjaga batas, menjaga harga diri mereka berdua.
Aruna tersenyum kecil, tangannya terangkat menyentuh bibirnya sendiri seolah mengulang sensasi itu. "Kalau saja dia tidak menghentikannya..." bisiknya pelan.
Ia menatap langit-langit, hatinya berdesir. Ada sesuatu yang selama ini tidak pernah ia rasakan kembali sejak lama. Sebuah kerinduan bukan hanya akan pelukan, bukan hanya akan kehangatan fisik, tapi keintiman... perhatian... dan perasaan diperlakukan sebagai wanita seutuhnya.
Bukan karena kesepian. Tapi karena Raka.
Pria itu membuatnya merasa hidup kembali. Membuatnya merasakan degup yang dulu pernah ia kubur dalam pernikahan yang hambar.
Aruna menarik selimut hingga ke dada. Ia memejamkan mata. Tapi hatinya tetap terjaga, memeluk diam-diam rindu yang belum sempat ia namai.
Dalam lamunan yang masih mengalun pelan, Aruna hampir tenggelam seluruhnya ke dalam kenangan dan rasa. Tangannya masih menyentuh bibirnya saat layar ponsel di meja samping ranjang menyala.
"Ding."
Suara notifikasi itu memecah keheningan kamar. Aruna melirik sekilas, lalu cepat-cepat meraih ponsel, seolah tahu dari siapa pesan itu datang.
Benar saja.
Raka.
Tiba-tiba ada dentuman pelan di dalam dadanya. Ia membuka pesannya dengan jari yang sedikit bergetar, entah karena rasa gugup atau antusias yang tak ia mengerti sendiri.
“Bu Aruna... maaf kalau aku terlalu jujur soal perasaanku tadi. Tapi aku nggak mau menyimpan rasa ini terus-menerus dan pura-pura nggak terjadi apa-apa. Terima kasih sudah datang hari ini. Kehadiranmu membuat sakitku terasa ringan. Selamat tidur ya... semoga mimpi indah. Kalau boleh, aku ingin jadi bagian dari mimpi itu. 🌙”
Aruna mematung. Bibirnya perlahan-lahan tertarik membentuk senyum yang tulus, lembut, dan penuh getar. Kata-kata Raka terasa sederhana... tapi mengalir begitu jujur dan manis. Tidak dibuat-buat, tidak berlebihan. Tapi hangatnya menyusup sampai ke relung hatinya yang paling dalam.
Ia membalas:
“Terima kasih sudah mengizinkanku datang. Aku juga nggak tahu kenapa, tapi melihatmu tadi seperti meredakan banyak hal di hatiku. Selamat tidur, Raka. Mimpilah yang indah... dan mungkin, aku juga ada di sana.”
Setelah menekan tombol kirim, Aruna meletakkan ponselnya kembali. Kali ini, ia membenamkan wajah di bantal, pipinya memanas, senyumnya tak bisa ditahan. Dan malam itu, ia benar-benar tidur dengan tenang, membiarkan hatinya perlahan-lahan jatuh bukan pada ilusi, tapi pada seseorang yang benar-benar nyata: Raka.
O ya aku udah jg ngeliat visual mereka di ig mu Thor, Aruna cantik banget dan Raka guanteng abis 🫶